Dihyan akhirnya sampai di rumah saat hari benar-benar sudah gelap. Dan seperti biasa dia akan langsung melenggang ke kamar tanpa sedikitpun memberi jeda kakinya melangkah saat mendengar suara orang tuanya di ruang tengah. Memang seperti anak durhaka. Tapi itu dia lakukan untuk menjaga kedamaian malamnya hari ini. Agar tidak mendapatkan kata-kata mutiara dari sang papah. Lagipula, mamahnya sudah pasti mengerti.
Ketika hendak menuju kamarnya sendiri, tiba-tiba Dihyan menghentikan langkah begitu melihat pintu kamar yang ada di sebelah kamarnya terbuka sedikit. Entah siapa, biasanya bekas kamar Vio hanya dibuka saat siang hari untuk dibersihkan. Begitu dia buka, rupanya ada Haris yang tengah duduk di pinggir tempat tidur sembari menatap sebuah figura yang dipegang.
"Kamu ngapain?" Dihyan pun masuk dan membuat sang adik seketika terperanjat.
Agak telat saat Haris berusaha menyembunyikan tangis dengan menyeka kasar air matanya, Dihyan sudah terlanjur melihat cairan tersebut mengalir.
"Gak ngapa-ngapain."
Cowok itu mendudukan diri di samping Haris dan ikut melihat bingkai foto tersebut. Foto yang menunjukkan dirinya dan kedua adiknya saat masih kecil. Kontan, senyum terukir samar bersama hati yang kembali tersentil dengan rindu. Sepertinya Vio memang sedang merindukan rumah, tidak hanya menyentuh sanubarinya tadi namun juga Haris sekarang.
Sorotannya beralih pada Haris yang masih senantiasa memperhatikan bingkai tersebut dengan penuh sendu. Terlepas dari rasa sakit dan ego, Dihyan juga merindukan bagaimana kedekatannya dulu bersama adik-adiknya.
"Ris ...."
"Hm."
Momen di mana masih tidak ada benteng yang membatasi pembicaraan, banyak bercanda dan saling mendekap erat. Ia menyesali keadaan sekarang. Akibat rasa kehilangan, diri menjadi serba kekurangan.
"Maafin Mas," Dihyan memalingkan atensi lantas menunduk sambil menumpukan kedua sikunya di atas paha, "Mas juga kangen, kok. Mas kangen banget masa di mana Mas masih bisa peluk kalian berdua."
Ya, pada masa itu Dihyan sama sekali tidak peduli dengan kekurangannya. Yang membuat isi kepala sibuk hanyalah bermain dan tertawa bersama sang adik. Tidak peduli dengan pelajaran dan tidak memusingkan soal nilai rapot. Dihyan hanya tahu bersenang-senang dengan adik-adiknya.
Tapi bukan berarti dia tidak pernah belajar. Tentunya dia sering belajar. Namun pada saat itu belajar masih terasa sangat menyenangkan baginya.
"Kasih sayang Mas gak pernah Mas bedain ke kalian berdua. Mamah sama papah baik banget, karena udah kasih Mas adik-adik yang pinter kaya kalian."
Haris kembali menyeka air matanya lalu menoleh, memperlihatkan mata sembab yang sudah memerah. "Tapi sekarang, Mas benci sama aku, kan?"
Benci? Tidak! Dihyan tidak pernah membenci siapa pun di dalam rumahnya dan tidak akan mau membenci.
Kebencian hanya hinggap pada hati yang lemah. Dihyan berusaha untuk melindungi sanubari dari rasa itu yang terus didatangkan semesta di berbagai masa. Dan caranya mungkin terlihat jahat, tapi dia tidak bisa menemukan cara lain agar terhindar dari rasa buruk selain menjaga jarak.
"Mas sayang banget sama kamu dan rasa itu masih tetap sama. Sekarang kamu satu-satunya adek Mas. Gimana Mas bisa benci sama kamu?"
"Tapi setelah kepergian Vio, Mas jadi terasa asing buat aku. Kita kaya orang gak kenal di rumah ini."
Benar sekali. Dihyan juga merasakan kehidupannya menjadi asing. Selalu pergi dari rumah meskipun itu di hari libur, pulang di penghujung hari sampai malam dan jarang bergabung di meja makan. Sangat asing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afeksi Garis Tangan | Selesai
Teen FictionHanya seseorang yang ingin tenang tanpa mengharapkan apapun. [Family, Brothership] ©2023