06

197 26 1
                                    

"Kakak gak pesen minum?"

Ah iya, Haerin sampai lupa dengan tujuannya datang ke sini.

Merasa terlalu sulit untuk berkomunikasi, Haerin memakaikan alat bantu dengar yang masih tergeletak di meja pada telinga mungil milik Hyein.

"Iya, ini baru mau pesen," ucapnya kemudian, "Mau minum bareng?"

Haerin mengernyitkan dahinya saat melihat Hyein yang tampak gelisah tiba-tiba.

"Kenapa? Aku salah pasang ya?" tanya Haerin, berusaha memahami apa yang Hyein rasakan saat ini.

Hyein tidak merespon, ia justru berusaha untuk melepaskan alat yang berada di telinganya itu.

Pergerakannya terhenti dan ia berusaha terlihat tenang ketika melihat mamanya sudah kembali dari toilet dan sedang berjalan menghampirinya.

"Tante, mamanya Hyein?" tanya Haerin sesopan mungkin.

Wanita tersebut mengangguk, "Kamu kenal Hyein?"

"H-hah? Eh, nggak kok tante, pernah ketemu aja di sekolah," Haerin mendadak merasa canggung.

Wanita yang Haerin sebut 'tante' itu mengangguk paham lalu berpamitan dengannya dan mengajak Hyein pulang.

Haerin melihat punggung Hyein yang mulai menjauh darinya. Ia merasa ada yang aneh dengan Hyein, tapi satu hal yang pasti, Haerin merasa iba dengannya.

Hyein sering kali terlihat gelisah dan bersikap cukup aneh, membuat Haerin bertanya-tanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi dengan anak itu.

.

.

.

"Rin, lo nanti ikut karyawisata?" tanya Minji saat melihat Haerin masuk ke dalam kamarnya dengan segelas minuman yang barusan ia beli.

"Ikut lah, lo kayak gak tau aja gue orangnya gimana. Lo ikut juga kan?" tanya Haerin kembali.

"Gak tau, gue masih nimbang-nimbang," jawab Minji sambil menghela napas.

Tadi siang, di sekolah, ada pengumuman tentang acara karyawisata minggu depan. Acara ini bersifat tidak wajib karena setiap murid yang ingin ikut harus membayar uang patungan untuk berbagai kebutuhan di tempat tujuan nanti.

"Halah, orang kaya kayak lo masih aja pake mikir-mikir segala."

"Bukan masalah jumlah uangnya, Rin. Masalahnya, gue harus minta ke siapa? Lo tau sendiri, gue gak pernah dikasih uang jajan."

Haerin terdiam sejenak. Benar juga, Minji memang tidak dekat sama sekali dengan papanya.

"Nanti gue coba minta ke bunda gue. Tenang aja," jawab Haerin.

"Jangan Rin, gue gak suka ngerepotin orang kayak gini. Nanti gue coba tanya papa deh."

Haerin tersenyum tipis, "Ya, emang udah saatnya lo berdamai lagi sama papa lo. Semuanya udah berlalu, Minji."

Minji termenung, merenungi ucapan Haerin.

"Lo juga harus berdamai juga sama Hanni. Mau sampe kapan lo kayak gini? Adek lo butuh banget kasih sayang lo sebagai kakak sekaligus orang tua untuk dia. Sayangi dia sama kayak mama lo yang dulu sayang banget sama lo," tambah Haerin panjang lebar.

Sial, kalimat terakhir Haerin membuat jantung Minji mencelos. Sangat sakit. Ia ingin menangis lagi, tapi sebisa mungkin ia tahan.

.

.

.

"Lo udah mulai berani ngelawan ya sekarang," ucap Jeno sambil tersenyum miring, membuat Hyein menatapnya takut sambil bergidik ngeri.

Iya, itu Lee Jeno, kakak kandung Hyein. Jangan salah, dibalik wajah dan perilakunya yang terlihat manis di depan orang tuanya, ia sebenarnya menyimpan kebencian yang begitu besar terhadap adiknya.

Entahlah, ia benci sekali menerima fakta bahwa adiknya adalah seorang tunarungu. Bukan, ia bukan tidak suka melihat adiknya hidup dengan kekurangan seperti ini. Tapi, ia benci karena kekurangan sang adik membuat orang tuanya begitu memanjakannya dan seolah-olah perhatian mereka terhadap Jeno hilang begitu saja.

"K-kak..."

"Masih berani jawab?" tanya Jeno tajam.

Hyein menggeleng cepat sambil menangis. Sungguh, ia ketakutan sekarang.

Dengan tangannya yang bergetar hebat, ia melepaskan alat bantu dengar yang masih terpasang sempurna di telinganya. Ia tersenyum tipis ketika ia sudah tidak bisa mendengar apa-apa lagi.

Bugh!

Tubuh mungil Hyein sedikit oleng akibat pukulan dari Jeno di pipinya. Kemudian, Jeno mencolek dagunya dengan kasar. Demi apapun, Hyein berharap ada yang bisa menyelamatkannya sekarang.

Jeno memakaikan lagi alat bantu dengar tersebut pada telinga Hyein dengan sangat kasar.

"Lo belajar dari mana hah? Berani ngelunjak ya sekarang," ucap Jeno marah.

"Maksud kakak-"

"DIEM!"

Rasanya Hyein ingin mati saja sekarang.

"Jangan sok polos! Lo udah mulai berani ya, nyuruh-nyuruh orang lain buat bantuin lo!"

Hyein menggeleng cepat. Kakaknya pasti salah paham melihat dirinya ditolong Haerin saat dibully oleh teman-teman Jeno kemarin.

"Udah mulai berani nyuruh orang lain buat jadi pahlawan kesiangan lo, ya?"

Hyein ingin menjelaskan, tapi ia tahu Jeno tidak akan mau mendengarnya. Percuma.

Jeno akhirnya keluar dan membanting pintu kamar Hyein dengan begitu keras. Tidak ada yang mendengar, karena kedua orang tua mereka sedang tidak ada di rumah.

Papa mereka bekerja hingga malam, dan mama mereka segera pergi ke tempat lain tadi setelah mengantar Hyein kembali ke rumah.

Hyein meringis ketika merasakan pipinya yang masih terasa panas akibat ulah kakaknya.

Lagi, ia melepaskan alat bantu dengar yang sangat ia benci itu. Ia benci ketika harus mendengar amarah yang ditujukan kepadanya. Hyein rasa, memang lebih baik dirinya tidak perlu mendengar apa-apa.

Hyein merahasiakan segalanya dari kedua orang tuanya, termasuk mengenai perlakuan kasar Jeno terhadapnya selama ini.

Anak itu hanya menggunakan alat bantu dengarnya di sekolah dan di hadapan orang tuanya. Ketika ia sedang di luar lingkungan sekolah atau sedang sendirian di rumah, ia akan melepaskan alat tersebut.

Hyein mengambil ponselnya di atas nakas dan mulai membuka kontak Line miliknya, kemudian menekan kontak yang berada di paling atas.

Kedua jari mungilnya mulai mengetik pesan kepada pemilik nomor telepon tersebut, yang tak lain adalah Renjun, salah seorang teman kakaknya yang menindasnya kemarin.

Ya, Hyein percaya bahwa teman-teman Jeno yang selama ini sering menindasnya, sebenarnya merupakan orang-orang yang baik.

Renjun, Mark, dan Lucas. Tiga orang itu.

.

.

.

26/06/23

Wishlist || Kang HaerinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang