Arsyraina || 8

68 34 169
                                    

Mari kita kembali sebelum tahun baru ...

Ditunggu naskah perbabnya kak HasrianiHamz

~~|''|~~

"Sama, Bang. Aku juga sebenarnya ada campuran Bugis-Makassar, tapi gak pernah belajar bahasanya. Maklum ini baru pertama kali keluar dari pulau Kalimantan," jelasku diakhiri kekehan.

"Mmm ... Kalimantan," gumamnya sangat pelan, tetapi masih dapat kudengar, "terus ... kemarin gak belajar juga sama bang Rasyad?"

"Gak, Bang. Belajar ilmu pengetahuan umum aja," jawabku santai.

"Sambil PDKT?" sambungnya membuatku tersedak.

Cepat-cepat ia mengulurkan gelas yang masih terisi penuh, memberikan kotak tisu dengan tangan kanannya yang mengusap pelan bagian punggungku. Setelah merasa tenang, aku baru balik menegurmya.

"Mana ada PDKT, gak lah, Bang. Dia itu udah macam Abang buat aku."

Dion hanya mengerucutkan bibirnya seraya mengangguk pelan penuh makna. Sekilas aku meliriknya, ia masih tersenyum seperti sedang memikirkan sesuatu. Tampang jahilnya memang menguar ke mana-mana, tak bisa berbohong jika ia memang tidak sekalem caranya berbicara. Namun, aku memilih untuk tidak peduli. Terserah dia saja mau berpikir apa, toh pada kenyataannya memang seperti itu. Aku dan Rasyad hanya teman, tidak lebih.

Setelahnya, tak ada lagi yang bersuara, kesunyian telah berhasil kami hadirkan di tengah-tengah. Sambil menyuap bubur ke dalam mulut masing-masing, sesekali tanganku juga terulur meraih ponsel walau hanya sekedar melihat jam. Akan tetapi, ternyata ia menjadikan itu sebagai bahan untuk kembali meledekku.

"Tenang, Bang Rasyad belum bangun jam segini," ucapnya tanpa menoleh ke arahku.

Aku hanya memalingkan wajah menatapnya sebentar sebelum membantah. "Bang Dion ini nah, aku cuma liat jam juga." Kemudian lanjut menyuap bubur hingga habis.

Baru saja aku akan berdiri, dengan cepat Dion menahan lenganku dan meminta untuk duduk kembali di sampingnya.

"Tunggu, Raina, duduk dulu sebentar sini," pintanya.

Alisku mengerut bingung, bukan dengan perlakuannya tapi dengan nama baru yang barusan ia sebut. Raina? Boleh juga.

"Namamu terlalu panjang sih," katanya sebelum aku mengajukan pertanyaan.

"Kenapa, Bang?" Kali ini baru aku menanyakan maksudnya menyuruh untuk duduk kembali.

"Tunggu sampai aku selesai makan." Ia menyengir sembari mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Kita foto juga sebentar, biar aku bisa pamer ke bang Rasyad."

Ia mengarahkan ponsel yang sudah diatur menggunakan tangkapan kamera depan. Memotret hanya sekali, aku tidak memeriksa sebelumnya hanya dia yang terus menge-zoom layar ponselnya, sementara aku memang tidak peduli dengan hasilnya.

"Makasih, Bang," ucapku seraya membungkuk sebelum menutup pintu mobil.

"Sama-sama, Arsyra, semoga secepatnya jadian sama Bang Rasyad."

Ia tertawa dan melajukan mobilnya. Sebutan Arsyra akhirnya kembali ia gunakan, setelah perdebatan di sepanjang jalan tadi. Bukan tidak suka, hanya saja aku merasa asing dan tidak mengenal diriku sendiri dengan sebutan itu. Katanya, nama itu sudah seperti milik gadis kota. Akan tetapi dengan alasan apa pun, aku tetap menolak tidak tahu kenapa. Padahal aku selalu memberi kebebasan pada orang lain untuk memanggilku senyaman hatinya.

Saat turun dari mobil Bang Dion barusan, aku berencana untuk mampir ke Alfa dulu membeli beberapa snack dan minuman dingin sebelum kembali ke kamar. Namun, kembali aku urungkan ketika ekor mataku tidak sangaja melihat lelaki gondrong di seberang jalan sana. Sepertinya ia baru membalik badan, seketika pikiran negatifku kembali muncul. Jangan-jangan dia selalu memata-mataiku, pikirku mulai panik.

Ingatanku terseret kembali pada kejadian semalam. Setelah aku tidak sengaja menabraknya, ia tiba-tiba muncul di tempat gelap menolongku dan menghilangkan kesan dingin pada dirinya. Dan sekarang dia kembali muncul, kali ini bukan hanya sekedar dingin tetapi memang misterius. Apa sebenarnya yang dia inginkan?

Perasaanku kemarin sudah minta maaf, atau pacarnya itu yang keberatan. Prasangka buruk terus menguasai hati dan pola pikirku. Tubuhku terasa dingin, tetapi keringat bermunculan di setiap celah pori-poriku. Belum lagi perutku yang terasa mules karena perasaan cemas. Aku takut jika terus diawasi seperti ini, aku mau cepat-cepat pulang.

"Sembarang sekali ikuti orang nda dikenal, bagaimana mi kalau itu orang ternyata nda baik juga?"

Ucapan Rasyad semalam langsung terngiang di telingaku. Benar kata Rasyad, bagaimana jika orang itu ternyata tidak baik. Lalu, aku harus bagaimana?

Mengadu ke Rasyad sekarang yang ada aku akan diomeli lagi seperti semalam, aku belum siap untuk menerima tatapan itu lagi. Kedua tanganku saling menautkan jemari, meremas seraya berusaha menelan ludah dengan kasar. Aku memilih untuk pura-pura tidak melihatnya sambil melangkah dengan cepat menuju kamar. Ya, sekarang kamar adalah tempat teraman untukku. Lupakan tentang snack dan minuman dingin itu, rasa nyaman dan aman jauh lebih penting dari sekadar kenyang.

Tiba di lift, jemariku masih gemetar setengah mati kuarahkan untuk menekan tombol angka. Kenapa aku jadi penakut seperti ini? Rasanya aku ingin nangis saja sekarang, tapi percuma juga. Orang itu tidak akan luluh hanya dengan melihat air mataku, bisa jadi ia malah semakin kesal mendengar tangisan cengengku. Cepat-cepat aku melangkah memasuki kamar. Menutupnya segera dan memastikan jika sudah terkunci. Aku sudah di tempat aman, tetapi dadaku masih naik turun. Aku hampir tidak percaya, di kota besar seperti ini memang tidak aman. Pantas saja kejahatan yang sering ditampilkan di berita-berita setiap harinya kebanyakan dari pulau Jawa. Ternyata memang semenyeramkan itu, aku bergidik ngeri membayangkannya.

Perlahan aku duduk di tepi tempat tidur sebelum merebahkan diri. Namun, seketika tersentak saat ponselku berdering dengan nyaring. Duh, jantungku kembali dag dig dug lagi. Setelah mengeluarkannya dari dalam tas, langsung saja aku menjawabnya setelah melihat nama yang tertera di layar.

"Iish ... Rasyad nah, kaget aku," protesku tidak sadar.

"Eh, kenapa kah, Sera? Menelponja ini, ndaji kuapa-apakan." Ia membela diri dengan logat dan suara khasnya.

Hampir saja aku mengadu jika tidak segera mengingat konsekuensi yang akan aku terima nanti. Ya, lebih baik aku pendam saja sendiri, dari pada harus menerima tatapan dan sikap dinginnya. Lagi pula, teror ini tidak akan lama, aku tidak tinggal sebulan atau bahkan sepekan lagi di sini. Paling lusa atau beberapa hari ke depan, tiket pulang akan segera dibagikan.

"Ya, kenapa lagi itu Sera diam-diam?" tanyanya.

"Gak kenapa-kenapa, aku mau dengar suara Rasyad aja."

"Kukira diam-diam pikirkan bang Dion atau la gonrong lagi."

Mendengar sebutannya, aku kembali menengang. Rasa-rasanya aku jadi trauma dengan lelaki itu, bisa kah aku memohon untuk tidak dipertemukan lagi dengannya.

"Sera? Deh, ini anak kupencet betulki hidungnya ini lama-lama."

Kudengar Rasyad sudah menggerutu di balik telepon sana. Aku tersenyum, hanya dengan seperti itu saja ia sudah bisa membuatku merasa nyaman. Bagaimana jika ia masih ada di sini? Tentu aku tidak akan pernah merasakan ketakutan seperti ini. Kecuali, takut memiliki rasa atau harapan yang lebih padanya.

~~|''|~~

Hukum dalam RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang