Fakta yang Menyakitkan

13 3 0
                                    

            Fuschia memmiliki runititas baru akhir-akhir ini. Setelah menjalani sekolah seperti biasa, ia akan pergi ke club musik. Kemudian berangkat les matematika. Semua selesai pada pukul setengah lima sore paling cepat. Kadang pula dia baru pulang ketika matahari terbenam. Setelah dari rutinitas yang melelahkan, Fuschia akan menyempatkan diri untuk menjenguk Feliz di rumah sakit.

Seperti hari ini, tanggal 12 April di sore yang hangat, sambari menenteng tas biola di punggung dan keranjang buah-buahan yang tersusun cantik. Ucapan harapan semoga cepat sembuh tergantung di salah satu pegangan keranjang itu. Baru kali ini Fuschia membawa sesuatu untuk menjenguk Feliz. Tadinya sih Fuschia mau membawa bunga, tapi menurut akturan rumah sakit di sini, membawa bunga dilarang karena dikhawatirkan akan membawa bakteri dari bunga yang bisa menyebarkan penyakit ke pasien.

Ekspresi Feliz seperti biasa. Tersenyum lemah, dia mengingat jam-jam Fuschia akan datang menjenguk. Supaya saat gadis itu datang, Feliz sudah merapikan diri dan dalam kedaaan tersadar. Fuschia tersenyum. "Halo Kak. Udah lebih baik kah?"

Fuschia menaruh semua barang bawaannya dan juga keranjang buah itu di atas meja yang berjarak dua meter dari ranjang. "Maaf ya baru kali ini bawa sesuatu."

Mata Feliz mengikuti sang gadis hingga tatapannya berhenti di samping kanannya. "Gak apa. Hari ini gimana?"

Gadis itu membuang napas kasar. "Gak ada yang spesial kecuali Kak Feliz."

Feliz tersenyum. Kalau saja saat ini dirinya tidak terpasang alat-alat kesehatan, pasti dia sudah tertawa keras. "Gue udah pernah bilang, jangan panggil gue kakak," desahnya. "Kan kita seumuran."

Fuschia menggeleng, hingga rambutnya yang terkucir ikut mengayun. "Gak enak tau, Kak. Lagian Kak Feliz tuh panggilan paling keren."

"Oke, kalo gitu. Gimana di club biolanya?"

Fuschia berpikir sejenak, merangkai kata-kata yang pas untuk diucapkan. "Di hari pembukaan olimpiade nanti, gue kepilih buat tampil mainin biola di sana!"

"Tampil solo?"

Fuschia menggeleng. "Gue berpasangan sama Alice yang jadi pianis, gue juga bingung kenapa bisa secepet ini buat kepilih. Padahal akhir-akhir ini—"

Fuschia mendadak diam, tidak ingin Feliz tahu kalau akhir-akhir ini dia tidak terlalu konsentrasi saat bermain biola. Karena ucapan Magentha yang selalu mengganggu pikirannya, Cetta yang masih mendiamkannya dan juga pikiran mengenai Feliz yang sakitnya seperti tidak memiliki kemajuan. Rasanya kepala Fuschia akan meledak sebentar lagi.

"Akhir-akhir ini kenapa?"

"Engga, Cuma ngerasa kaya capek banget, wajar kan?"

"Semangat, ya. Gue gak bisa bantu apa-apa selain nyemangatin. Bahkan gue juga gak tau bakal berpengaruh atau engga kata-kata semangat itu."

Fuschia tersenyum lebar. "Kakak gak tau aja, hari-hari mood gue naik karena lo. Makanya cepet sembuh biar bisa nonton gue nanti."

Feliz menaruh telapak tangannya di atas dada sebelah kiri, letak jantungnya berada. "Di sini, seperti menghangat."

Atmosfer terasa menghangat. Untuk beberapa detik, mereka terdiam. Saling bertatapan. Mereka sama-sama remaja yang penuh gejolak. Banyak hal yang membuat mereka ingin melangkah bersama, walau sempat berhenti, dan untuk terakhir kalinya, kembali bersama-sama menjalani kerasnya dunia. Mereka tersentak kaget ketika ada seseorang yang membuka pintu.

Lebih kaget lagi melihat Aluna yang datang bersama Rain. Fuschia lantas berdiri. "Aluna, lo...."

"Aluna pacar gue sejak setengah jam yang lalu," jawab Rain dengan entengnya. Fuschia terkesiap. Begitu juga Feliz yang sudah mencak-mencak dalam hati.

Sunflowers In The Grass (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang