[11]

462 69 6
                                    

Kesialan menghampiri Ezar berturut-turut. Sudah dibuat terlambat karena ban motornya bocor, lalu sesampainya di sekolah langsung dipanggil menghadap Pak Abbas. Kejadian kemarin rupanya menjadi akar dari mandat untuk menemui beliau. Bisa dipastikan para guru yang kemarin bergunjing, pada akhirnya merealisasikan niat mereka untuk melapor pada Pak Abbas. Seharusnya Ezar tidak terkejut dan tak perlu buang tenaga untuk menaruh kesal pada mereka, tetapi tak bisa dimungkiri Ezar ingin sekali memukul kepala mereka satu-satu.

Yang dipanggil Pak Abbas tidak hanya Ezar seorang, ada juga Miss Anindya di sana. Perempuan yang lebih tua dari Ezar itu hanya memberi senyum ala kadarnya. Terlihat ada raut cemas dan takut dalam wajah Miss Anindya. Tentu saja karena Pak Abbas sekarang terlihat seperti hendak menerkam mereka.

"Saya nggak mau bertele-tele. Saya yakin kalian sudah tahu apa alasan saya meminta kalian untuk menghadap." Pak Abbas duduk bersidekap sambil menatap Ezar dan Miss Anindya secara bergantian. "Ini bukan masalah sepele, ya. Miss Anindya sebagai guru yang sudah bekerja di sini lebih lama dari Pak Ezar seharusnya tidak membiarkan Pak Ezar untuk melakukan kesalahan seperti itu. Apa Miss Anindya justru sengaja ingin menjerumuskan Pak Ezar?"

Miss Anindya buru-buru menggeleng. Sama sekali tidak terpikirkan dalam benak perempuan itu untuk menjerumuskan Ezar. Justru sekarang kehadirannya di sini adalah untuk membebaskan Ezar dari kecaman Pak Abbas. Kemarin seharusnya Miss Anindya tidak tidak perlu meminta tolong pada Ezar. Ia merasa tak enak hati karena sudah membuat Ezar terjebak dalam masalah.

"Nggak, Pak. Saya minta maaf karena masalah ini terjadi atas kelalaian saya. Pak Ezar tidak akan bertemu dengan ibunya Galang kalau bukan karena saya. Sekali lagi, saya minta maaf. Di masa depan nanti saya pastikan tidak akan ada masalah seperti ini lagi."

Ezar segera menyela, "Kesalahannya ada di saya. Bapak tidak perlu repot-repot memanggil Miss Anindya ke sini. Semua yang saya lakukan pada ibunya Galang murni karena keinginan saya sendiri dan saya melakukan semua itu dengan kesadaran penuh. Miss Anindya juga sudah berpesan pada saya untuk diam, apa pun yang terjadi. Sayang sekali saya tidak bisa melakukan apa yang Miss Anindya bilang pada saya."

"Pak Ezar ...." Miss Anindya menatap Ezar dengan tatapan tidak percaya. Tindakan Ezar barusan terlalu berani dan terkesan sembrono. Bagi guru baru sepertinya pasti Pak Abbas tak akan lunak. Oleh karena itu, Miss Anindya saat ini dilanda cemas.

Pak Abbas manggut-manggut. Ada senyum licik yang terukir di wajah pria tua itu. "Ya sudah. Miss Anindya boleh keluar dari sini."

"Maaf, tapi saya nggak bisa meninggalkan Pak Ezar sendirian. Saya juga berhak menerima konsekuensi atas kesalahan saya," kata Miss Anindya tanpa mengurangi sopan santunnya sedikit pun.

"Pak Ezar bilang saya tidak perlu repot-repot memanggil Miss. Jadi, saya rasa saya memang tidak perlu repot. Saya hanya perlu memgurus titik pusat masalahnya saja."

"Pak-"

"Silakan keluar. Selagi saya masih bicara baik-baik." Pak Abbas memberikan gestur mengusir dengan mengulurkan tangan kanannya ke arah pintu. Ditambah tatapan setajam elang yang sukses membuat Miss Anindya menciut dalam sekejap.

Sepeninggalan Miss Anindya, Pak Abbas membiarkan hening merebak selama beberapa saat. Ia sibuk mengamati Ezar yang tampak terlalu santai. Sama sekali tak ada raut segan atau takut. Ezar malah sempat tersenyum saat Pak Abbas kedapatan memperhartikannya. Sontak membuat pria yang jauh lebih tua sedikit terbakar emosi. Merasa kalau ia dianggap sepele oleh yang lebih muda.

"Bisa kamu jelaskan bagaimana sikapmu untuk mengatasi masalah yang sekarang sudah terjadi?" ujar Pak Abbas memecah hening. "Di sini saya dipercaya sebagai tangan kanan Bu Kepsek. Kamu seharusnya bersyukur karena baru saya yang turun tangan. Kalau sampai Bu Kepsek sendiri yang turun tangan bisa habis karirmu di sini."

The Melody of My Heartbeat ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang