Nana | Bab 3

1 0 0
                                    

Tidak terasa satu bulan berlalu dan aku perlahan melupakan Shoji. Beberapa kali kami berpapasan tetapi aku mencoba untuk menghiraukannya.

"Eh, Na. Bentar lagi kan ulang tahun lu. Lu nggak ngerayain?" tanya Jemi tiba-tiba.

17 tahun... Angka yang menyeramkan. Angka yang menentukan titik selanjutnya.

"Nggak tahu, deh. Gue pikir-pikirin dulu. Tapi kalau iya, keknya bakal di rumah gue. Bapak gue lagi ke luar kota jadi bisa keknya, semoga," jawabku.

Sweet Seventeen...

Sebaiknya aku rayakan. Bisa saja ini menjadi waktu terbahagiaku. Who knows?

Aku langsung menghubungi Jemi dan ia pun dengan antusias mau membantu merencanakan ulang tahunku. Ya, pesta begini adalah keahliannya Jemi. Makanya aku percaya kepadanya.

Seminggu aku dan Jemi merencanakan pestaku. Ia membantuku mencari baju yang bagus, makanan-makanan, dekorasi, kue, dan masih banyak lagi. Aku tidak tahu bakal gimana pestanya kalau tidak ada Jemi.

Semoga saja pestanya sesuai ekspektasi.

Ya...

Semoga saja.

                                                                                            —

Malam terbesarku pun tiba.

Sweet Seventeen.

Sejujurnya aku sedikit gugup. Aku takut pestanya tidak berjalan lancar. Tetapi sejauh ini teman-temanku yang datang menikmati acaraku. Aku bisa melihat Jemi dan Kio berbincang-bincang dan tertawa seperti dunia hanya milik mereka saja. Aku sedikit iri terhadap mereka.

"Birthday girl! Kok ngelamun aja, sih? Serem, gila," canda seseorang.

"Lo! Siapa yang ngundang lo coba? Ngapain disini," ucapku dengan ketus.

Siapa lagi kalau bukan laki-laki nyebelin itu, Kiki.

"Lagi ulang tahun malah marah-marah. Si Kio lah yang ngajak gue," ungkap Kiki dengan menyeringai. "Kangen banget ya sama gue?"

Akupun menunjukkan muka "idih musnah aja lo dihadapan gue".

"Gimana kabar cewe lu? Gue prediksi sih udah putus," ejekku.

"Lah, kok lu tau? Serem, ih," ujar Kiki dengan santai.

Mataku dengan refleks membelalak.

"Eh...sorry...Gue beneran nggak tahu. Maaf, ya," ucapku dengan nada bersalah.

Kiki yang melihat reaksiku langsung tertawa. "Santai. Gue udah move on, kok. Udahlah, ngapain sih bahas mantan. Lu juga kan baru putus dari mantan lu itu."

"Lah, lu tau darimana?" tanyaku.

"Ada, deh. Udah deh, ayo nikmati ulang tahun lu."

Kami pun berbincang-bincang sambil memakan makanan yang ada. Dia menceritakan kejadian-kejadian lucu yang dia alami dan kami pun tertawa puas membahas itu.

Tok...Tok...Tok...

Entah kenapa suara pintu masih terdengar dengan suasana seberisik ini.

"Ki, gue bukain pintu nya dulu, ya," ucapku.

Dia pun mengangguk. Aku membalas dengan senyum dan cepat-cepat membuka pintu karena aku tidak sabar melanjutkan percakapanku dengan Kiki.

Deg...

Senyumku langsung memudar.

"Shoji?"

                                                                                                    —

"Shoji? Lu ngapain disini?" tanyaku dengan kaget.

"Pertama...Happy Sweet Seventeen, Na. Kedua, gue butuh ngomong sama lu," tuturnya.

"Lu lupa apa? Udah gue bilang gue nggak butuh penjelasan lu," ucapku dengan ketus.

"Iya, gue tau. Tapi please sekali ini saja. Nanti gue nggak akan lagi," ujarnya.

"Fine."

Aku mengajaknya ke halaman belakang karena aku tidak mau ada yang melihat bahwa aku berbicara dengan cowok brengsek tersebut.

"Jadi? Lu mau ngomong apa?" tanyaku dengan nada malas.

"Gue mau minta maaf. Gue tahu ini basi banget tapi gue butuh jelasin ini semua. Semua hal yang gue lakuin adalah hal terburuk yang pernah gue lakuin. Gue nggak tahu what's going on inside my head. Semua hal itu gue lakuin karena gue cemburu. Ya, cemburu. Karena gue ngeliat lo sama laki-laki lain. Gue tahu gue seharusnya nggak asumsi aneh-aneh, tapi malam itu gue udah terlanjur, Na. Ketika gue jauh dari lu dan sama cewe itu, gue nggak bisa berhenti mikirin lu. I miss you, Na. I truly do. Setiap malam, setiap waktu, setiap detik sama dia, gue cuman mikirin lu. Gue 17 tahun dan bodoh, Na. Gue minta maaf."

Entah kenapa, aku merasa muak dengan permintaan maafnya. Aku ingin teriak sekencang-kencangnya dan maki-maki dia. Tetapi yang hanya aku bisa lakukan adalah menjawab permintaan maafnya.

"Gue nggak ngerti lagi, Ji. Lu sampah banget. Lu pikir gue akan luluh pas lu bilang lu mikirin gue mulu? Lantas, kenapa lu jarang bales SMS gue? Nggak pernah angkat telepon gue? Dua bulan, Ji. Dua bulan gue nungguin lu. Lu jahat banget. Ke gue bahkan ke cewek selingkuhan lu itu. Gue jujur agak kasian sama dia," ucapku pada laki-laki dihadapanku yang keliatannya sudah sangat putus asa.

"Gue maaf sebesar-besarnya, Na. Gue nggak tahu mau ngapain lagi untuk nebus kesalahan gue," ucapnya.

Aku menghela nafas dan berhenti sejenak. Suatu pertanyaan muncul di kepalaku. Pertanyaan yang menyakitkan. Pertanyaan yang jawabannya aku nantikan.

Aku bisa melihat matanya melebar ketika mendengar pertanyaanku. Dia pun menjawab pertanyaan itu.

Itulah akhir dari hubungan kami.

10 Summers AgoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang