O6; teduh nandamai

67 28 2
                                    


𓆩 NEGERI HANTU 𓆪

Saat jalan-jalan di Jakarta terbakar oleh amukan protes anti-pemerintah, Damai berusaha untuk tetap menunduk dan berbaur dengan massa. Dia selalu berhati-hati untuk tidak terlibat dalam politik, tapi sekarang sepertinya tidak ada jalan keluar.

Damai dibesarkan dalam keluarga kelas menengah di pinggiran kota Jakarta, tetapi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997, nasib keluarganya berubah menjadi buruk. Ayahnya kehilangan pekerjaan, sang ibu harus bekerja ekstra di pabrik hanya untuk memenuhi kebutuhan, serta seorang kakak laki-laki yang kini bekerja sebagai tentara-katanya mengabdikan diri kepada negara.

Saat protes berlanjut, Damai mulai merasakan keputusasaan. Apa yang bisa ia lakukan untuk membuat perbedaan? Dia hanya seorang rakyat, dan masalah yang dihadapi Indonesia tampak begitu luas. Saat itulah ia memutuskan untuk ikut serta dalam demo mahasiswa.

//


"LAWAN! LAWAN! LAWAN DENGAN BENAR! HANCURKAN REZIM PENINDAS RAKYAT!"

Dari barisan para demonstran, Damai melihat kakaknya-sedang berjaga di sekitaran gedung DPR. Kala itu manik mereka bersibobrok, Damai mengeratkan genggamannya pada megaphone. Ia berteriak seolah tak ada hari esok, pembuluh darah pada lehernya bisa terlihat dengan jelas.

Terbayang bagaimana sang Kakak tak pernah ada saat mereka butuhkan. Bahkan saat ibunya jatuh sakit, ia masih sibuk dengan urusan negara. Dan sekarang mereka disini, berhadapan, dalam kubu yang berbeda.

Damai turun dari singgasananya, menerobos kerumunan menghampiri sang kakak. Yang lebih tua berusaha memasang wajah datar, menyadari itu Damai tertawa. "Ini dia nih! Jagoan!" Jarinya sibuk menunjuk-nunjuk sang Kakak. "Gak peduli orang tuanya lagi sakit di rumah. Kalau ada panggilan, tinggalin aja!" teriaknya penuh amarah.

Damai tau kakaknya mengeratkan pegangan pada senjata, ia tahu perkataannya berhasil membuat lelaki itu mendidih. "Ga suka? Tembak!" Ia berteriak tepat di wajah. "Tembak! Hajar!" Tangannya dikepal, memukul-mukul dada sendiri. "Yang penting NKRI nomor satu!! Iya 'kan!? Yang penting NKRI NOMOR SATU!"

"KAMU PIKIR ENAK JADI TENTARA!?"

Membisu, tak menduga akan dapat respon seperti itu.

"Kamu pikir aku ga pengen di rumah!?"

Entah kenapa, dadanya sesak. Ia mengulum bibir, mata tak lepas menatap sang Kakak.

"Aku tahu aku salah."

Damai memutuskan bahwa itu adalah kalimat terakhir yang akan ia dengar, ia beranjak, menghilang diantara kerumunan.

//

Damai duduk di pinggir jalan, beristirahat sejenak dari kelelahannya yang teramat sangat. Tampaknya seakan-akan semua beban dunia ini menimpa dirinya, sehingga ia merasa hampir tak mampu lagi untuk melangkah. Dengan tangan kirinya ia pijat kepala, mencoba meredakan sakit yang semakin menjalar. Ia menghela nafas panjang dan menarik lututnya ke dada.

Tak selang berapa lama, ia dihadapkan dengan sebuah nasi bungkus yang diulurkan. Damai mengangkat pandangannya, mendapati seorang lelaki-yang jelas mereka berbeda almamater-menenteng kresek berisi nasi bungkus. "Ini jatah makan siang," katanya.

"Oh, ya. Thanks by the way."

"Mau teh juga?"

Memberi anggukan, Damai tak sabar ingin memuaskan dahaganya setelah dua jam berjalan dan berteriak saat demo.

"Sorry, boleh ... minta satu lagi? Buat temen."

Tanpa berucap sepatah kata apapun, lelaki itu kembali menyodorkan kreseknya, memberi akses pada Damai. Tak sengaja manik Damai melihat coretan pada almamater mahasiswa itu; Rino the Kid. Setelah diucap terima kasih, ia beranjak pergi.

Sebaiknya Damai juga beranjak, ada nasi bungkus dan permintaan maaf yang harus ia berikan kepada sang Kakak. []




p.s, kalau kalian tau, ini terinspirasi dari scene "Di Balik 98" yang iconic itu ;)

ii. negeri hantu, straykids✔Where stories live. Discover now