Part 17

11.1K 780 8
                                    

Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Ryan. Dia menyuruhku pulang dengan mudah sehingga rasanya aneh. Apa dia sudah mendapat foto memalukan yang dia mau? Hal apa yang akan dia unggah ke sosial media nanti? Membayangkan itu saja aku sudah takut. Mungkin sebaiknya aku segera pindah dari sekolah itu.

"Kak, kakak nangis ya?" Tanya Furqon begitu aku sampai di rumah.

"Ngga. Cuma kelilipan." Jawabku singkat. Saking seringnya menyembunyikan apa yang aku alami di sekolah, aku bisa berbohong dengan mudah. Tanpa menjawab wajah ingin tahu adikku, aku pergi ke kamar mandi dan mencuci muka. Nanti ketika di restoran, Bian tidak boleh melihatku sembap atau dia akan cerewet.

Setelah memastikan kalau aku terlihat baik-baik saja, aku segera mengganti pakaian dan bersepeda menuju The Firdaus. Sepanjang jalan aku memikirkan apa yang harus aku katakan pada orang tuaku soal mengganti sekolah. Mereka jelas akan menolak sehingga aku perlu cari cara untuk membujuk.

Sesampainya di restoran, aku langsung mengganti kostum setelah memberi salam pada semua pegawai yang hadir. Hari itu tidak ada pemotretan maupun shooting namun Bian mengatakan ada kegiatan lain yang membutuhkan penampilan optimal. Seperti biasa, bossku itu menuntut agar aku berdandan dengan benar. Bian juga sibuk memperbaiki penampilanku setiap hari.

Begitu selesai merapikan pakaian, aku langsung menemui Bian yang masih sibuk dengan para kameramen.

"Hi Lan, udah datang?" Sapa Bian yang kemudian diikuti oleh sapaan yang lain. Aku membalas sapaan mereka dengan senyuman.

"Aku ngga telat kan kak?" Tanyaku.

"Kalau kerjanya sih ngga telat Lan. Tapi Bian udah ngangenin kamu dari tadi." Sahut Sofia sambil cekikikan.

"Iya tuh, dari tadi diomongin terus." Sahut Daffa, salah satu fotografer yang sedang sibuk dengan mouse dan layar.

"Cerewet banget tuh, Si Bian. capek gue ngeladenin maunya." Keluh Arya yang sibuk mengedit video.

"Kalian sedang sepakat musuhin aku ya." Gerutu Bian yang bangkit kemudian mendekat ke arahku. Setelah cukup dekat, dia melingkarkan tangannya di pundakku kemudian mengajakku melihat hasil kerja tim.

"Ini yang akan kita upload hari ini. Ada komentar ngga?" Tanya Bian setelah memperlihatkan beberapa foto di layar.

Aku meneliti semua foto itu kemudian menggeleng. "Semuanya bagus." Jawabku.

"Oke. Kalau gitu kita omongin hal lain. Ayuk pergi." Bian membawaku menjauh dari kumpulan tim.

"Hati-hati Lan! Nanti diapa-apain lho!" Kata Arya setengah berteriak. Bian membalas teriakan itu dengan jari tengah kemudian Arya tertawa.

"Jangan dengerin dia. Aku orang yang sopan." Kata Bian.

"Bener?" Tanyaku tidak percaya. Sudah berkali-kali Bian mengambil kesempatan dengan cara terselubung.

"Lan, kalau aku mau aneh-aneh, udah dari lama aku coba." Sahut Bian dongkol.

"Iya aku percaya." Kataku akhirnya. Bian benar. Dia sebenarnya tidak pernah bersikap buruk walaupun sering merayu.

"Ngomong-ngomong, tadi kamu habis nangis ya?" Tanya Bian. Sesampainya di tempat sepi, dia menyentuh pipiku dan memperhatikan wajahku

Dang, Bian menyadarinya. Bossku ini ternyata lebih teliti daripada yang aku bayangkan. Bagaimana caranya Bian melihatnya? Aku sudah mencuci muka dengan baik!

"Ngga kok kak. Cuma kelilipan." Jawabku menggunakan jawaban biasa.

"Jangan bohong. Ada apa hari ini? Cerita yang jujur." Bian terlihat serius.

"Ngga apa-apa. Jangan tanya lagi." Kataku akhirnya. Aku tidak mau menceritakan apa yang aku alami. Rasanya sulit melakukan itu. Mungkin karena aku malu karena selemah itu. Mungkin juga aku benci diriku yang bisa dibully dengan mudah.

"Lan, gimana kalau tiap pulang sekolah aku jemput?"

"Ngga perlu kak."

"Kalau gitu, cerita ada apa! Kenapa kamu sampai nangis?"

Aku langsung diam seribu bahasa. Apa yang harus dilakukan?

Tidak bisa menyahuti itu, aku memainkan jari-jariku karena khawatir. Bian menatapku semakin tajam namun aku tetap tidak bisa menjawab.

"Sekarang kamu beneran bikin aku kesal." Bian mendengus. Dia sepertinya mau memarahiku.

"Maaf kak." Kataku sambil menunduk.

"Kenapa kamu ngga mau cerita? Apa kamu ngga percaya padaku?"

Aku bukannya tidak mau cerita tapi sulit bercerita. Bagaimana mungkin aku menceritakan dengan mudah tentang apa yang aku alami selama ini? Sebelum bisa memulai cerita itu, memori-memori menakutkan akan muncul terlebih dahulu sehingga aku sudah dibisukan sebelum mampu membuka mulut.

Melihat aku berdiam lama tanpa bisa mengutarakan apapun, Bian menghela nafas berat.

"Ya sudah aku ngga maksa." Kata Bian akhirnya.

"Maaf kak." Kataku meminta maaf lagi. Aku sebenarnya merasa bersalah. Aku tahu Bian akan menjadi pendengar yang baik tapi aku saja yang tidak mampu memberitahunya.

Bahkan keberanian untuk bercerita saja aku tidak punya. Benar-benar pengecut. Aku makin benci diriku

"Jangan minta maaf. Kamu ngga ada salah apa-apa. Jangan terlalu sering mempermasalahkan dirimu." Ucap Bian sambil menepuk-nepuk kepalaku.

Tapi bagaimana caranya aku tidak mempermasalahkan diriku ketika masalahnya memang aku?

"Sini." Bian menarikku ke pelukannya kemudian menepuk punggungku perlahan.

Ketika masuk ke pelukan Bian, tiba-tiba semua emosi negatif yang sedari tadi menguasaiku langsung lenyap. Dadaku yang terasa berat perlahan terasa lebih ringan. Entah sihir apa yang digunakan tapi bossku ini selalu saja paham apa yang aku butuhkan di saat sulit seperti ini. Kehadirannya saja sudah membuatku nyaman meskipun dia tidak tahu apa yang terjadi.

"Lain kali belajar cerita! Meskipun aku ngga bisa bantu, seenggaknya kamu ngga menyimpan semuanya sendirian. Kamu harus tahu kalau ada orang-orang yang sedih kalau melihatmu sedih. Jangan berjuang seorang diri." Bian mulai dengan ceramahnya setelah aku diam tenang dalam dekapannya.

Tuh kan, dia jadi cerewet.

"Kamu harus ingat, masalah yang disimpan sendiri akan membuat bekas psikologi. ..." Bian melanjutkan ceramah panjang tapi tidak aku dengarkan lagi. Aku malah menutup mata dan mendengarkan detak jantung Bian dan detak jantungku. Suara sederhana dari detak jantung yang teratur itu terdengar merdu. Ditambah dengan halusnya tepukan Bian di punggungku, aku merasa tidak ada kesedihan di luar sana yang akan menyentuhku.

"Kamu dengerin ngga sih?" Tanya Bian setelah mengomel lama.

'Ngga' jawabku dalam hati. Siapa juga yang sanggup mendengarkan ceramah yang segitu panjang. Bian juga mengulangi konten yang sebenarnya sudah sering dia bicarakan sehingga telingaku tidak sudi mendengarnya lagi.

Namun, demi menghargai usaha Bian untuk menghiburku. Aku tidak menjawab dengan cara itu. "Aku paham kak." Kataku berusaha untuk tidak berbohong tapi tidak jujur juga.

"Setiap melihatmu, rasanya seperti melihat angsa kecil yang disusahkan semua orang. Kamu seperti ngga pernah beristirahat."

Tak kusangka Bian bisa menemukan kalimat yang sangat tepat untuk menggambarkan apa yang aku rasakan. Aku memang tidak bisa mengistirahatkan pikiran karena terlalu banyak khawatir. Tapi, aku bisa istirahat kalau ada di dekat bossku ini.

"Kamu bisa datang padaku kalau perlu istirahat." Kata Bian sambil mengeratkan pelukannya. Tanpa sadar, akupun merapat. Terhanyut oleh kenyamanan itu, sebuah kalimat terbersit di kepalaku.

"Kak, aku rasa aku menyukai kakak." Kataku begitu saja. Akupun kaget dengan hal berani yang diucapkan mulutku.

***

RYVAN 1 - Ugly Duckling Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang