Tunas di Balik Seragam: Bagian 1

32 8 0
                                    

Gemuruh sorak sorai padati lapangan basket SMA Decelis, ada sparing antara sang tuan rumah dengan tamu undangan: SMA Bagaskara. Sorak itu makin kencang kala kapten sekaligus ace andalan tuan rumah cetak poin dari kotak tiga angka. Namanya Ethan. Nama panjangnya Ethan Kalendra, pemuda yang duduk di bangku kelas dua IPA itu merupakan pusat rotasi dari puluh bahkan ratus pasang mata. Perawakannya yang tampan, tinggi, pandai, hingga all-rounder menjadi sebutan mutlak untuknya. Justru akan terasa aneh jika murid Decelis tak kenali pemuda yang sering naik ke atas podium setiap hari Senin sebab prestasi yang dicetak baik dari bidang akademi maupun nonakademik.

Ethan Kalendra adalah definisi Tuhan ciptakan umat dalam keadaan yang begitu luar biasa bahagia.

Senyumnya manis hingga buahkan jeritan para siswi saat Ethan lakukan tos selebrasi dari poin yang baru didapat pada kawan-kawan satu timnya.

Lalu kehadiran Dewa adalah tolak belakang dari Ethan dan eksistensinya. Namanya Argasatya Mahadewa atau lebih dikenal dengan nama Dewa.

Dewa lebih suka kurung dirinya di perpustakaan, entah hanya sekadar nikmati waktu istirahat, membaca atau tidur siang.

Namun, hari ini Dewa habiskan waktunya untuk belajar Kimia guna persiapan OSN yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Alih-alih bergabung dengan teman-teman lain yang padati lapangan sekolah.

"Makan yuk Dew, laper gue," ajakan itu datang dari teman yang duduk tepat di seberangnya.

"Boleh deh, masih pada di lapangan kan?"

"Iya, kayaknya masih basketan."

Dua pemuda yang layak dikatakan ambis dengan akademik itu bereskan buku-bukunya lalu beranjak pergi tinggalkan meja paling pojok perpustakaan. Keduanya jalan beriringan lewati beberapa kerumunan siswa maupun siswi yang tak ingin berpanas-panasan di tengah lapangan sana.

"Pesen apa Dew?" Axelian gelontorkan tanya kala tungkai hanya paut sekian langkah dari pintu masuk kantin.

"Geprekan ajalah kayak biasa, Cel." Dewa giring arah menuju kios penjual ayam geprek langganan. Sedangkan Axel memisahkan diri sebab siomay tampak lebih menarik untuknya. Lalu keduanya kembali bertemu di kasir dengan bill ditangan masing-masing.

"Terima kasih, Bu." Dewa menuju kursi paling dekat dengan jangkauan juga menjadi satu-satunya kursi kosong siang itu. Meskipun kantin tidak terlalu padat, tapi meja sudah terisi semua. Baik oleh murid sekolahnya maupun sekolah tamu. Lalu Axel menyusul dengan nampan berisi seporsi siomay, gorengan dan juga jus alpukat.

Suasana meja keduanya terbilang tenang dibanding meja-meja lain yang masih terus mengobrol. Sedangkan Axel dan Dewa pilih konsentrasi isi perut masing-masing.

"Dew?"

"Apaan?"

"Liat tuh siapa yang dateng."

Dewa tolehkan kepalanya menuju ke arah yang dimaksud Axel. Gerombolan murid laki-laki dalam balutan jersey jaket dua sekolah dan juga regu pemandu sorak injakkan kaki di tempat ini. Dewa hela napas, menyakini bahwa kantin akan segera berubah menjadi pasar.

"Bungkus aja apa ya, Dew?"

"Udahlah abisin aja di sini."

"Lo gapapa?"

"Santai elah. Lo kayak baru kenal gua."

Axel tertawa dan mengangguk. Lalu kembali fokus jejalkan siomay ke mulutnya.

"Reward KSN belum turun?" Axel si blasteran Australia-Indonesia itu kembali gelontorkan pertanyaan.

"Gue penasaran dah."

"Soal?"

"Rewardnya. Siapa tahu mobil."

"Eh sianjing, yang bener aja lo."

"Siapa yang tahu?"

"Gaklah gak mungkin. Kecuali ada pak Joko."

"Alah itu mah sepeda."

"Brompton lumayan."

"Minimal mikirlah, Njing. Brompton mah korupsi duit pajak."

"Tolol dah. Tapi lo ga mau?"

"Ga nolak."

"Tai."

Obrolan keduanya terlalu seru untuk sekadar tolehkan pandang pada segerombol murid yang tadi tiba di kantin mulai lakukan diaspora. Meja Axel dan Dewa menjadi salah satu korbannya. Dua kursi kosong di masing-masing sisi itu hendak ditempati oleh dua pemuda berseragam Bagaskara. Dewa balas dengan anggukan singkat, persilakan keduanya untuk dudukkan diri di sana.

"Udah ketemu Miss Ike?"

Lagi. Axel buka kembali percakapan mereka.

"Udah. Timnya dipilihin, padahal gue bilang sama Axel aja gapapa Miss. Ditolak sama Miss Ike."

"Terus?"

"Miss Ike bilang, wah, Ga sorry kita mau nyoba all Decelis final. Gila, ini yang ambis gurunya dah."

"Kan. Gue juga udah nego sama Miss Ike. Jawabannya mirip, Cel, Miss Ike yakin kamu sama Jeiro bakal jadi best opponent buat Arga sama Kale. Ah anjing, konspirasi."

"Miss Ike nih baik, gue dikasih telor gulung lima."

"Disuruh ngapain?"

"Ngecek ulangan anak-anak."

"Mahalan gue, gacoan seporsi."

"Tolol banget dah. Cuma ya siapa yang bisa menolak Miss Ike?"

"Udah bersuamilah ngen. Sadar."

"Anjing ah, diingetin. Harusnya dijadiin hari patah hati nasional hari pernikahan Miss Ike."

"Khusus kalender Decelis, tiap tahun pada galau masal. Minimal bareng Mahalini."

"Goblok. Udahlah cabut, Sensei Ayana udah kangen sama gue."

"Sadar, udah bersuami."

"Brengsek."

Keduanya beranjak pergi, tinggalkan dua siswa yang sejak tadi hanya simak obrolan keduanya dengan dahi berkerut-kerut.

Juga, Dewa dan Axel curi hampir seluruh pasang mata saat melintas. Ketika keduanya masih berbalut rapi seragam putih alih-alih berpakaian olahraga maupun jersey.

"Gue ganti warna rambut jadi ijo gimana menurut lo Cel?"

"Mau jadi cendol?"

"Kalau pink?"

"Kayak bubur mutiara sih."

"Sianjing. Minimal support dong jadi temen."

"Gue ngingetin biar lo gak nyesel Jing. Tapi gue mau pirang sih. Bleaching berapa kali?"

"Gue sumpahin botak."

Keduanya berjalan cuek dengan obrolan-obrolan semi penuh umpatan.


"Panggilan kepada Argasatya Mahadewa, Axelian Jaqques, Jeiro Harlan, dan Ethan Kalendra untuk segera menghadap Miss Ike sekarang."


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 28, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tunas di Balik SeragamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang