Bab 3

535 55 0
                                    

"Di, lo temenan sama Alara dari SMA, 'kan?"

Sebenarnya Bara sudah ingin beranjak dari halaman belakang. Kesepakatan sudah didapat sejak tadi. Mereka akan menambah satu hari dari sebelumnya hanya tiga hari di penginapan ini.

Bara setuju dan menambah bulat suara,  karena Alara juga setuju. Sudah ingin pergi tidur, tetapi pertanyaan barusan membuatnya pura-pura mengeluarkan ponsel dan mengutak-atiknya.

"Iya. Sekelas dari kelas satu sampai tamat," jelas Adi sambil menghisap sigaretnya.

"Dia itu orangnya gimana, sih?" Andre, teman satu kantor Adi mulai tak sungkan menunjukkan rasa penasaran.

Di seberang meja, berhadapan tepat dengan Adi, Stefan yang merupakan temannya Bianca juga ikut bersuara.

"Memang diem kek gitu atau gimana?"

Adi mengulas senyum dengan rokok terselip di gigi. "Orangnya memang pendiam. Kalau gak perlu-perlu banget, gak akan kedengaran suaranya."

Andre mengangguk, mengamini itu. Ia menceritakan apa yang dlihat kemarin malam. "Bianca, Fia sama Hani udah heboh karena ngomongin film, dia cuma nontoni, sambil senyum. Gue kira, dia gak ngerti topik yang diobrolin apa gimana. Eh, pas ditanya Fia, dia malah udah nonton sekuelnya film itu. Malah nyeritainnya detail dan seru banget didengar. Gue ngerasa udah gak mau nonton, tapi mau nonton juga."

Adi tersenyum saja. Sejak dulu Alara memang begitu. Gadis itu tampak sedikit ketus dan sangat pendiam. Namun, jika sudah diajak bicara tentang sesuatu yang dipahami dan disukai, Alara bisa menjadi pencerita yang baik.

"Dia serius belum punya cowok?" Kali ini Stefan yang bertanya.

"Setahu gue, belum. Kenapa? Lo berdua mau?"

Andre mengangguk. Stefan menggeleng.

"Kenapa nanya-nanya kalau gitu?" Adi melempar kacang pada Stefan.

"Yang kayak Alara itu cocoknya diajak serius. Bukan main-main kayak yang gue masih pengin lakuin."

Perkataan Stefan itu membuat Bara mengetuk layar ponselnya teramat kuat. Sampai-sampai Adi yang duduk di sebelah menoleh dan memberi senyum simpul.

Tak lama, Fia datang dari dalam rumah.

"Pada lihat Alara, gak?"

Keempat lelaki di halaman serempak menengok.

"Tadi kan masuk duluan?" Adi mematikan rokoknya.

"Berarti dia belum pulang. Susul deh, Di," suruh Fia.

"Susul ke mana?"

"Ke hutan. Dia pamit tadi, katanya mau lihat-lihat hutan."

"Anjing!" Adi mengumpat, tak sengaja tangannya menyenggol asbak di tepian meja.

"Pergi dari kapan dia?"

"Satu jam lalu keknya."

Adi langsung  mengeluarkan ponsel. Ia berusaha menghubungi Alara. Sebagai orang yang mengajak gadis itu ke sini, ia merasa bertanggungjawab. Belum lagi, Alara perginya ke hutan.

Memang, letak hutan itu tidak jauh. Hanya butuh lima belas menit dari penginapan dengan jalan kaki. Namun, tetap saja ini mengkhawatirkan.

"Alara itu berani apa nekat, sih? Ke hutan malam-malam, kok sendiri?"

Celetukan Andre membuat Adi makin gusar. Dering tunggu di sambungan telepon yang tak kunjung berakhir makin membuatnya gelisah.

"Gue susul aja, deh." Adi mematikan panggilan, kemudian mengulanginya. "Tolong bilangin ke Bianca, ya," pintanya pada Fia.

Alara Doesn't Need Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang