33. Pergi

985 154 10
                                    

Selama tiga hari berikutnya, Saga masih tak kembali ke tempat tidur. Membuat Sesil semakin tertekan. Sesil bahkan tak tahu apakah pria itu ada di rumah atau tidak, bermalam di rumah atau tidak. Ia nyaris tak melihat batang hidung pria itu meski Kei mengatakan setiap malam Saga datang untuk melihat sebelum tidur. Dan Sesil yakin kedatangan pria itu hanya untuk meracuni pikiran Kei untuk melemparkan tanggung jawab melindunginya pada bocah mungil yang masih polos itu. Sungguh licik, batin Sesil mendengus.

Saga benar-benar membiasakan dirinya untuk tidak membutuhkan pria itu. Mencicipi perasaan terbuang yang akan diberikan pria itu dalam dua hari ke depan.

Kemarin dokter datang melakukan pemeriksaan terhadapnya dan kandungannya. Yang Sesil yakin untuk persiapan perjalanan. Mungkin tubuh dan kandungannya baik-baik saja. Tetapi hatinya jelas tidak.

Bahkan pagi tadi Saga tak lagi menyembunyikan rencana pria itu. Meletakkan amplop coklat yang pernah ia temukan di meja kerja pria itu di nakas. Yang kemudian Sesil buang ke tempat sampah karena merasa begitu muak dengan sikap pria itu.

Namun, sore itu Saga tiba-tiba muncul di kamar dan meletakkan sebuah gaun berwarna hitam dan sepatu yang senada di meja. "Pakai ini," perintahnya dengan suara yang rendah dan datar.

Sesil yang tengah membaca majalah di sofa menoleh ke samping. Melihat gaun malam yang diletakkan Saga di punggu sofa tunggal dengan kening berkerut. Ini pertama kalinya ia mendengar suara Saga setelah empat hari dan nadanya membuat Sesil merintih meski suara pria itu begitu ia rindukan.

"Bersiaplah, kita berangkat dalam setengah jam." Saga berbalik dan berjalan ke ruang ganti.

Sesil hanya tercenung di tempatnya. Mempertimbangkan apakah harus memenuhi keinginan pria itu atau menolaknya. Dan ke mana mereka akan pergi? Pestakah?

Sesil tak yakin mereka akan datang ke pesta. Sesil mengangkat gaun itu dengan kedua tangannya. Meski bagian pinggang ke bawah tampak melebar, gaun ini tidak memiliki lengan selain tali spaghetti di pundak. Dan seluruh permukaan punggungnya akan terekspos dengan bebas hingga di atas pantat. Juga belahan di samping yang akan menampilkan seluruh pahanya.

Saga tak pernah membiarkannya mengenakan pakaian semacam ini untuk menjadi bahan tontonan di pesta. Apalagi dengan perutnya yang sudah semakin membesar, ia tak yakin apakah gaun ini akan terlihat lebih indah saat berada di tubuhnya.

Atau ... semacam makan malam untuk perpisahan?

Saga ingin memberikan perpisahan yang manis, begitu?

Sesil menatap pintu ruang ganti yang terjemblak terbuka. Saga pun berdiri di depan lemari. Tempat setelan pesta pria itu berjajar rapi. Seolah pria itu sadar dengan diamati, kepala Saga berputar dan menatapnya.

"Kau tak ingin pergi?"

Sesil tak menjawab. Untuk beberapa saat ia terdiam, akhirnya meletakkan gaun itu ke tempatnya dan berjalan ke kamar mandi untuk bersiap.

***

"Apakah masih jauh?" tanya Sesil yang mulai merasa tak nyaman. Perjalanan pesta kali ini cukup jauh, bahkan mulai ke pinggiran kota.

Saga mengangkat pergelangan tangannya sebelum menjawab, "Sepuluh menit lagi."

Sesil pun terdiam. Sekilas ia melirik Saga dari ujung matanya, tapi pandangan pria itu mengarah ke depan. Tak sedikit pun menoleh kepadanya. Kerutan tersamar di antara alis yang tersambung. Ujung bibir tampak tertekan, seolah tengah memikirkan sesuatu yang membuat pria itu tak suka. Dan yang lebih menyakitkan hatinya, Saga tahu dia mengamati pria itu dan hanya memilih acuh.

Sesil pun berbalik, menatap kaca jendela dan mengamati sekitar mobil yang gelap. Pandangannya mencoba membelah di antara malam. Mencari tahu ke mana mereka akan pergi. Tapi ia hanya melihat jalanan yang lengang dan ada banyak pohon di sekitar.

Saga Sesil 2 ( After the Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang