Pucat?
Ah, mungkin wajahku berubah pucat.
Setelah mendengar komentar Bian, aku menyentuh pipiku yang sepertinya mendingin. Jantungku masih berdebar kuat karena semua kamera tadi. Mungkin aku perlu beristirahat.
Seakan membaca yang aku pikirkan, Bian menarikku ke belakang dan menyentuh kedua pipiku dengan wajah serius.
"Apa ada yang membuatmu ngga nyaman?" Tanya Bian. Dia terlihat khawatir.
Sayangnya aku tidak bisa menjawab. Yang aku alami rumit sehingga sulit untuk mengungkapkannya. Aku juga tidak mau menceritakan kesulitanku di sekolah karena kesannya seperti mengadu. Selain itu, kekesalanku atas pembullian di sekolah pasti akan membuatku emosi. Jadinya lebih mudah diam saja daripada meracau yang tidak-tidak.
"Apa kamu ngga suka dengan seragam yang aku siapkan?" Tanya Bian lagi karena aku diam.
Seragam itu bukan masalah sama sekali sehingga aku menggeleng.
"Apa kamu ngga suka orang-orang yang datang?"
Aku segera menggeleng karena orang-orang asing itu tidak salah apa-apa. Yang bermasalah adalah aku yang masih ketakutan karena perbuatan Ryan tadi pagi.
"Apa kamu ngga suka dipotret?"
Pertanyaan terakhir ini akhirnya merubah raut wajahku. Kedua mataku menjauh dari pandangan Bian yang menyelidiki. Reaksiku itu akhirnya membuat Bian mendapat jawaban dan paham.
Aku belum siap melihat kamera lagi. Semua yang aku alami masih terasa jelas. Hujatan yang aku terima seakan masih ada di hadapanku. Komentar yang aku lihat online terasa mencekam.
"Oke." Bian menarik nafas dalam. "Kalau kamu ngga suka dipotret, gimana kalau lepas softlense? Nanti aku akan arahkan apa yang perlu kamu lakukan. Kalau gitu kamu ngga perlu lihat prosesnya dan cukup ikuti arahanku aja. Gimana?" Tanya Bian menawarkan.
Itu sebenarnya ide cemerlang. Kalau aku tidak bisa melihat kameranya, aku rasa aku tidak akan takut. Semuanya mungkin akan selesai sebelum aku menyadarinya. Namun, ada satu masalah.
"Tapi aku benar-benar ngga bisa ngeliat tanpa kacamata kak. Kakak harus menuntunku seperti menuntun orang buta." Kataku ragu.
"Itu ngga masalah sama sekali." Jawab Bian tenang. Dia mengusap-usap kepalaku. Usapan ini selalu saja menenangkan. Bian selalu saja tahu apa yang perlu dilakukan padaku.
"Kalau ngga masalah kita bisa coba." Katanya lagi.
"Oke." Jawabku pelan. Ekspresi Bian terlihat semakin hangat ketika mendengar jawabanku.
"Oiya, ada satu hal yang perlu aku jelaskan. Semua anggota tim sepakat untuk membuat image baru buat kamu. Maksudnya, kami akan ngasi nama panggung dan mungkin menyimpan rapat informasi pribadi. Ini untuk melindungimu. Kamu ngga mau kan kalau terlalu banyak disorot online? kita akan buat identitas baru yang nantinya bisa menyembunyikan siapa kamu sebenarnya. Dengan begitu, kamu ngga perlu takut ranah pribadimu diganggu orang asing." Jelas Bian dengan topik baru. "Apa kamu keberatan?"
"Sebenarnya ngga. Tapi aku perlu pakai nama panggung?" Tanyaku penasaran. Apa yang direncanakan bossnya ini?
"Iya. Nanti di media sosial, kamu akan dipanggil Allan bukan Fadlan. Kamu bisa dengan mudah menyembunyikan diri dari incaran penggemar karena mukamu pakai kacamata dan mukamu tanpa kacamata jauh berbeda. Kalau mau lebih teliti lagi, kamu bisa menunjukkan kepribadian yang berbeda di depan kamera."
"Kepribadian yang berbeda?" Entah kenapa ini terasa menarik.
Aku sebenarnya sesekali ingin kembali ke masa-masa SD ketika aku ngga pernah punya masalah dan memiliki banyak teman. Ketika SMP aku sudah banyak menyembunyikan diri karena masuk di sekolah yang berbeda dengan teman-temanku ketika SD dulu. Saat SMP itu aku mulai dipandang sinis karena terlihat culun. Sejak mendapat pandangan tidak mengenakkan dan tidak banyak yang mau berteman denganku, aku akhirnya bersembunyi.
