Halo-halo, apa kabar semuanya! Aku datang kembali, hihi.. Kali ini dengan satu cerpen yang aku tulis untuk tugas workshop kepenulisan yang aku ikuti.
Lalu, kapan akan kulanjutkan cerita tentang Putri? Nanti dulu ya... belum siap haha... doakan segera bisa kuselesaikan. Sekarang, selamat menikmati cerpen yang kusajikan bertahap dulu ya...
Selamat membaca...
Ohya, jangan lupa tolong berikan feedback juga ya.... Makasih :-)
______________________
Beliau adalah Eyang Sri, adik kembar Eyang putri. Eyang Sri tinggal bersama kami, aku dan Eyang putri sejak Eyang kakung wafat, dua tahun setelah aku dilahirkan ke dunia. Aku kecil dulu sudah keburu punya adik ketika usiaku baru satu tahun tujuh bulan. Alhasil, aku diasuh oleh kedua eyangku. Mama sama Papa cukup kerepotan jika harus mengasuh dua anak sekaligus. Kebetulan saat itu Eyang kakung juga sudah pensiun.
Beliau senang sekali ketika aku diantar Papa ke rumah keluarga di Kebumen. "Ndak papa sini. Kemala sama Eyang saja. Di sini luas. Kamu nanti bisa lari-lari dengan bebas, Ndhuk," ujar Eyang kakung sambil berjongkok dengan kedua tangan yang memegang pundakku ketika Papaku berpamitan untuk kembali ke Bekasi, tempat tinggal kami. Tapi sayang, kesempatanku tumbuh dengan pengasuhan Eyang kakung hanya sebentar sekali. Selanjutnya, Eyang Sri datang. Beliau tidak ingin kakaknya tinggal sendiri. Apalagi suami Eyang Sri juga sudah meninggal lebih dulu, dan beliau tidak dikaruniai seorang anak pun. Maka, bersama beliau berdua lah aku tumbuh.
Sebenarnya Eyang Sri tidak hanya mengasuhku. Tapi, beliau juga merawat Eyang putri, kakaknya dan juga nenekku, yang kondisi kesehatannya melemah semenjak Eyang kakung dipanggil lebih dulu.
Yang kuingat di masa kecilku dulu, tiap pagi hari Eyang Sri sungguh sibuk sekali. Selepas subuh beliau bersama Eyang putri menyiapkan sarapan pagi. Lalu, memandikanku setelah aku terbangun, yang kadang sebelum jam 7 kadang bisa lewat dari pukul 8 pagi. Eyang Sri padahal hampir selalu membangunkanku lebih awal, tapi akunya aja yang hobi molor. Yah meskipun pada akhirnya beliau membiarkan, sambil tetap ngomel. "Anak perempuan ini baiknya bangun itu pagi-pagi. Biar latihan rajin." Dan seringkali Eyang putri akan membelaku dengan bilang bahwa anak seusiaku yang belum sekolah memang butuh waktu istirahat 11-13 jam. Jadi ya nggak papa aku bangun siang.
Lalu, aku kecil akan senyum lebar, sambil mengangkat kedua jempolku ke arah Eyang putri. Kemudian mendekati Eyang Sri dan bilang, "Nanti kalau Kemala sudah sekolah, Kemala rajin bangun pagi kok Yang. Janji." Eyang Sri pun tak berkutik. Mengalah, sambil menatapku dan mengelus kepalaku, "Janji yo! Yen enggak nanti Eyang guyur pakai air." Lantas aku cuma nyengir, memamerkan gigi-gigi putihku yang terawat rapi, berkat ketelatenan Eyang Sri mengajariku sikat gigi setiap sebelum tidur dan selepas makan pagi.