[09]

439 73 17
                                    

Cafe yang buka sampai pukul tiga pagi itu makin ramai seiring dengan hari yang makin larut. Tidak hanya anak muda, tetapi juga para pekerja kantoran penuh sesak dalam cafe tersebut. Interiornya yang dinilai memiliki tingkat estetika tinggi serta bergaya kekinian membuat cate ini digandrungi berbagai kalangan. Namun, Ezar baru tahu eksistensi cafe ini setelah diajak bertemu oleh Maretha. Perempuan itu mendadak mengajak ketemuan dan Ezar tentu tak bisa menolak. Tidak baik menolak rezeki, begitu pikirnya.

Tadi Ezar sudah tinggal menyelam ke alam mimpi saja ketika ada pesan masuk dari Maretha. Cukup lelah dengan harinya yang begitu suram. Apalagi ia sempat kambuh walaupun tidak parah. Harith juga sampai mewanti-wanti Ezar agar segera beristirahat dan tidak melakukan hal-hal aneh setelah tiba di rumah. Sayang sekali bukan Ezar namanya kalau gampang menurut pada Harith.

Lima belas menit menunggu kedatangan Maretha, perempuan itu akhirnya datang. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai bebas. Ia tersenyum tipis ketika melihat Ezar sudah duduk manis.

"You look gorgeous," puji Ezar spontan.

"I heard it a lot. Thank you."

Ezar tertawa. Reaksi yang ia dapatkan selaras dengan yang dibayangkan. Dalam sekali lihat juga sudah ketahuan kalau pujian semacam itu tidak akan mempan pada Maretha.

"Lo keliatan pucet. Belum makan, ya?" Alih-alih balas memberi pujian, Maretha malah mempertanyakan wajah pucat Ezar. Sedikit menyakiti harga diri Ezar sebenarnya, tetapi ia tetap menghargai kepedulian Maretha.

"Udah, kok."

"Sama Pak Harith?"

Sebelah alis Ezar terangkat. Ia jadi teringat kalau pertemuan terakhir mereka di acara pertunangan Alvan tidak berakhir baik. Ada kesalahpahaman yang mungkin saja sedang terjadi di sini. "Nggak, lah. Gue nggak sedekat itu sama Pak Harith. Di luar aja kelihatannya deket banget. Padahal, ya nggak juga. Dia emang baik ke semua orang. Nggak mandang perempuan atau laki-laki."

"Really?" Maretha tampak enggan untuk percaya. Apalagi Ezar terdengar seperti seorang aktor yang sedang klarifikasi rumor dating.

"Iya," balas Ezar. "Jangan salah paham soal cara dia ngomong ke gue. Gue sama Pak Harith nggak ada hubungan apa-apa selain rekan kerja. Pak Harith udah punya gebetan juga setau gue. Jadi, kalau beliau bertingkah kayak kemarin jangan terlalu dipikirin. Emang suka ambigu gitu beliau." Penjelasan itu Ezar buat semeyakinkan mungkin. Tentu dengan beberapa poin yang sebenarnya adalah kebohongan, terlebih soal gebetan Harith. Harith itu jomblo karatan yang tidak tersentuh.

"Padahal lebih bagus kalau kalian punya hubungan khusus. Maksud gue kayak kalian ternyata sahabatan atau malah saudara. Siapa tau itu bisa membantu tugas lo untuk meyakinkan beliau," ungkap Maretha blak-blakan.

Ezar menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Iya, sih. Tapi lo nggak usah khawatir. Soal kasus adik lo itu pasti bakal diambil sama Pak Harith. Gue udah menyusun strategi yang mustahil untuk gagal."

Senyum Maretha terbit disusul anggukan beberapa kali. "Okay, I trust you. Kalau bisa secepatnya, ya. Soalnya gue udah muak denger omelan Papa sama Mama." Maretha kemudian memijit pelipis. Jika diperhatikan dengan saksama memang ada gurat lelah di wajah cantik itu.

"Maaf, tapi gue penasaran, kenapa lo yang harus ngurusin masalah adik lo?"

"Mau siapa lagi selain gue? Sebagai anak sulung perempuan, tugas gue cuma memastikan adik-adik gue itu tumbuh dengan baik dan nantinya mewarisi perusahaan. Sayangnya adik gue yang paling tua itu banyak tingkah. Jadi, mau nggak mau gue harus kena getah," keluh Maretha dengan nada menggebu-gebu. Matanya berkilat emosi ketika bercerita.

The Melody of My Heartbeat ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang