HARI-HARI berlalu seperti bisanya—sebenarnya tidak bisa dikatakan biasa saja, mengingat Sheina masih nggak membalas pesan gue. Ini pertengkaran pertama kami setelah sekian lama kami nggak pernah bertengkar. Keadaan seolah berbalik, mungkin inilah yang disebut kaffarah dalam Islam. Sistem tanam-tuai. Dulu dia sering mengirim gue pesan agar gue respon, sekarang gue yang justru banyak mengirim dia pesan, tapi tidak dia merespon.
Tentu gue nggak lepas tanggung jawab begitu saja. Gue tetap membeli kebutuhan sehari-hari dan mengirimkannya ke apartemen. Gue sudah mendapatkan apartemen lain untuk tinggal nggak jauh dari apartemen lama. Sebenarnya gue udah minta Papa untuk tinggal bareng di Jaksel, sehingga nanti bisa tinggal bertiga, tapi Papa menolak karena nggak mau meninggalkan rumah yang ada di Menteng. Papa juga bilang kalau pekerjaannya lebih banyak di Jakpus dibandingkan di Jaksel.
Hingga tibalah waktu kepulangan Ustaz Harits, gue sangat senang karena akan segera belajar. Nggak perlu nunggu lama, gue langsung di kontak Bang Hisyam malamnya untuk datang keesokan harinya. Sebab sepertinya permintaan gue cukup membuat Ustaz Harits kepikiran.
Melihat estimasi jarak tempuh Jaksel-Bogor sekitar satu jam sebelas menit—itu pun kalau nggak macet—gue berencana untuk berangkat lebih awal. Gue perlu berangkat dari apartemen sekitar pukul dua subuh agar tidak terlambat, atau memotong waktu belajar gue nantinya.
Tentu kalau harus berangkat jam dua malam, gue nggak mungkin bangun jam dua tepat juga. Setengah jam sebelumnya gue perlu bangun untuk salat malam, siap-siap, juga memanaskan mobil.
Padahal minggu lalu gue menolak tawaran untuk dibuatkan sarapan setiap pagi oleh Ummu Hanifah, itu jelas sangat-sangat merepotkan, tapi di sisi lain gue sangat berharap nyampe sana ada makanan, karena gue kayaknya akan selalu berangkat dalam keadaan perut kosong belum makan apapun.
Baru banget gue selesai memanaskan mobil dan hendak berangkat, handphone gue berdering. Bukan dering alarm, melainkan dering yang gue kanali sebagai tanda panggilan masuk. Gue kira Sheina yang menelepon. Gue sudah sangat jarang mendapat panggilan masuk di jam-jam malam seperti ini setelah resign dari Nata Adyatama.
Gue agak heran mendapati nama kontaknya Mas Teguh, PA-nya Papa. Gue menggeser panel hijau sebelum mengucapkan salam.
"Assalamualaikum. Halo, Mas. Ada apa nih? Tumben telepon jam segini," gue tidak berharap dia menelepon untuk meminta gue menggantikan pekerjaannya Papa secara mendadak, apalagi pekerjaan keluar negeri.
"Waalaikumussalam... Tha, jangan kaget, jangan panik, usahakan tenang, dan kalau bisa kamu datang ke sini naik taksi aja. Jangan nyetir sendiri..."
Bayangkan, ini masih masuk sepertiga malam dan gue mendapatkan telepon dengan kalimat opening seperti itu, bagaimana gue nggak mendadak panik.
"Ada apa, Mas? Aku harus pergi ke mana?"
"Papa kamu jatuh di toilet, dia sekarang udah ada di rumah sakit Mitra Keluarga, dan lagi mendapat perawatan medis... Kamu sekarang ke sini, tapi usahakan jangan nyetir sendiri!"
Mendengar itu gue udah nggak bisa berpikir jernih. Gue benar-benar panik, namun Mas Teguh berulang kali menegaskan dan meminta gue untuk jangan sampai membawa mobil sendiri.
"Tapi kondisi Papa baik-baik aja, kan, Mas? Kondisinya gimana sekarang? Oke, aku langsung nyari taksi untuk ke sana secepatnya."
Seketika gue melupakan janji temu dengan Ustaz Harits, gue langsung meninggalkan mobil dan terburu-buru ke jalan mencari taxi lewat aplikasi. Jelas gue nggak akan fokus kalau nyetir sendiri, bahkan kemungkinan besar gue akan mengemudi dalam kecepatan tinggi karena ingin cepat sampai.
"Dokter masih mengecek kondisi Papa kamu. Tadi langsung masuk IGD dan sedang ditangani, jadi Mas belum tahu kondisinya gimana. Tadi ditemuin satpam rumah. Papa kamu pesan makanan, tapi nggak ada di kamarnya, karena khawatir akhirnya dicari dan ketemu di kamar mandi dalam kondisi pingsan." Kepala gue makin terasa pening mendengar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...