Beban pikiranku bertambah usai pertemuan tidak terduga antara aku dan Iona malam itu. Malam itu juga aku pikir semuanya sudah berakhir. Iona memutus pertemanan antara kami. Belati yang menancap di hatiku seolah tertusuk semakin dalam dan aku sekarat dibuatnya.
Pertama, aku menerima kenyataan bahwa Iona menyukai laki-laki lain. Aku merasa sakit, tapi aku mencoba merelakannya. Meyakinkan diriku bahwa menjadi temannya sudah cukup. Lalu, aku menyaksikan sendiri Iona disakiti oleh laki-laki yang ia sukai. Rasa sakitku bertambah nyata. Setiap hari melihat ekspresi terluka Iona membuatku tersiksa. Aku berada di tepi jurang. Belum cukup sampai di situ, hidup menamparku sekali lagi dengan kenyataan. Iona memutus pertemanan denganku. Habis sudah aku terjun dalam jurang kenestapaan.
Hubungan pertemananku dengan Iona yang sudah aku bangun susah payah; dengan segala rasa gugup dan takutku, satu-satunya harapanku untuk agar bisa berada di sisinya, kini pun pupus.
Ini kali pertama aku jatuh cinta, aku tidak tahu kalau rasanya sesakit ini. Kalau tahu rasanya sesakit ini, lebih baik aku tidak pernah mengenalnya.
Aku bingung, aku tidak tahu apa salahku? Apakah Iona sudah tahu aku menyukainya? Apakah ia tahu bila hari itu aku menguping saat ia menyatakan perasaan pada Roos? Atau aku datang ke lapangan itu di saat yang tidak tepat? Bila aku tidak datang ke lapangan malam itu, mungkinkah situasinya akan berbeda?
Iona meninggalkanku dalam kebingungan.
Seperti Roos meninggalkan Iona dalam kebingungan hari itu.
Aku mencoba menghubunginya lewat semua kontak media sosialnya, namun tampaknya ia memblokir semua akses. Setiap malam, sepulang latihan, aku selalu menyempatkan diri ke lapangan itu. Menunggu sekitar satu jam, berharap Iona muncul di sana. Dan aku akan meminta maaf padanya, mencoba memperbaiki semuanya. Meskipun aku belum terbukti bersalah, tapi aku akan melakukan apa pun supaya kami dapat kembali bersama sebagai sepasang ... teman.
Malam ini ia juga tidak ada. Aku beranjak pergi meninggalkan lapangan bersama perasaan sesak yang kian menyeruak di dada.
Aku menatap lelangit kamarku. Lusa sudah masuk sekolah, bila sampai masuk sekolah aku dan Iona tetap tidak bisa kembali berteman, aku akan anggap semuanya benar-benar berakhir. Aku akan memaksa diriku untuk merelakannya. Kembali menjadi Pramudya Carlo yang maniak voli.
Ah ... tapi sungguhan semuanya hanya berakhir begini saja?
Aku memeluk gulingku erat. Mendekap semua rasa sedihku seorang diri.
Ponselku berdenting dua kali. Suara notifikasi pesan masuk.
Aku meraih ponselku di atas sandaran kasur dengan malas. Kalau tidak penting, aku tidak akan membalasnya.
Mataku membelalak membaca nama kontak yang muncul di layar. Aku buru-buru bangun, duduk.
"IONA?"
Iona
Pramudya
Besok ketemu di lapangan itu bisa? Jam 7 malemDengan cepat, aku segera membalasnya.
》《
"Gue duluan," pamitku pada rekan tim voliku.
"EEH?!" Semuanya kompak kaget.
"Lo tumben banget gak lanjut latihan sampe malem?" tanya Bartha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Silver ✔️
Teen Fiction[ semesta pertama ] Hidup telah menakdirkanku berada di posisi kedua sejak aku dilahirkan di dunia ini. Aku berpikir bahwa sekeras apapun aku berjuang, tempatku adalah di posisi kedua. Setinggi apapun langit, masih ada langit di atasnya yang jauh l...