Black Rose
Adriel berlari semakin kencang, tangan kanannya memegang erat selembar amplop dokumen yang entah isinya tentang apa. Tak peduli kemana langkah kakinya membawa ia pergi, ia hanya ingin menyelamatkan diri. Setelah beberapa menit berlari, Adriel menemukan dirinya tengah tersesat di gedung terbengkalai.
"Hah ... Hah ... Sepertinya mereka sudah hilang, sebaiknya aku juga segera mencari bantuan untuk keluar dari hutan ini." ucap Adriel sembari mengatur nafasnya. Adriel pun merogoh saku celananya dan mengambil sebuah benda pipih berwarna hitam. Adriel tampak mengutak-atik layar handphone tersebut lalu menempelkannya ke telinganya.
"Halo?"
"Adriel? Di mana lokasimu sekarang? Mengapa tadi sinyalmu hilang?"
"Sepertinya di gedung mereka dipasangkan pengacak sinyal, tapi sekarang aku sudah kabur dari kejaran mereka dan tersesat di sebuah gedung kosong," jawab Adriel.
"Baiklah, tunggu aku."
"Tap—"
Pip pip pip
Adriel hanya mendengus pelan, sudah menjadi kebiasaan sahabat karibnya, Andrew untuk menutup telepon terlalu cepat. Adriel pun memposisikan dirinya untuk duduk di lantai yang sangat berdebu sambil bersenandung kecil.
"Adriel!" suara yang entah darimana asalnya, begitu kencang memanggil hingga menghentikan Adriel dari kegiatan bersenandungnya. Adriel membersihkan celananya lalu mulai bangkit berdiri, ia melihat Andrew yang berlari menghampirinya. Mereka pun pulang berdua naik mobil Andrew. Diperjalanan, Adriel merasa Andrew sedang banyak pikiran, wajahnya terlihat gelisah dan kakinya bergerak-gerak. Adriel pun tersenyum, ia mengajak Andrew berbicara banyak hal seperti bagaimana jika suatu hari salah satu di antara mereka diminta berkhianat? Adriel tersenyum kecil saat Andrew bilang bahwa ia akan berpura-pura berkhianat lalu diam-diam membantu Adriel.
Sampai di rumah, Adriel dikejutkan oleh keadaan ruang tamunya yang sangat berantakan. Adriel mengeluarkan pisau lipat dari sakunya, kakinya melangkah pelan mengikuti instingnya, penglihatan mata dan pendengaran juga ia tajamkan.
Krek ...
"Kak Eric?" Adriel menarik napas panjang, ternyata yang mengacak-acak rumahnya adalah kakak kandung sendiri. Eric pun tersenyum melihat kedatangan sang adik dan bertanya apakah ia melihat flashdisk biru miliknya. Adriel dengan sebal menjawab, "Kakak ngeberantakin rumah cuman buat nyari flashdisk? Aku rasa flashdisk Kakak tidak ada di apartemenku, aku sudah sering membereskan dan membersihkan rumah tapi tidak pernah melihat flashdisk Kakak tuh." Eric terlihat hanya mengangguk-angguk lalu mengacak rambutku dan berkata bahwa ia akan pulang ke rumah dan mencari flashdisknya di sana. Setelah Eric pergi, Adriel mengusap wajahnya secara kasar lalu menelepon Andrew.
"Drew, sepertinya kita harus merekrut anggota baru,"
"Apa? Bukankah kau bilang kita berdua saja sudah cukup?"
"Ya, tapi ternyata musuh kita lebih banyak dari yang kita bayangkan,"
"Baiklah, kalau begitu siapa yang ingin kau rekrut?"
"Adik kelas."
Keesokan harinya, Adriel dan Andrew mendatangi sekolah lama mereka. Satpam sekolah mengizinkan mereka masuk karena mereka mengatakan bahwa mereka adalah alumni yang ingin menyapa para guru dan memberi mereka buah tangan.
Adriel dan Andrew berjalan mengelilingi sekolah sambil melihat keadaan sekitar, mereka mendengar bisik-bisik adik kelasnya yang membicarakan ketampanan mereka namun mereka abaikan. Tiba-tiba langkah Adriel terhenti, Andrew pun ikut berhenti dan melihat ke dalam ruang kelas di sampingnya. Ada seorang gadis SMA yang sedang bermain bersama teman-temannya, gadis itu tampak beberapa kali menjentikkan jarinya dan tertawa senang saat kemenangan terus menghampirinya.