Ketiga orang yang berpakaian rapi dan bersepatu mengilat itu menatap ke arah Soo-jeong yang sedang duduk setengah berbaring dengan santai di teras depan.
Kedua belah kakinya bersetumpu pada kursi yang lain, dengan buku tebal di atas pangkuannya.
"Kau betul-betul tidak mau ikut bersama kami, Noona?" tanya Jae-hyun mewakili yang lain. Kelihatan betul, ia ingin sekali mengajak sang kakak bersama mereka.
"Tidak, Jae. Aku sedang merasa lelah sekali dan ingin santai di rumah saja," sahut Soo-jeong. "Aku butuh istirahat."
"Jeong~ah, kalau kau memang benar-benar tidak ingin ikut, tolong berikan uang ini untuk Seong-chan, ya," sela sang ibu sambil mengeluarkan uang dari dalam tasnya.
"Uang untuk apa sih, Eomma?" tanya Soo-jeong sambil melirik uang yang dipegang ibunya itu.
"Uang untuk bermalam Minggu. Tadi pagi dia sudah berkata mau menonton film bersama temannya."
"Perempuan?"
"Iya."
"Untuk nonton film dan makan malam, apakah uang segitu cukup?" Jae-hyun tertawa sambil membuka dompetnya dan mencabut selembar uang. "Sini, Eomma, biar 'ku tambahi."
"Itu bagianku, Jae," Soo-jeong menyela. "Kau sudah mengajak Appa dan Eomma pergi jalan-jalan dan mentraktir makan malam di hotel. Jadi kalau Seong-chan pulang nanti, aku yang akan memberinya uang. Oke?"
"Ya sudah, kalau begitu."
Jae-hyun memasukkan uang tadi ke dalam dompetnya kembali sambil tertawa.
"Ayo, Appa, Eomma, kita berangkat sekarang."
Ketiganya lalu melangkah ke halaman.
Jae-hyun sudah memarkir mobilnya di samping teras untuk memudahkan kedua orang tuanya. Tapi sebelum sang ayah masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah terbuka, pria itu menoleh ke arah Soo-jeong yang masih duduk santai.
"Jeong~ah, kalau adikmu nanti pulang dan kemudian mau pergi lagi seperti yang telah direncanakannya, tolong katakan kepadanya supaya jangan terlalu malam pulangnya," kata ayahnya. "Apalagi dia membawa anak orang, bisa dilabrak orang tuanya nanti."
"Tapi ini, 'kan malam Minggu, Appa. Kasihan Seong-chan. Biarkan sekali-sekali dia merasakan kebebasan."
"Tapi adikmu itu baru saja menginjak 20 tahun, Jeong~ah. Dan teman perempuannya juga baru sekitar 19 tahun," ibunya menyela. "Rasanya mereka masih belum memiliki kekuatan yang besar untuk mengatakan tidak dengan tegas kalau menghadap godaan yang begitu gencar."
"Baiklah, nanti akan 'ku katakan padanya," sahut Soo-jeong.
Tetapi Soo-jeong membatin, merasa tidak yakin apakah adiknya mau mendengarkan sarannya.
Seong-chan merupakan anak bungsu. Bandelnya bukan main. Pemuda itu sering main ke rumah teman-temannya dan susah dilarang.
Sekarang bandelnya memang sudah hilang bersamaan dengan usianya yang semakin bertambah.
Sebagai seorang psikolog, Soo-jeong selalu memonitor kiprah sang adik dari kejauhan. Dan sejauh itu, Seong-chan baik-baik saja.
Soo-jeong lalu memandangi kepergian orang tua dan adiknya. Ia merasa lega karena sebentar lagi akan punya waktu untuk dirinya.
Soo-jeong bermaksud membaca buku tentang kritik Emmanuel Levinas terhadap Martin Buber. Tetapi baru dua halaman ia membaca, kepalanya mulai terasa agak berputar sampai perutnya jadi mual.
Buku itu segera ditutupnya dan dipejamkannya matanya sambil menarik napas panjang selama beberapa kali.
"Kalau mau santai, ya, santai saja. Jangan membaca buku-buku berat dan menguras pikiran."
KAMU SEDANG MEMBACA
0 cm | Kaistal ✓
Fiksi PenggemarSOO-JEONG, seorang dosen, dibuat bingung ketika harus berhadapan dengan JONG-IN, mahasiswanya. Pemuda itu selalu mencari-cari perhatiannya. Misalnya, selalu bertanya, atau yang selalu paling dulu menjawab, atau menegur kapanpun bertemu dengannya. Jo...