Lembaran ini merupakan lanjutan dari kisah "the sound of rain" pada part ke-3 dan ke-4. Silakan kunjungi kisah tersebut terlebih dahulu untuk pengalaman membaca yang lebih baik.𓆩 NEGERI HANTU 𓆪
Aku tak pernah tahu siapa nama asli Si Gempal. Yang kutahu, ia pasti suka sekali makan uang haram. Entah sudah berapa lama waktu berlalu sejak ia menembakkan peluru pada Juno-Herjuno temanku-atau aku yang melakukannya, ya? Aku tidak tahu.
"Bangun Lo! Enak aja tidur..." Pria itu menghantam kepalaku dengan tangkai sapu. Meringis, dengung telinga yang sempat hilang kini datang kembali. Aku tak mengerti kenapa mereka harus sebegitunya, dibayar berapa, sih?
Tubuhku didudukkan di dalam ruangan putih dengan cat kumuh berdebu. Bokongku dingin menyentuh lantai, tangan diborgol dan kaki dirantai.
Pria itu berjongkok sambil mencengkram wajahku, memaksaku untuk berhadapan dengan napasnya yang bau rokok itu. Puntungnya ia padamkan pada permukaan kulit bahuku, lebam dan membiru. Ia tertawa, seolah telah memenangkan permainan.
"Tuh, temen Lo."
Bisa kulihat Sannan terduduk di ruangan seberang. Kondisinya sama sepertiku, dengan tangan dan kaki terikat. "Sannan!" Si Gempal membiarkan aku ngesot untuk mendekat dan berhenti ketika rantai pada kakiku memperjelas batasan untukku.
Kenapa bisa? Sannan tidak biasanya ikut demo, kenapa dia juga kena?!
"Nan?" Kulihat wajahnya luka-luka, begitu juga dengan darah yang keluar dari pelipisnya. "Yang lain masih selamat kok, Mas. Hari ini yang lain demo lagi. Aku kesana setelah dengar ada kerusuhan, tapi yang terjadi malah... begini."
Aku diam, menunggu penjelasan lain dari Sannan. Kenapa dia bisa di sini? Bagaimana dengan keluarganya? Apa dia tidak kesakitan?
"Mas, Bapak udah gak apa-apa. Mas jangan khawatir."
Untuk pertama kalinya setelah menginjakkan kaki di tempat entah-berantah ini, aku bisa sedikit menghembuskan napas lega.
"Perempuan itu juga mencari informasi tentang engkau, dia bertanya-tanya kenapa Mas gak nongol-nongol padahal sudah bikin janji."
'Perempuan itu'? Damai mencariku?
"Herjuno mana, Mas?"
Seketika jantungku berhenti berdetak, aku mengalihkan pandangan pada petak lantai, tak sanggup menatap mata penuh harap milik Sannan. Di saat itu juga, Si Gempal melepas rantai di kakiku. "Udah mati, Rino yang bunuh." Enteng sekali kalimat itu diucapnya. Aku kembali menatap Sannan, netra kami bersibobrok, ia masih tak percaya.
Ingin kupeluk tubuh itu, tak tega kulihat manusia tak berdosa seperti Sannan ada di situasi seperti ini. Aku tahu, dia takut, sangat takut. Ia datang dibawa ke sini, padahal sebelumnya tak pernah terlibat sementara kami rusuh di lapangan, kemudian setelah melihatku, ia pasti ingin melihat Juno juga. Tapi inilah yang ia dapat, keputusasaan.
BUG!
"Mas!"
Lagi, aku terjerembab, entah keberapa kali untuk hari ini wajahku mencium lantai. Bau amis kembali menguar, kepalaku terasa pening sekali. Wajahku kembali dibalut kain hitam berbau apek, Si Gempal menggendong tubuhku seperti karung beras.
"Eh om, mau kemana?"
Aku mendengar suara yang familiar-sangat familiar. Siapa itu? Jelas bukan Sannan.
"Ini, mau buang sampah-masyarakat."
"Oh, yaudah. Titipan Ayah mana, Om?"
"Ada di atas meja. Mau langsung diantar?"
Walau fungsi pendengaran ku rasanya sudah melemah, aku tidak boleh menyerah. Kenapa rasanya dia terdengar akrab sekali dengan Si Gempal ini? Aku harus tahu, aku harus pastikan identitasnya.
"Iya Om, mau balik ke lokasi demo dulu, terus baru ke DPR."
DPR? Jadi ini di Jakarta?
"Oke, jaga baik-baik, ya. Itu ada temen Lo juga, sapa gih."
DPR ....
"Eh, Sannan. Gimana kabarnya?"
Ah, begitu ternyata. Pantas saja kami sering kebobolan. Ternyata dia. []
YOU ARE READING
ii. negeri hantu, straykids✔
Fiksi Sejarah𝘃𝗶𝗶. 𝗮𝗻𝗼𝘁𝗵𝗲𝗿 𝗱𝗲𝗽𝗿𝗲𝘀𝘀𝗶𝘃𝗲 𝗲𝗽𝗶𝘀𝗼𝗱𝗲 Di mana sosok-sosok mudah menghilang; menghilangkan diri atau dihilangkan. !¡ contains mature themes, including violence, that may cause distress.