1. Retak

192 12 0
                                    


~Helena~

Aku tak pernah menyangka kalau dua garis yang dinantikan orang-orang yang telah menikah itu malah menjadi bencana untukku. Seharusnya, aku membuat hidden camera untuk memberi kejutan pada suamiku kalau aku hamil. Seharusnya, itu merupakan kabar gembira bagi married couple pada umumnya.

Sayangnya, aku dan Bram bukan married couple pada umumnya.

Masih kuingat betul bagaimana reaksi Bram ketika menemukanku di kamar mandi tengah menahan tangis sambil memegangi test pack. Dia mengambil benda itu dari tanganku dan membuangnya ke tempat sampah tanpa bicara satu patah kata pun. Setelahnya, dia bergegas pergi dan kembali dengan test pack yang baru.

"Tes lagi!" titahnya, dengan ekspresi mengerikan di wajahnya.

Aku menggeleng, "Nggak bisa langsung. Nunggu besok atau lusa, nanti hasilnya-"

"Apa? Lo takut yang tadi false positive?"

Nada mengancam dalam pertanyaannya membuatku bungkam. Melihatku yang menunduk, Bram menyugar rambutnya dan tiba-tiba memukul pintu kamar mandi.

"Sialan!" umpatnya. "Berengsek!"

Air mataku turun lagi. Aku juga tidak mengharapkan kehadiran bayi ini. Semua tidak ada dalam rencana kami.

"Apa ini yang waktu di Bali?" Bram mencengkeram lenganku. Matanya memelotot.

Aku mengangguk ragu. "Mungkin, karena hanya waktu itu kita-"

"Lo bilang itu tanggal aman!" pekik Bram. Aku bisa melihat wajah frustasinya. "Oh come on, Na! Jangan bercanda! We're not doing this, okay?"

"Gue juga nggak mau begini, Bram," ujarku di tengah isak tangis yang mulai menjadi. "Terus kita harus gimana? Bayi-"

"Wow, don't say that!" Telunjuk Bram terarah padaku. Kemudian dia menyugar rambut lagi dan menghela napas panjang. Dia tampak berpikir lama. "Tes lagi, dua hari lagi. Setelah itu baru tentukan langkah selanjutnya. Berita ini jangan bocor ke mana-mana, Na."

Setelah melihatku mengangguk, Bram berbalik sambil tetap memaki pelan. Tanganku refleks menarik kausnya. Lelaki itu menoleh lagi, menahan langkahnya.

"Lo ... nggak akan ninggalin gue, kan?"

Miris, aku terdengar seperti mengemis padanya. Namun, Bram diam saja dan memilih meninggalkanku di kamar mandi. Saat itu aku tahu, lelaki itu bisa pergi kapan saja tanpa memedulikanku. Fakta yang menamparku adalah dia memang tidak pernah mencintaiku. Sejak hari kami berjanji di hadapan Tuhan, kami sudah membohongi Tuhan.

Ya, aku dan Bram menikah secara kontrak. Lima tahun dan kami akan berpisah setelahnya.

Memiliki bayi ini di perutku bukanlah salah satu dari perjanjian kami. Bahkan, kami tidak membuat pasal khusus tentang kehamilan dan memiliki anak. Lagi pula, kami berhasil bertahan selama dua setengah tahun terakhir tanpa aku hamil.

Kenapa harus sekarang? Dua setengah tahun lagi aku harus berpisah dengannya. Lalu, bagaimana dengan anak ini?

Aku menatap perutku yang belum terlihat buncit. Aku terlambat menstruasi hampir sebulan. Kukira ini karena stress dengan pekerjaan di kantor. Namun, sebulan terakhir aku bahkan tidak lembur. Ditambah rasa berat di tengkuk dan mual yang kambuh-kambuhan. Membeli test pack kulakukan secara tak sengaja ketika mampir ke minimarket.

Bram mengetahuinya semalam dan hanya menertawakanku yang membeli test pack. Dia bilang aku hanya masuk angin dan kurang istirahat. Yang langsung kuamini kala itu. Tak ada yang mengira kemunculan dua garis di alat kecil itu membuat perasaan kami porak poranda.

Hanya karena satu malam kami terbawa perasaan, semuanya menjadi kacau. Air mataku tumpah lagi. Aku meringkuk di atas kloset kamar mandi.

"Gue harus gimana ...."

***

UnspokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang