Chapter 2 - Break Up

3.5K 301 0
                                    

Gratia sangat bersyukur karena jaman sudah moderen. Teknologi sekarang sangat mempermudah pekerjaannya sebagai pencuci piring di restoran. Bayangkan jika ia hidup di tahun 80an, harus mencuci piring satu-persatu menggunakan tangan. Betapa tersiksanya.

Restoran Jepang tempatnya bekerja selalu ramai. Bahkan di pagi hari sekalipun saat orang-orang mulai bekerja. Ia selalu berangkat jam tujuh pagi, lalu pulang jam sembilan malam. Sengaja mengambil kerja penuh waktu karena selain tidak memiliki rutinitas yang menyenangkan, juga untuk membiayai kebutuhan sehari-hari.

Maklum saja, di rumah hanya dirinya yang bekerja. Padahal Gratia hidup berdua dengan ayahnya--Jonathan Morin. Tetapi pria separuh abad itu tidak membantunya sama sekali. Pekerjaan ayahnya hanya mabuk, bermain domino dan bermalas-malasan. Pantas saja ibunya memilih berpisah dengannya.

Selain memiliki kelakuan yang buruk, kepribadian ayahnya juga tak kalah buruk. Karena menolak berpisah dengan istrinya, Jonathan menahan semua surat-surat penting yang digunakan sebagai syarat perceraian.

Setelah dua tahun ibunya pergi, Gratia tidak juga menemukan akta pernikahan mereka berdua. Mungkin ia bisa membantu ibunya yang malang itu, meski hubungan mereka juga tidak terlalu baik. Hei, siapa juga yang bahagia ditinggal pergi orangtuanya begitu saja.

Gratia memasukkan satu-satunya piring dan mangkuk kotor ke dalam mesin pencuci piring, memisahkan antara sumpit dan sendok. Dirinya tak menampik bahwa sisa saus yang menempel memiliki bau yang sedap. Restoran tempatnya bekerja sangat terkenal di Vancouver, dengan menu khasnya adalah udon.

“Kau sudah sarapan?” Gerry tiba-tiba mendatanginya. Belum sempat Gratia menjawab, pria berambut pirang itu menyerahkan sebungkus roti margarin padanya. “Makanlah, lumayan untuk mengganjal perut.”

“Terima kasih,” Gratia menerima dengan senyum merekah. Ia tidak terbiasa sarapan. Perutnya akan terasa melilit jika diisi pagi-pagi.

Gerry tersenyum, “Semangat. Aku mau bekerja lagi,” pamitnya meninggalkan Gratia untuk menjadi pelayan di depan.

Sepeninggal Gerry, ponselnya berdering pelan. Nama Belle membuat sudut bibirnya terangkat. “Halo, Sayang, kau merindukanku?” sapa Gratia sumringah setelah mengangkat telepon pacarnya.

“Maaf, harus mengatakan ini padamu. Aku ingin kita putus.”

“Hah?” Tubuh Gratia seketika terasa kaku. Jantungnya mencelos mendengar permintaan gadis yang ia kencani selama dua tahun terakhir. Kenapa tiba-tiba mengajaknya putus? Seingatnya hubungan mereka baik-baik saja.

“Tunggu, Sayang ... apa maksudmu?” Ditengah keterkejutan yang luar biasa, Gratia mencoba mengendalikan suaranya agar tetap tenang. Rasa gelisah mulai menjalar sampai ke perutnya. Membuatnya mual lantaran perutnya belum terisi apapun.

“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita. Maaf ....”

Suara lirih di seberang sana membuat mulut Gratia terbuka tidak percaya. Sudut matanya mulai berair. “Apa yang terjadi? Katakan dengan jujur,” ujarnya parau.

“Orangtuaku tidak tahu kalau aku berpacaran denganmu. Dan kebetulan, aku ... sekarang menyukai seorang pria.”

Hatinya bergemuruh hebat mendengar pengakuan tersebut. “Siapa?” bisiknya hampir tanpa suara.

Teman kuliahku. Robert.”

Hening. Kepala Gratia tertunduk menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia tidak boleh menangis di tempat kerja. Tidak di depan rekan-rekannya.

“Aku tidak ingin mengecewakan orangtuaku, Grat. Mereka bersusah payah menyekolahkanku. Aku ingin jadi anak yang baik untuk mereka.”

She and Her Sexy CEO (KaryaKarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang