25 12 2020

1 0 0
                                    


     Aku tidak tahu darimana cerita ini berawal karena tiba-tiba saja aku berada di suatu ruangan yang sangat gelap dengan bilik-bilik tirai dengan warna yang sangat mencolok.

     Aneh sekali. Aku memakai seragam sekolah begitupun beberapa orang yang sepertinya seumuran denganku. Masing-masing mereka membawa senjata di tangan. Aku tidak bisa mendeksripsikan senjata apa itu. Yang aku lihat hanya sterofoam berbentuk persegi panjang yang tipis.

     Salah satu dari mereka, laki-laki berambut gelap sebahu, berdiri dalam posisi siaga dan melihatku sembari mengangguk siap. Semua orang yang berada di ruangan itu bersiap di depan salah satu tirai yang menghadap selatan. Bersiap dengan kuda-kuda menyerang. Ketika aku mengangguk, semua orang berlarian dan melompat melewati tirai.

     Aku tidak ingat ada berapa orang yang terlibat. Hanya hitungan jari dan kurang dari sepuluh orang. Setelah melewati tirai, yang kami temui adalah tempat seperti labirin yang disusun dari bebatuan yang biasa digunakan untuk mendirikan kastil. Namun, masih dengan hal yang sama, dinding labirin itu ditutupi tirai dengan warna yang menonjol.

     Kami berjalan perlahan menelusuri tempat itu masih dengan senjata di tangan. Hanya aku sendiri yang tidak memegang apapun. Yang jelas, sepertinya strategi yang kami rencanakan sudah tersusun dengan baik.

     Sampai tiba-tiba tirai yang mengelilingi kami berayun-ayun dengan kasar. Di antara celah-celah tirai yang dihembus angin itu terlihat kegelapan yang pekat dan tidak ada batasannya. Aku dan orang-orang tadi ikut berkumpul di tengah-tengah dan memperhatkan sekeliling.

     Ada bayangan hitam yang mucul dan hilang dari balik tirai. Muncul dan hilang di tempat yang acak di sekeliling kami. Bayangan itu mengangkatku dan memisahkan masing-masing dari kami. Aku melompat menjauhi bayangan itu namun ia mengikuti kemanapun aku berdiri.

     Ini percuma. Kemanapun kami berdiri, bayangan itu bisa mengangkat kami kembali. Karena tidak ada cara lain, semua orang mempersiapkan senjata dan mulai menyerang bayangan itu.

     Senjata sterofoam tersebut ternyata adalah peledak. Sesaat setelah senjata itu mengeluarkan bunyi yang kuat, asap mengepul menutupi keadaan di sekitar kami. Hilang. Bayangan itu tidak lagi ada dan mengganggu. Sepertinya serangan dari bayangan hitam itu tidak terlalu penting.

     Seiring kami melegakan otot, tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda yang entah darimana menggema dari balik seluruh tirai. Semua orang mulai was-was bersiap melancarkan serangan kedua.

     Yang terjadi selanjutnya adalah aku diangkat oleh bayangan hitam yang lebih besar. Berputar-putar mengelilingi semua orang. Bayangan hitam besar yang muncul dari lantai itu menabrakkanku ke tirai yang tiba-tiba mengeras. Sekali... Dua kali... Aku masih bisa menahan sakit akibat terbentur tirai sekeras dinding itu. Selanjutnya aku menyerah dan bayangan hitam menghilang.

     Aku yang sudah dibuat pusing oleh rasa sakit dibantu mereka yang lain untuk  kembali berdiri. Disaat yang sama, disaat pengawasan kami melemah, satu di antara orang-orang yang ikut itu ditarik oleh bayangan hitam di balik tirai. Terlalu cepat sampai kami tidak bisa menghentikan apa yang baru saja kami lihat.

     Semua orang lengah dan yang terjadi berikutnya adalah darah yang muncrat di mana-mana diikuti suara teriakan dan ringkikan kuda. Aku yang melihat kejadian itu memutuskan kepada kelompok untuk kembali ke ruangan awal tempat kami berkumpul. Ini diluar kendali dan mundur adalah pilihan yang tepat.

     Sebelum berhasil memikirkan cara untuk keluar, aku tiba-tiba berada di ruangan sekolah menggunakan seragam yang bersih dan bersiap untuk belajar.

                                                     ===

     Aku duduk di kursi paling depan sebelah kanan. Aku tidak ingat ada berapa orang yang ikut belajar di dalam kelas hari itu hanya saja aku mengenali satu orang yang duduk di kursi paling belakang. Tapi aku tidak tahu namanya.

    Pembelajaran yang berlangsung sangat menyenangkan sehingga hari itu terasa sangat singkat. Ada satu hal yang tidak aku mengerti. Semua guru yang mengajar hari itu, sambil tertawa tersirat menyalahkanku atas hal yang aku tidak ketahui.

    Ada satu guru yang memberikan perhatian kepadaku dengan baik. Perempuan, bertubuh kecil, bersuara lembut tapi tegas dan wawasannya tentang ilmu pengetahuan yang cukup bagus. Pada saat pembelajaran berakhir dan kelas sudah bubar, beliau memberikan secarik kertas.

     "Apa ini?", tanyaku. "Ini bayaran sebagai rasa terima kasih." jawab beliau. Aku bingung dan tidak mengerti atas hal apa yang patut membuatku menerimanya.

     Belum selesai aku merapikan buku dan memasukkan kertas itu ke dalam tas, ibu guru itu menarik tanganku sambil berkata, "Ayo ikut aku!".

     Menuruti kehendak beliau, aku mengikuti dari belakang. Kami berjalan menuju suatu bangunan yang terlihat seperti rumah tua. Ketika pintu dibuka dan aku masuk ke rumah itu, kami telah berada di dunia yang berbeda.

     Lebih tepatnya itu adalah ruangan yang pernah aku masuki. Ruangan dengan tirai-tirai yang berwarna mencolok. Di balik tirai itu masih sama. Kegelapan yang pekat.

     Ada banyak orang di ruangan itu. Orang tua yang berjenggot dan rambutnya sudah memutih. Aku dipersilakan duduk. Di sebelahku ada seseorang. Ia adalah anak laki-laki yang berambut gelap sebahu sebelumnya. Dia berbisik padaku, "Apa yang akan kita lakukan dengan senjata itu?" sambil menunjuk sterofoam di ujung ruangan. "Biarkan saja. Aku yang akan membawanya." jawabku.

     Para orang tua itu berdiskusi dengan guru yang menarikku ke sini. Aku diam dan memperhatikan. "Kamu yakin dia orangnya?" Salah satu orang tua itu bertanya. "Iya. Kalian bisa memeriksanya sendiri." jawab ibu guru.

     Orang tua yang bertanya itu mendekatiku sambil membawa sebuah alat berbentuk seperti handphone. "Dekatkan benda ini ke wajahmu." Kemudian aku melakukan apa yang diperintahkan. Ini adalah pemindai. Alat itu memindai wajahku. Menampilkan seluruh ingatan yang aku punya dan berakhir dengan sebuah kejadian dimana aku berubah menjadi suatu makhluk yang tidak bisa dideskripsikan. "Apa maksudnya ini?" Aku tidak mengerti apa yang aku lihat.

     "Sudah waktunya." Ucap orang tua yang lain. Tirai-tirai berayun kasar. Terdengar suara angin yang sangat ribut. Ruangan gelap itu menjadi semakin gelap. "Apa kau siap?" tanya orang tua yang lain kepadaku. Aku diam.

     Hal yang sama terjadi seperti waktu itu. Bayangan hitam muncul dari bawah diikuti suara ringkikan kuda. Bayangan itu kembali mengangkatku tinggi, membawaku dan menabrakkanku ke tirai sekeras dinding berkali-kali. Satu-satunya orang yang berusaha menyelamatkanku adalah ibu guru itu. Beliau mengangkatku dan melemparkanku jauh. Saat aku mulai mecoba untuk kembali berdiri, semua sudah terlambat. Bayangan hitam besar itu telah memangsa lengan kanan ibu guru. Darah berserakan dimana-mana. Dan ketika aku mencoba untuk menyelamatkan beliau, tubuhnya menghilang diseret kegelapan yang pekat. Ringkikan kuda kembali terdengar.

     "Kertas yang dia berikan padamu adalah wasiat." Ucap salah satu orang tua.

     Aku menangis dan terhempas ke dunia yang berbeda.   

END.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dreams That I RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang