1.0

100 15 1
                                    

Fred terburu-buru membawa kopernya. Ia sudah terlambat dua menit karena dicegat Herder tadi. Untung dia sempat menyelinap pergi saat Herder tidak sadar.

Sejak tiga hari lalu ia tidak mendapati Moran di Wisma Moriarty. Dan imbasnya ia yang akan kena suruh oleh Louise, putra ketiga Moriarty itu. Saat ini ia sedang berlari mengejar kereta. Syal birunya berkibar terkena angin. Lalu lalang orang tidak menyulitkannya, sebab badannya yang mungil mudah menyelinap di antara mereka.

“Haah...”

Hela nafas lega saat Fred berhasil mencapai pintu kereta sebelum tertutup. Ia menaikkan syalnya, menutupi wajah, lantas berjalan di lorong kereta, mencari bangku.

Perjalanan satu jam, singkat, namun cukup untuk istirahat bagi Fred. Laki-laki mungil itu turun di peron kota sebelah sambil terus menenteng kopernya. Berjalan lurus menuju salah satu bangunan tua terbengkalai di pinggir jalan. Ia menyelinap, masuk ke dalam, mencari ruangan untuk berganti diri—penyamaran.

Setelah menemukan ruangan yang dicari, ia masuk, menutup pintunya meski engsel berkarat membuat suara berderit yang memekakkan telinga, bergema memenuhi bangunan tua itu.

Fred bersandar pada dinding dekat jendela. Menghela nafas. Sebenarnya ia merasa kurang sehat, namun perintah Louise tidak bisa ia tolak. Sebab misi itu harus selesai hari ini. Ia memijat kening agar pusingnya sedikit berkurang.

Ah, bukankah ia membawa obat?
Koper kecilnya ia letakkan di atas meja sampingnya, lalu ia buka.

Tapi yang ia dapati bukan obat. Keningnya berkerut. Ini... koper siapa?

Netranya menangkap sesuatu yang tidak asing. Saputangan putih dengan bordir cokelat. Senapan laras panjang rancangan Herder dan dua buah pistol di sisi atas koper. Lalu, dimana alat penyamarannya?

Hei. Bukankah ini koper Moran?

Saputangan putih itu diambilnya. Bordiran Moran Sebastian tampak di sana. Tapi ada yang aneh. Kenapa ada bordir nama F.Porlock di salah satu ujungnya? Itukan namanya.

Fred menggeram. Masa ia harus kembali lagi untuk mengambil kopernya, sedangkan rombongan bangsawan Luxivero sebentar lagi akan melewati tempat ini.

Akhirnya ia memilih untuk keluar sebentar membeli lilin rambut. Setidaknya ia bisa merubah tampilan rambutnya dan membeli pisau. Dengan begini ia tidak bisa menyelinap di barisan pengawal rombongan Luxivero.

Haish. Salah siapa ini.

Namun saat ia hendak membuka pintu, benda itu lebih dulu terbuka. Menampakkan sesosok tinggi besar dengan setelan jas kulit. Fred buru-buru menunduk.

“Nah, kebetulan macam apa lagi ini, tapi tak apa. Kemarikan koperku. Sebentar lagi tugasku harus sudah selesai.”

Fred tersentak kaget. Suara ini. Ia mendongak, hanya untuk mendapati seorang lelaki tua—menurutnya—dengan seringai menyebalkan.

“Hei, kenapa diam?”

“Kupikir kau tidak serabun itu sampai-sampai salah mengambil koper milikku,” ucap Fred sambil melirik kopernya di tangan Moran.

“Bukankah kau yang asal menyambar koper di atas meja Herder?” Moran tertawa. “Lagipula kopermu ada di samping kursi.”

Yah sial. Fred membuang muka malu. Sialan. Sialan. Ia ingin menghilang saja.

“Oh iya, omong-omong kenapa kau ada di sini?” tanya Moran mengalihkan topik. Ia masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu, lalu menghampiri kopernya. Ia tersenyum.

Fred menoleh. “Perintah Louise,” jawabnya singkat.

“Oh ya? Tumben sekali Louise memberi perintah langsung. Memangnya kau diminta melakukan apa? Mungkin aku bisa membantu.” Moran menukar koper mereka.

“Bukan urusanmu, kurasa,” gumam Fred pelan. “Kau sendiri ada urusan apa?” tanyanya balik.

Moran tampak berpikir sejenak.

“William memintaku membunuh seseorang dari atas gedung ini. Sebentar lagi mereka tiba. Aku duluan, little boy,” ucap Moran sebelum raganya menghilang di balik pintu.

Fred tertegun. Apa tadi?

“Hei!” seru Fred sia-sia. Ah, terserahlah. Ia bergegas mengambil alat penyamarannya, mengenakan pada tubuhnya lantas mengambil sebilah pisau dari kopernya.

Lelaki mungil itu kini berjaga di sela-sela bangunan, menunggu rombongan bangsawan Luxivero lewat.

Di atas  gedung tua, Moran sedang memposisikan senapannya, melirik arloji. Menunggu detik saat orang yang ditunggunya muncul.

Tak lama, arak-arakan pengawal mulai melewati jalanan. Sudah banyak penduduk yang menyesaki sisi jalan, ingin menonton dari dekat bangsawan baru itu.

Sekitar dua menit setelah pengawal, muncul satu kereta kuda berwarna perak dengan kayu hitam. Lambang dua serigala terukir elok di pintunya. Empat kuda bersurai hitam gagah menapak di jalan, meringkik pelan.

Ini acara kunjungan bangsawan baru di Inggris ke masyarakat. Katanya hendak membagikan bahan pangan. Tampak bergerobak-gerobak di belakang kereta kuda bangsawan yang mengangkut berbagai bahan pangan.

Kabarnya ia masih muda. Ia diangkat menjadi keluarga bangsawan oleh Ratu setelah ia berhasil meringkus orang yang hendak mencelakai Ratu—beberapa pekan lalu. Mereka sama sekali tidak tahu siapa orang ini. Scotland Yard dan Surat Kabar tidak memuat profil atau sekedar nama orang ini. Seolah mereka disumpal agar tidak membeberkan tentang pahlawan ini.

Akhirnya barisan pengawal sampai di dekat tempat Fred bersembunyi. Ia menyelinap cepat, bergabung dengan para pengawal di depan kereta kuda. Tangannya lihai menjatuhkan semacam bom kecil tepat di jalur
yang akan dilewati roda kereta.

Klik.

Fred melirik. Bom itu sudah tersangkut di rodanya, berputar perlahan menuju atas. Fred menekan tombol kecil di sakunya. Lalu,

BOOM!

Kerumunan ramai. Pengawal meski panik sigap melindungi kereta kuda. Rombongan berhenti, tersendat. Kuda-kuda meringkik panik. Kusir segera menenangkannya. Penduduk berseru-seru. Belasan wartawan merangsek maju demi mendapat bahan tulisan untuk koran masing-masing. Kamera berisik membidik gambar.

Di atas gedung, Moran mengernyit. Apakah ada orang lain yang beragenda untuk mencelakai Bangsawan muda itu juga?

“Sepertinya William sedikit keliru. Tapi, ah, tidak mungkin. Atau...”

Ia memutus pemikirannya. Moncong senapan ia arahkan ke jendela kereta kuda. Matanya luput menangkap gerakan sosok pengawal berbadan mungil yang menyelinap cepat masuk ke dalam kereta kuda dari sisi sebaliknya.

Moran menarik pelatuk, menyeringai.

“Titip salam untuk penjaga neraka, Nak.”

Satu timah panas melesat cepat membelah udara, ditengah kepanikan orang-orang, ditengah kewaspadaan para pengawal. Peluru itu menembus kaca, menghamburkan isi kepala seseorang di dalamnya. Membuat kerumunan manusia semakin ramai. Seruan ngeri tercampur dengan seruan panik.

“M-Moran...?”

an Asian Woman [Moriarty the Patriot]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang