Penantian 8

15 8 7
                                    

Hujan turun malam itu. Tidak begitu deras, tetapi cukup membasahkan taman tak seberapa luas di depan rumah. Beragam pohon bunga dan buah melepas dahaga. Beberapa pot malah kembung. Mungkin, ada lapisan tanah di dalamnya yang mulai tidak poros.

Usai makan malam, aku kembali ke kamar. Berniat mengaktifkan komputer untuk melanjutkan pekerjaan, tetapi listrik tak memadai. Mati-hidup tidak jelas. Alhasil, aku hanya duduk di kursi kerja; menghadap jendela yang dibiarkan terbuka.

Hal paling mudah yang dilakukan kala hujan dan tak bisa melakukan apa pun adalah merenung. Banyak hal yang kini meramaikan kepala. Tentang pertemuan dan pembicaraan beberapa jam lalu dengan Teja. Sebuah kejutan pada awal tahun. Merasa aneh saja mendengar Teja yang malah berbalik menyukaiku. Bagaimana bisa, 'kan? Mantan-mantannya loh cantik, berkulit putih, berpendidikan tinggi, dan mungil. Bisa-bisanya sekarang malah mengajak nikah wanita yang sama sekali tidak menarik secara fisik; bogel, bermata minus, dan cuma lulusan SMA.

Aku menghela napas. Ponsel di meja kerja berdering. Saat menengok layar, ternyata caller id bernama Bunda Kamila yang menelepon. Jangan-jangan, dia ingin membahas itu. Apa Teja juga sudah memberi tahu perempuan itu?

Saat ponsel sudah di genggaman, kugeser ikon telepon berwarna hijau. Panggilan tersambung. Tanpa salam, pertanyaannya langsung menyerbu telinga.

"Gimana? Gimana? Teja bilang apa?"

"Bukannya kamu sudah tahu? Meneleponku untuk mengepoi apa yang dikatakan Teja, 'kan?"

Dia tertawa. "Teja chat aku. Dia bilang, dia lamar kamu."

"Begitulah."

"Terus jawabanmu apa?"

"Aku minta waktu. Satu minggu."

Angin di luar mengembus lebih kencang. Menggoyang-goyang dahan pohon bungur. Merontokkan beberapa kuntum bunganya yang sudah tua.

"Kok, enggak langsung jawab aja? Ya ampun, Raya! Ini sesuatu yang dulu kamu impikan, 'kan?"

"Aku enggak pernah bermimpi dilamar cinta pertamaku, Di."

Perempuan itu kembali tertawa. "Iya, iya. Kamu enggak pernah bermimpi. Kamu terlalu pasrah sama takdir Tuhan."

"Jangankan berharap dilamar, dia tahu perasaanku saja, awalnya, aku tak mau. Baru setelah aku yakin bisa melupakan Tyo, setelah bertemu pria ketigaku, surat dan buku itu kukirimkan." Aku kembali menghela napas. Menyinggung soal pria ketiga selalu membuat sebagian hatiku sesak.

"Ra, sudah saatnya kamu beranjak dari kisah bersama pria ketiga. Lihat! Kamu kasih jeda 2 tahun lagi, berjudi lagi dengan nasibmu, tetapi nyatanya dia tak kunjung mendatangimu. Yang nongol malah Teja. Apa artinya coba?"

"Masa iya aku jodohnya Tyo? Enggak cocoklah, Di. Dia ganteng, mapan, berpendidikan bagus pula. Aku?"

Di lagi-lagi tertawa. "Ya ampun, Raya. Kamu itu masih aja insecure soal tampilan fisik. Nih, ya. Pria yang serius ingin membangun rumah tangga udah enggak lagi mikirin seberapa cantik atau seksi wanita pilihannya. Terlebih kalau otak pria itu bukan otak seks doang. Dia pasti mikirin hal-hal yang jauh lebih mendalam dari sekadar punya istri cantik fisik."

"Fisik juga salah satu faktor yang mendukung harmonis atau enggaknya hubungan suami dan istri."

"Ya, memang. Dan standar cantik bagi setiap laki-laki adalah berbeda. Menurutmu kamu kurang cantik, belum tentu menurut Teja begitu. Bisa jadi, di dalam pandangan Teja, kamu terlihat sangat cantik dan menawan."

Omongan Di sudah seperti sales profesional. Promonya gacor.

"Ra, pikirkan baik-baik seperti Teja juga mikir baik-baik untuk ambil keputusan ini. Dua tahun dia sudah mempertimbangkan soal ini. Bukan waktu yang mudah. Bukan waktu yang singkat. Dia sudah benar-benar memikirkannya."

Kutatap pekat langit dari jendela yang masih terbuka. Tidak ada gemuruh guntur. Hanya hujan deras yang masih nyaman membasahkan apa-apa yang tumbuh di bumi. Langit masih sangat merah berarti mendung masih sangat tebal.

"Aku sedang menimbangnya. Semoga Tuhan kasih jawaban terbaik untuk kami."

"Aku berdoa agar kalian benar-benar berjodoh. Enggak ada yang sia-sia dari bersabar dan berpasrah, Raya. Kamu menyimpan namanya sudah sangat lama. Meski pernah tersisih, tetapi kamu enggak pernah benar-benar melupakan dia. Masih ada secebis perasaan suka di hatimu untuk dia, 'kan? Tujuh tahun? Sepuluh tahun? Atau ... empat belas tahun? Selama empat belas tahun, kamu masih menyimpan namanya, bukan?"

Empat belas tahun? Benarkah namanya sudah tersimpan selama itu? Bahkan saat menjalani proses komitmen dengan pria ketiga, aku tak benar-benar becus menyingkirkan namanya.

"Jujur dengan perasaanmu sendiri, Raya. Jangan membodohi diri sendiri lagi." Itu kalimat Di sebelum panggilan berakhir.

Kuletakkan kembali ponsel di atas meja. Kembali menonton hujan. Barangkali setelah hujan ini berhenti luruh, luruh juga keraguanku. Ya, siapa yang tahu.

***

Aku berdiri di antara ilalang-ilalang yang meninggi. Bahkan berhasil menyembunyikan separuh tubuh. Angin yang berembus sangat sejuk. Di depan sana, berjarak sembilan atau sepuluh meter, pohon beringin besar tumbuh begitu kokoh. Di ujung akar-akar gantungnya, tersemat beragam origami; tiruan burung, angsa, kupu-kupu, bahkan hati.

Aku berjalan mendekatinya. Tersenyum samar saat melihat setiap origami yang bergoyang-goyang tertiup angin. Menyentuh beberapa di antaranya yang ternyata ditulisi sesuatu. Tulisan tangan seseorang yang amat kukenal sekaligus sulit terbaca.

Satu origami berbentuk burung dengan tanda nomor 1 yang pertama kulepas dari akar gantung.

Hai, Raya.

Hanya itu. Tatapanku lantas mencari origami dengan tulisan angka 2. Ada. Kali ini berbentuk angsa.

Jangan bosen hidup sama aku, ya.

Aku mengernyit. Bosen hidup sama dia?

Aku mencari lagi origami bernomor. Angka tiga terpasang di origami berbentuk hati.

Aku enggak pernah menyesal memilihmu, Raya Andita.
Aku selalu mencintaimu.
Sudah sangat mencintaimu.
Aku sangat senang menjadikanmu istriku.
Ada saja hal-hal yang kita diskusikan yang justru membuatku semakin mencintaimu.

Aku membeku. Sebelum makin bingung, seseorang mengecup pipi kananku tiba-tiba.

"Selamat lima tahun pernikahan, Sayang."

***

MewujudTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang