Kayaknya aku salah perkiraan, Shafira akan muncul di bab 107/108. 😭
Selamat membaca, sekian. Terima komen dan vote.
___________
SELAMA Papa sakit, gue sama sekali tidak pernah meninggalkan ruang rawat inapnya kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban salat lima waktu. Gue perlu membantu Papa untuk salat lima waktu juga, mengambilkan air atau sesekali menggunakan kursi roda untuk membantunya wudhu di kamar mandi. Papa hanya perlu dirawat hingga kadar gula darahnya kembali stabil, setelah itu dia diperbolehkan rawat jalan dan sesekali ke rumah sakit untuk menjalani fisioterapi nantinya.
Siklusnya selalu sama. Biasanya sekitar sepuluh atau lima menit sebelum menjelang azan berkumandang, gue sudah membantu Papa berwudhu dan kembali ke tempat tidurnya. Setelah itu gue pergi berjamaah ke masjid, sementara Papa salat di ruang rawat inapnya dengan kondisi berbaring atau kadang juga duduk kalau sanggup.
Gue baru tahu kalau Papa tipe orang yang risih kalau harus dirawat orang lain. Hanya gue yang diperbolehkan membantunya mandi, mengganti pakaiannya, atau mengganti popoknya, karena Papa tidak bisa sering bolak-balik ke kamar mandi. Namun gue sangat bersyukur karena Papa masih makan sendiri, bahkan lebih lahap dari orang yang tidak sakit. Tentu saja dengan makanan catering khusus untuk penderita diabet, dengan segala kandungannya yang sudah ditakar.
"Kamu nggak capek memindahkan Papa dari tempat tidur ke kursi roda tiap hari? Berat loh."
"Papa perlu bersyukur, karena anakmu ini sering olahraga. Jadi nggak terasa berat sama sekali."
"Tentu, Papa sangat-sangat bersyukur atas segala hal yang terjadi dalam hidup. Papa bersyukur ada kamu. Papa bersyukur kena diabet, sebab Papa jadi bisa lebih dekat dan tahu banyak hal tentang kamu. Papa bersyukur kamu punya niat serius buat belajar agama. Papa bersyukur kamu rajin berjamaah di masjid." Gue tersenyum simpul saat Papa mengabsen satu persatu setiap hal yang baginya sebuah nikmat.
"Ya udah, aku salat isya dulu, ya. Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku. Handphone Papa ada di atas nakas. Udah aku charger tadi."
Baru gue hendak melangkahkan kaki ke luar ruangan, seseorang lebih dulu masuk dengan kondisi berlinang air mata dia berlari menghampiri Papa dan langsung memeluknya erat hingga lupa mengucapkan salam. Sheina menangis hebat, tanpa bisa mengucapkan apa-apa.
"Ya Allah, Na. Kamu udah gede juga, masih aja nangis kayak gini. Udah duduk di bangku kuliah loh sekarang..." komentar Papa.
"Gimana... aku... aku nggak nangis. Papa masuk rumah sakit berhari-hari, tapi aku baru tahu sekarang," katanya sambil masih terisak, karena gue harus mengejar berjamaah magrib. Akhirnya gue memberi ruang untuk mereka berdua. Selebihnya, gue sengaja pergi dari ruangan itu karena gue nggak mau ikut menangis melihat momen haru Sheina dengan Papa.
Usai berjamaah isya, gue nggak langsung kembali ke ruangan Papa. Gue keluar rumah sakit sebentar, mencari beberapa makanan berat dan cemilan. Entah dari mana dia tahu kalau Papa di rawat, tapi yang pasti gue tahu Sheina baru pulang kuliah. Dia pasti belum sempat makan apapun tatkala tahu Papa masuk rumah sakit.
Ketika gue masuk kembali ke ruangan rawat inapnya Papa, Sheina terlihat duduk di sampingnya sementara Papa berbaring istirahat. Sepertinya dia enggan beranjak meninggalkan Papa barang sedetik setelah tangisnya reda.
"Papa udah tidur? Tadi ada dokter ke sini nggak?" tanya gue pertama. Biasanya dokter melakukan visit berkali-kali, dan salah satunya setelah Isya.
"Belum. Meski aku belum siap untuk bicara, sepertinya kita perlu bicara sekarang." Betapa terasa dinginnya suara itu. Kalau gue mengiyakan, Sheina akan berbicara dengan emosi yang entah sudah mereda atau belum. Kalau gue menolak, kapan lagi gue punya kesempatan menjelaskan segalanya pada anak ini.
"Ayo kita bicara di ruang sebelah, biar Papa nggak terganggu," ajak gue, dia bangkit dan mengikuti kemana gue berjalan.
Kami duduk bersebrangan, gue menunggu Sheina untuk berbicara lebih dulu. Kelopak matanya sembab sekali, dia sudah menangis sepanjang perjalanan menuju tempat ini.
"Kenapa Kak Atha nggak ngasih tahu aku dari awal kalau Papa masuk rumah sakit?"
"Papa yang minta, dia bilang kamu lagi ada ujian seminggu ini. Papa nggak mau ganggu belajar kamu dan bikin kamu khawatir."
"Bukan karena Kak Athaya menghindar dari aku, kan?"
"Enggak, Na. Buat apa Kakak lakukan itu, kalau Papa nggak minta Kakak untuk nggak menghubungi kamu dulu, mungkin udah dari hari Papa masuk rumah sakit, Kakak kabarin kamu juga."
"Terus kenapa Kak Atha menghindar dari aku?"
"Karena..." Gue mengambil nafas dalam sebelum mengatakannya.
"Karena kita bukan mahram, Na." Ada rasa sesak yang mengisi seluruh penjuru dada saat gue mengatakan itu, tapi Sheina belum memahami maksudnya.
"Kita kan adik kakak, Kak. Bukan mahram gimana?"
"Kita memang adik kakak, kita mungkin memang memiliki hubungan darah. Kamu tahu sendiri, kan, soal ibu? Kamu punya Mama, dan Kakak punya Ibu, dan Papa tidak pernah menikah dengan Ibu."
"Na... Kakak yakin kamu pasti udah tahu kalau anak yang lahir di luar pernikahan itu, nggak dinasabkan kepada ayahnya, nggak memiliki hak waris, dan nggak berlaku hukum mahram. Karena nggak hubungan pernikahan antara Papa dan Ibunya Kakak, maka tidak ada ikatan yang membuat kita menjadi saudara. Kakak nggak bisa menjadi mahram kamu, atau suatu saat menjadi wali nikah kamu."
"Kakak sama sekali nggak mau menghindari kamu. Kemarin Kakak minta maaf karena mungkin penolakan kakak terlalu kasar saat menepis tangan kamu. Kita nggak bisa tinggal di apartemen hanya berdua. Kakak cuma mau kita sama-sama saling menjaga, saat tahu keadaan kita kayak gimana sekarang." Air matanya memberontak lagi dia menangis saat sisa air matanya bahkan belum kering. Namun gue nggak bisa melakukan apapun, bahkan sekedar untuk mengelap air matanya.
"Harusnya Kak Athaya bilang dari awal... Kan aku nggak harus berburuk sangka dulu..." katanya terisak.
"Itu juga keputusan salah yang kakak ambil, maaf ya." Dia berusaha untuk membuat tangisnya nggak berkepanjangan.
"Ngomong-ngomong, kamu ada ujian apa? Kayaknya ini bukan bulan-bulannya UAS atau UTS?" Dia bangkit mengambil ransel kuliahnya lebih dulu, mengeluarkan selembar kertas dari sana.
"Aku apply pertukaran pelajar ke Princess Nourah University, dan aku diterima."
_____________
To be continued.
Make the Qur'an as the main reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
EspiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...