Akan tetapi, aku sebenarnya juga membutuhkan tempat untuk menjadi bebas. Aku juga ingin berceloteh panjang dan membalas kecerewetan Bian dengan kecerewetan juga. Sesekali, aku ingin menjadi orang lain. Bukan diriku yang menyedihkan ini.
"Iya. Kepribadian yang berbeda." Jawab Bian. "Tapi Jangan khawatir. Ini cuma masalah jadi profesional. Kamu tetap dirimu dan ngga perlu berpura-pura. Hanya saja, aku mau melihat kamu terlihat bahagia. Apa kamu bahagia kerja denganku?" Tanya Bian dengan senyuman.
Senyum itu menular dengan mudah ke bibirku. Sejak bekerja dengan orang ini aku memang merasa jauh lebih bahagia. Aku punya dunia baru dimana tidak ada yang menghinaku. Restoran ini selalu menerimaku dan bisa menjadi tempat perlindungan. Berada di tempat ini, aku merasa lega.
"Iya aku bahagia." Kataku dengan senyum lebih lebar.
"Baguslah." Kata Bian gembira.
"Kak, aku rasa aku ngga takut lagi sama kamera itu. Asalkan kamera itu di restoran ini, aku ngga akan takut lagi." Kataku akhirnya. Aku baru menyadari kalau di sini aku tidak sedang mempermalukan diri namun menunjukkan betapa menyenangkannya datang ke tempat ini. Aku tiba-tiba ingin menunjukkan kalau restoran ini adalah tempat yang indah untuk siapa saja.
"Oh kameranya? Aku kira kamu ngga suka proses pemotretannya. Oke deh kalau udah ngga apa-apa." Bian menepuk kepalaku lembut. "Ingat, kalau ada apa-apa kamu bisa cerita padaku. Kamu ngga perlu memaksakan diri." Kata Bian dengan senyum lebih berbinar.
Aku mengangguk.
"Oiya, ada satu hal lagi yang perlu kamu ingat baik-baik." Bian mendekatkan wajahnya sehingga aku merasa deg-degan. "Apapun komentar orang di luar sana, kamu tetap kamu dan semua itu tidak penting. Kamu tetap orang yang cemerlang, Lan. Aku akan selalu menyukai kecemerlanganmu itu." Ujar Bian tanpa tahu kalau ucapan itu adalah sesuatu yang paling aku butuhkan untuk hari ini. Aku yang sejak pagi menerima hujatan akhirnya mendengar kalau ada orang yang tetap menyukaiku tanpa peduli apa yang terjadi di dunia online itu.
Boss cerewetku yang tidak paham dampak ucapannya, tiba-tiba membebaskanku dari segala tekanan yang aku terima di sekolah. Tanpa sadar aku memeluknya karena terharu.
"Makasih kak. Meskipun aku seperti ini kakak tetap baik padaku." Kataku nyaris terisak.
"Bukan aku aja. Yang lain juga baik padamu kan? Kamu harus berterima kasih pada mereka juga." Kata Bian sambil membalas pelukan itu.
"Iya benar. Hari ini setelah jam kerja selesai, aku akan datangi semuanya untuk berterima kasih."
"Bagus." Sahut Bian mendukung. "Apa kamu udah siap menghadapi kamera?" Tanyanya.
"Iya. Aku siap." Jawabku.
Aku akan membuat diriku tidak dikenali sehingga tidak ada yang bisa menghubungkan antara si culun dengan Alan yang bekerja di restoran The Firdaus.
Setengah jam kemudian, wajahku sudah dipoles dan penampilanku dibuat berkelas. Aku kemudian diantar ke tempat pemotretan. Di hadapan empat kamera, aku melihat sebuah meja yang tertata indah. Di salah satu kursi, Bian duduk santai seperti seorang pelanggan.
"Untuk pemotretan pertama, aku akan menemanimu jadi kamu ngga akan terlalu canggung melakukannya." Kata Bian seraya mengulurkan tangan.
Aku menyambut uluran tangan itu dengan senyum yang mengembang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
RYVAN 1 - Ugly Duckling
RomansaSeme pembully vs Uke culun vs seme gentleman Cerita tentang orang culun yang menjadi ganteng setelah bertemu tambatan hati yang baik. Sayangnya gara-gara glowing up, orang yang dulu suka membullynya malah mengejar-ngejarnya. Catatan: author nulis u...