VI

1.5K 206 16
                                    

sesuai janji, happy reading!

***

Saat malam tiba, Chiko masih tertidur nyaman di kamarnya. Shani yang berada disitu mengelus kepala Chiko dengan sayang, membuat si empu sedikit terusik.

Chiko membuka kelopak matanya perlahan, namun ia tak mendapatkan apapun. Hanya kekosongan. Chiko menghela nafasnya melalui mulut, ternyata itu hanya mimpi. Kenapa tetiba ia merindukan sosok Shani? Kenapa Shani enggan pergi dari pikirannya?

Kini ia sadar, hatinya merindukan sosok itu. Ia ingin melihat Shani. Ia ingin melihat senyum lesungnya yang mampu menentramkan batinnya. Ia ingin melihat Shani mengkhawatirkan dirinya. Ia ingin wanita itu berceloteh dengan nasehat panjang lebarnya. Ia begitu menginginkan kehadiran sosok Shani di sampingnya.

Dalam kekalutan yang tiada berujung, Chiko mengambil kunci mobil dan jaketnya. Ia mengendarai mobilnya menuju tempat dimana kenangannya bersama Shani bersemayam.

Saat ia membuka pintu rumahnya, kegelapan dan kesunyian menyambutnya. Hatinya seketika terasa ngilu, dan air matanya juga menetes tanpa seizinnya. Ia menatap sofa tempat dimana biasanya Shani tertidur meringkuk dan bergelung menunggu kepulangannya.

Chiko membaringkan tubuhnya di sofa. Meraba mencari jejak Shani, berharap menemukan jejak wanita itu meski hanya aroma lavender lembut yang cukup akrab dengan indera penciumannya. Namun nihil, wanita itu membawa segala jejaknya bersama kepergiannya. Hanya meninggalkan jejak kesunyian yang menggerogoti jiwanya.

Beberapa menit kemudian, Chiko beranjak dari sofa lalu berjalan ke arah ruang kerjanya. Ponselnya yang berada di saku celananya terus bergetar menampilkan layar Viola sedang memanggil. Chiko tak menggubrisnya. Viola pasti hanya akan mengajaknya berdebat dan bertengkar.

Chiko membuka pintu ruang kerjanya, lalu memperhatikan seisi ruangan. Meja kerjanya terlihat sangat berdebu. Jika Shani di sini, pasti ia tak akan menemukan setiap sudut rumah yang kotor.

Chiko berjalan menghampiri meja kerjanya. Ia meraba sebuah kardus yang terletak di atas mejanya, lalu ia buka kardus yang ditinggalkan Shani itu.

Kardus itu berisi foto-foto mereka saat pertunangan, pernikahan, serta pertemuan keluarga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kardus itu berisi foto-foto mereka saat pertunangan, pernikahan, serta pertemuan keluarga. Di dalam foto, Shani selalu mengulas senyuman manis. Shani terlihat begitu cantik, pipinya yang selalu merona setiap kali berhadapan dengannya membuat wanita itu semakin terlihat menggemaskan.

Mengapa Chiko baru menyadarinya sekarang? Kemana saja dia dari dulu? Bukankah Shani dulu adalah primadona fakultas? Banyak sekali kumbang bertebaran di sekelilingnya yang berharap diizinkan untuk menghisap sarinya.

Betapa bodohnya ia dulu, ia yang diizinkan menghisap sari yang ditawarkan tapi malah tak peduli dan mengabaikannya. Chiko tertawa sumbang, memecah kesunyian. Ia menertawai dirinya sendiri. Menertawai kebodohannya yang buta akan warna cinta yang selalu Shani tunjukkan kepadanya.

Kini hidupnya seolah berubah suram dalam sekejap. Wanita itu meluluh lantakkan perasaannya dalam sekejap mata. Hari-hari yang ia lalui dengan kebiasaan tak berarti, membuat ia merindukan hari yang terasa berharga di setiap detiknya.

***

Chiko kembali pada orang tuanya, dengan keadaannya yang kacau. Dirinya seperti gelandangan tak terurus. Matanya menjadi cekung, juga rambutnya yang berantakan kemana-mana.

Soraya memeluk putranya dengan haru, mengelus punggung putranya. Ia amat terkejut dengan keadaan putranya, tapi disisi lain ia juga merasa sangat senang karena putranya mengabarkan jika ia sudah memutuskan hubungannya dengan Viola begitu saja.

Ya, begitu saja. Pada hari itu Chiko menyerah dan akhirnya mengangkat panggilan Viola. Wanita itu marah-marah tak jelas, hingga membuat Chiko emosi dan memutus hubungan mereka lewat panggilan telepon. Ia tak peduli meskipun Viola merengek tak menerima keputusan sepihaknya, serta Viola yang sempat mengancam akan bunuh diri.

Sungguh ironis, hubungan kasih yang ia jalin selama empat tahun bersama Viola terasa tak berarti sama sekali. Ia bahkan tak bisa mengingat momen manis yang pernah ia rajut bersama Viola.

Ia hanya mengingat momen pahit ketika Shani berada di sisinya. Kepergian Shani yang selama ini ia inginkan menjadi begitu berat untuk ia tanggung sendirian. Hanya sebulan lebih saja ia hidup tanpa Shani, tapi rasanya hampir membuatnya gila.

Bayangkan bagaimana sedihnya Shani selama dua tahun ini. Hidup tanpa kepedulian dirinya, hidup terabaikan, hidup terasingkan, hidup dalam kesepian yang menyayat hati. Wanita itu masih tegar, ia masih terus memberikan perhatian terbaiknya.

Chiko berpikir, apakah ini hukuman Tuhan untuk dirinya? Apa ia akan tersiksa selama sisa akhir hayatnya? Rasanya Chiko tak akan sanggup. Jika ia bisa memutar kembali waktu, ia akan memperlakukan Shani sebaik mungkin. Ya, sebaik mungkin. Ia akan memberikan segalanya pada Shani lebih dari apa yang ia terima selama ini.

Maka disinilah Chiko, ia merengek pada orang tuanya meminta alamat baru Shani. Sejak mereka berpisah, Shani dan keluarganya pindah. Bahkan bisnis Keanu diurus oleh Rio, sepupu Shani. Mereka seakan ingin memutus hubungan buruk dengan keluarga Chiko.

"Archie, Papi minta maaf. Keluarga Shani pindah ke luar negeri. Papi nggak tau keberadaan mereka. Rio juga mengaku nggak dikasih tau. Keanu juga mengirimkan informasi bisnis hanya lewat email." Ucap Apollo hati-hati. Bahu Chiko melemas seketika, kakinya seolah tak mampu menopang tubuhnya.

Shani, sejauh mana kamu akan pergi meninggalkanku? Seberapa ingin kamu memutuskan benang merah di antara kita?

***

Ribuan purnama kemudian..

Kata orang, waktu akan menyembuhkan segala luka. Tapi, Chiko tidak setuju dengan pernyataan itu. Itu bohong. Waktu yang berjalan lambat terus menyiksanya dalam kerinduan, terus membuatnya terjebak dalam ruang penyesalan yang tak berujung. la merasa tenggelam dalam kegelapan, seperti percuma mencari tepian untuk menyelamatkan jiwanya yang sudah sekarat.

Semakin lama Shani semakin menguasai pikirannya. Logikanya juga tak berjalan dengan semestinya. Dirinya begitu merana. Separuh jiwanya seperti tercabut paksa. Bahkan ia berusaha mencari kegiatan menyenangkan untuk sekedar mengalihkan kegalauannya. la acap kali mendatangi bar, lalu menyewa seorang jalang hanya untuk menemaninya minum. Ia hanya berharap alkohol bisa membawanya dalam kesenangan.

Perlu digaris bawahi, Chiko tak pernah benar-benar menyentuh jalang yang ia bayar. Ia hanya menyuruh jalangnya untuk menemaninya minum sembari mendengarkan ocehan tak jelasnya tentang mantan istrinya. la hanya butuh tempat berkeluh kesah untuk menumpahkan segala isi hatinya.

Setiap kali ia ingin menggerayangi jalangnya, ingatannya tentang malam bersama Shani menahan raganya, seolah tubuhnya sedang dirantai dan tersiksa.

***
tbc later

.
030423

coba curahkan semua isi pikiran kelen..

masih blm tau nih kedepannya bakal fiochik apa shanchik🤭

THE EGO: A MiracleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang