O3; sebuah lagu tentang pembebasan

91 30 3
                                    


𓆩 NEGERI HANTU 𓆪

"RE! VO! LU! SI! RE! VO! LU! SI! RE! VO!"

"WEH CILOK!"

Plak!

"Cilok cilok ndasmu!" Herjuno dan Bimo tak tahan untuk terkikik kala itu. Aji sibuk mengusap kepalanya pasca dipukul oleh Rino. Siapa suruh tidak serius.

"Mo, yang bener itu pegang spanduknya," titah Chandra. "Udah Mas!" Dan sepertinya Bimo sudah emosi. "Yeu, yang bener, Mo." Aji ikut mencolek-colek lengan rekannya. Semakin emosilah anak Adam itu dibuatnya. Rino hanya bisa geleng-geleng kepala.

Di tahun 1998 ini, Indonesia terhimpit oleh suatu gelombang perubahan yang begitu kuat dan meluas. Suara-suara pelan dan teriakan keras mencampur aduk di udara. Kerusuhan dan ketidakpastian menciptakan lingkungan yang penuh dengan kegelapan dan tanda tanya.

Namun, di balik kabut asap yang menyelimuti jalan-jalan, ada cahaya dari obor-obor yang menyala di tangan massa dan pancaran sinar matahari yang menembus awan gelap-menciptakan suasana yang mempesona.

Suara gong dan gamelan dari kelompok-kelompok pengunjuk rasa menciptakan nada-nada yang merdu namun juga menggugah hati. Keheningan yang terkadang terjadi di tengah kerusuhan, memungkinkan kesunyian untuk berbicara dengan sendirinya.

Sementara itu, kehancuran dan perasaan takut juga tidak dapat dihindari. Ruang-ruang yang sebelumnya dipenuhi oleh kehidupan kini kosong dan sunyi. Dinding-dinding yang robek dan terkulai memberikan kesan kehancuran yang memilukan.

Namun, di tengah kekacauan dan kehancuran, keindahan yang kuat dan mengagumkan masih terus bersinar. Seperti sebatang lilin kecil di tengah kegelapan, harapan dan semangat orang-orang Indonesia terus berkobar-kobar dan menerangi jalan ke depan.

Masih ada harapan, walau sercecah. Setidaknya ... masih ada.

"Saudara-saudara sekalian, kita harus mengangkat kepala dan berjuang dengan penuh keyakinan, sebab kita adalah harapan terakhir bagi bangsa ini! Kita tidak boleh mengkhianati mereka yang telah berjuang sebelum kita!"

"Aduh! Mas, kok berhenti?!" Gerutu Felix hanya dianggap angin lalu oleh Rino. Atensinya terlanjur dicuri oleh seseorang perempuan di depan sana. Sungguh kokoh dan tak tergoyahkan.

"Kita semua adalah bagian dari bangsa ini, dan kita semua memiliki hak yang sama untuk hidup dengan layak dan sejahtera! Jangan biarkan pemerintah melupakan tanggung jawab mereka kepada rakyat!"

Rambutnya tak panjang juga tak pendek, kira-kira sebahu, tapi kala itu surainya tengah diikat. "Kami berdiri di sini dengan tubuh yang lelah, namun semangat dan tekad kami tidak pernah padam. Kita harus memperjuangkan keadilan hingga tetes terakhir darah kita." Rino pastikan mereka yang ada di dalam gedung sana bisa mendengar apa yang ia katakan. Suaranya lantang bukan main.

"No, ngapain?"

Detik kemudian, ia kembali. "H-hah?"

Chandra ikut menatap yang jadi pusat atensi seorang Rino; perempuan itu, dengan megaphone di genggamannya.

"Jangan biarkan kekuatan korupsi dan kezaliman menguasai negeri ini! Bersama-sama, kita bisa mengubah masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang!"

"Anaku Teduh Nandamai."

"Hah?" Rino sudah seperti penjual keong. Hoh, hah. "Namanya-perempuan itu. Mahasiswi kampus sebelah, lumayan dikenal, sih."

"Oh... Iya, tahu." Dia terpesona oleh kecantikan dan ketegasan perempuan itu dalam berbicara. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar seperti suara yang membangkitkan semangat orang banyak. Rino mendekati perempuan itu dan menawarkan bantuan untuk memegang poster. Ia menoleh, melemparkan senyum singkat pada Rino. Pemuda itu seperti sudah tak peduli lagi dengan rombongannya.

Ini sudah yang kesekian kali Rino lihat perempuan itu di antara kerumunan mahasiswa yang dekil, kumuh, dan jarang mandi ini sambil berdemo. Tentu saja ia tahu namanya, toh Rino sudah naksir sejak lama.

"Buruh tani mahasiswa rakyat miskin kota~ Bersatu merebut demokrasi~"

Lagu andalan para demonstran kala itu menggema di udara. Perempuan itu; Damai, masih sibuk membakar semangat para mahasiswa. Tak tahu ada pemuda yang terpesona olehnya, semangatnya, bahkan dengan keringat di sekitar pelipis dan leher tak mengurangi karismanya sama sekali.

"Hari-hari esok adalah milik kita!"

"Sepulang dari sini mau ngopi, nggak?"

Lama jeda sampai perempuan itu akhirnya menoleh pada Rino. "Kenapa? Sorry, gak denger." Ia membungkuk, mendekatkan telinga pada bibir Rino agar bisa mendengar dengan jelas. Semangat para demonstran sungguh membara.

"Ngopi," ucap Rino sekali lagi, agak ragu-ragu. "Oh..." Namun perempuan itu tertawa. "Asam lambung, hehe." Sambil mengusap perutnya, ia tersenyum lebih lebar. Senyum Rino juga ikut mengembang karena itu. "Anak kos, ya?" Anaku mengangguk membenarkan. Bukan hal yang aneh lagi kalau mahasiswa yang memilih tinggal di kos terkena asam lambung. Sayang sekali, jadi ini artinya Rino ditola-

"Besok, sehabis demo, ngeteh aja gimana? Besok ikut, kan?"

"Ah- itu, iya, i-ikut. Hehe, besok, ya?"

Sial, mungkin hari ini Rino tak akan bisa tidur dengan nyenyak. []

ii. negeri hantu, straykids✔Where stories live. Discover now