Pria itu menatap canggung pada gadis didepannya, ia sesekali menerima suapan makanan dari gadis itu tanpa banyak bicara, sedangkan gadis dihadapannya juga tidak berniat menegur atau mengajak dirinya berbicara.
"Kamu, diam saja kenapa?" Gandi memilih membuka suaranya terlebih dahulu, menunggu Hema membuka suaranya yang hanya sesekali membuat dirinya sedikit resah.
"Nggak kenapa kenapa Bang." Senyumnya terukir, membuat Gandi mengangguk tipis dan kembali menerima suapan dari Hema.
"Pacar Bang Gandi, kemana? Tadi siapa namanya?" Hema berusaha berinteraksi, walaupun pembicaraannya membuat sakit hati sendiri.
"Andrea, mungkin dia sibuk." Pria itu tersenyum, lalu menatap menerawang.
"Abang kenapa cuma inget Mbak Rea? Emangnya gak inget hal lain? Genta? Atau sesuatu yang lain?" Ujaran Hema membuat Gandi berpikir sedikit, dirinya termenung sejenak lalu menggeleng.
"Sama sekali enggak inget, semuanya hilang Hema. Tapi saya cuma bisa ingat Rea." Hema mengangguk tipis.
"Kalo Bang Gandi, ingat sesuatu yang berkaitan sama pribadi sendiri nggak?" Gandi langsung menggeleng.
"Tidak, saya kelihatan sudah cukup dewasa untuk memiliki pekerjaan, tapi saya bahkan tidak ingat apa pekerjaan saya. Bahkan sebenarnya nama saya, juga baru tau saat kamu menjelaskan siapa kamu dan siapa saya." Hema mengangguk paham.
"Ada bagian kepala yang sakit Bang?" Gandi mengangguk tipis.
"Kepala bagian belakang saya sakit, tapi bukan apa apa." Hema tersenyum tipis, lalu menyodorkan segelas air pada Gandi.
"Terimakasih ya, kamu hanya teman adik saya tapi kamu mau menjaga saya begini." Hema terkekeh, menepuk pelan lengan Gandi.
"Kalem aja Bang, saya anaknya emang baik hati dan tidak sombong." Gandi terkekeh atas ucapan Hema.
"Percaya diri kamu tinggi sekali, ya." Keduanya larut dalam obrolan, hingga suara ketukan pintu ruangan Gandi membuat keduanya menoleh.
Wanita dengan paras glamor yang waktu itu Hema lihat, jelas Hema paham jika itu__
"Rea." Ucapan Gandi membuat Hema menelan saliva kasar.
"Gandi." Suara Andrea nampak bergetar, membuat Hema langsung menyingkir dari bangkunya untuk mempersilahkan Andrea duduk.
"Kamu udah baik-baik aja? Mana yang sakit?" Hema menipiskan bibirnya saat melihat kedua orang itu berinteraksi lucu?
"Bang, saya izin keluar ya? Sudah ada kak Rea, sepertinya sudah cukup." Gandi dan Rea sontak menolehkan pandangan pada Hema.
"Iya, terimakasih ya." Hema tersenyum untuk membalas ucapan Gandi, dirinya langsung berjalan keluar dari ruangan Gandi.
Setetes air matanya luruh juga, dirinya merosot kelantai dan terisak pelan, meredam suara tangisnya dengan menyembunyikan kepalanya disela lutut.
Wajahnya sembab, hidung memerah, benar-benar hal yang menyedihkan sekali.
"Gue terlambat ya? Hiks ini semua gara-gara gue, coba aja gue gak marah ke dia dan lebih belain dia, hiks coba aja gue terima perlakuan dia tanpa gengsi." Tangisnya makin pecah saat membayangkan potongan-potongan ingatannya.
"Hema, lo ngapain di sini cuy?" Dirinya mendongak, menatap Salwa berbinar.
"Alwa." Rengeknya, merentangkan tangan untuk dipeluk.
Salwa yang terkejut melihat wajah Hema langsung merengkuh tubuh sahabatnya itu, "Lo kenapa? Bilang sama gue, Bapak atau Ibu yang dirawat?" Gelengan adalah bentuk dari jawaban Hema.
Hema mengurai pelukan itu, mengusap pipinya yang basah lalu menatap pada Salwa dalam.
"Sal, ayam piyik lo gagal netas." Salwa mengerjap, gadis itu malah menyemburkan tawanya.
"Kenapa? Pak Gandi gak doyan sama lo?" Hema menggeleng, tawa Salwa jadi menyurut.
"Bentar Hem, jangan bilang... yang didalem Pak Gandi?" Salwa memelototkan matanya sambil memandang Hema yang menunduk.
"Kenapa? Kok bisa sampe masuk rumah sakit?" Hema menghembuskan nafasnya, ia langsung bangkit dan menyeret Salwa menjauh dari pintu kamar.
Keduanya kini berada dilorong koridor rumah sakit yang panjang, Hema sudah sedikit demi sedikit menjelaskan kronologi, beberapa kali Salwa terkejut dan tecengang.
"Amnesia? Beneran Hem?" Hema memejamkan matanya sejenak, berusaha menguasai dirinya.
"Butuh dokter buat therapi? Sodara gue ada dokter psikologi yang bisa narik ingatan gitu gitu deh, atau Gandi udah punya dokter sendiri?" Hema menaikkan bahu, tidak tau.
"Nanti coba gue nanya ke sekertarisnya." Keduanya hening, gadis itu lebih memilih duduk didekat resepsionis dengan pandangan yang sama sama kosong.
"Gue tau Hem, pasti berat ya? Tapi harus tetep optimis, kalo lo suka perjuangin dong, gantian. Dulu juga waktu lo gak kenal dia, dia berusaha berlaku manis sampe lo bisa buka hati, kan?" Ucap Salwa, Hema mengangguk tipis.
"Nah! Ayo! Berju--"
"Nggak bisa, dia inget sama mantannya. Sedangkan mantannya setau gue, cewek itu masih naksir! Sekarang aja mereka lagi berduaan dikamar." Penjelasan Hema malah membuat Salwa tertawa sumbang.
"Jadi, jangan bilang lo nangis sampe jongkok didepan ruangan Gandi bukan karna kasian sama tuh laki, tapi karna cemburu?" Hema menyikut Salwa yang makin tertawa.
"Oh oh oh, jadi jealousy." Hema menjengut rambut Salwa, membuat gadis itu makin terkekeh kekeh.
"Santai Hem, ingatan bisa balik kok. Semoga aja Gandi bukan salah satu orang yang lupa ingatan permanen. Pepet terus aja, siapa tau karena sering deket-deket lo, ingatan dia soal lo balik lagi." Hema menggeleng tipis.
"Gue punya misi buat pegang SosialMath, disuruh Genta sih." Salwa menoleh pada Hema.
"Pegang SM?! Gila aja lo! Tapi bye the way, Genta siapa?" Hema berdecak, memukul pelan kaki sahabatnya.
"Iya, ternyata waktu Gandi marah-marah ke kost gue, dia lagi ada masalah, sengaja dateng buat tenangin pikirannya, tapi malah ada si kampret! Dan tololnya gue belain si Dika." Hema menarik nafasnya.
"Terus dia langsung pergi gitu aja, dan gue dichat sama sekertarisnya, ternyata dia marah gitu karena lagi ada masalah kantor yang, privasi deh! Di jelasin juga otak lo gak akan ngerti." Salwa mengangguk.
"Genta adeknya si Gandi." Salwa membulatkan bibirnya atas jawaban Hema.
"Parah? Gue kemarin baca berita sih, kabar diberita tuh Gandi lagi ada urusan diluar negri, bukan kecelakaan gini. Cuma emang ada beberapa redaksi yang nyuting gedung punya dia pake deskripsi, kalo Gandi liat pasti makin ngegas." Keduanya menghela nafas bersama.
"Gue dukung! Lagian Rabu depan lo'kan maju sidang, jadi usahain buat meminimalisir capek, semoga sidang lo lulus biar lo bisa fokus sama SosialMath." Salwa menepuk bahu Hema tulus, membuat Hema langsung tersenyum cerah.
"Aw! Terima kasih monyet, engkaulah kawan baik aku." Ujar Hema sambil mengikuti nada kartun Malaysia yang bercerita dongeng alkisah zaman dahulu.
"Suara lo udah mirip kayak kura-kura ngang-ngong itu dah, coba casting masuk pengisi dubbing Pada Zaman dahulu dah, luwes betulan." Salwa bergidik akibat suara Hema.
"Yeu! Nanti gue keterima, jadi orang kaya raya, lo minder main sama gue." Hema menaik nurunkan alisnya tengil.
"Gak usah gayaan deh! Jadi aja belum udah meninggi lo ini." Keduanya tertawa pelan sambil menatap hilir mudik orang orang yang melintas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Future
ChickLit(17+/18+) Penulis itu menciptakan alurnya, berbaur dengan pembacanya dan menikmati karir yang tengah ia raih. Sama seperti Hema, perempuan cantik yang merangkap menjadi Mahasiswi dan penulis itu sangat amat menggandrungi alurnya sebagai penulis. Nam...