Part 22

10K 778 21
                                    

Kelas Adam sedang diramaikan oleh pembicaraan tentang artis online yang sedang viral. Banyak yang membicarakan The Firdaus dan ingin mengunjungi restoran itu. Melihat antusiasme teman-temannya, Adam hanya tersenyum sambil menyahuti beberapa obrolan sesekali.

"Duh, kalau mau waiternya Allan, harus booking room khusus." Protes salah satu siswa wanita.

"Booking aja kalau gitu. Ini gue udah booking." Sahut Adam santai. Dia sudah melihat post dari The Firdaus kemarin malam. Begitu melihat Fadlan, dia langsung mengubah strategi pengejarannya. Dia tidak akan datang ke kelas Fadlan lagi melainkan ke tempat kerjanya saja. Syukurnya jam 10 pagi tadi muncul pengumuman baru tentang layanan eksklusif. Adam membookingnya tanpa berpikir.

"Duh, kalau semua cowok gay kayak elo, bisa-bisa gue ngga dapet jodoh." Keluh Lusi. Cewek yang duduk di depan Adam.

"Gue kenapa emangnya? Ganteng?" Sahut Adam dengan percaya diri.

"Agresif! Ganteng dikit lo embat. Lo udah punya cowok kan? Ngapain ngejar cowok baru lagi?"

"Bukan urusan lo. Suka-suka gue dong mau ngejar siapa."

"Duh, mudah-mudahan Allan ngga segoblok itu mau sama elo."

***

Hariku tanpa sekolah sebenarnya sepi. Aku mengerjakan latihan soal di dalam buku ajar serta menonton beberapa pengajaran dari Utube. Perasaan sunyi yang mengganggu itu akhirnya menyadarkanku kalau ternyata aku menikmati pelajaran di sekolah lebih daripada yang aku bayangkan. Mungkin ini satu-satunya motivasi yang membuatku tetap datang ke sekolah meskipun mengalami banyak kesulitan.

Ketika membolos seperti ini dan tidak hadir, ada sedikit kesedihan yang muncul di hatiku.

Namun apa boleh buat. Aku perlu mengasihani diriku sedikit. Sejauh Ryan masih marah karena kehadiran Adam, dia bisa menyiksaku seperti kemarin kapan saja. Dia juga bisa mempermalukanku seperti apa yang sudah dilakukannya sebelumnya. Aku tidak sanggup merasakan rasa sakit itu maupun menerima hujatan online lagi. Sekarang saja aku belum berani membuka akun sosial media manapun karenanya. Meskipun Bian mengatakan aku mendapat banyak komentar positif, tanganku akan gemetar ketika berusaha membuka aplikasi sosial media.

Hari berubah dari pagi menjadi siang dengan cepat. Sesekali aku akan menerima pesan elektronik dari Bian yang sibuk bersikap manis. Dia mengirimkan meme, emoticon, dan lagu. Orang ini membuatku merasa malu sekaligus senang. Tiap mendengar potongan lagu romantis yang dikirimkan, aku merasa punya seseorang yang menemani. Sayangnya aku tidak punya kata-kata untuk membalas. Aku hanya bisa mengirim like atau heart. Setelah itu Bian juga membalas dengan emoji.

"Satu jam lagi aku jemput ke rumah. Kamu udah pulang sekolah kan?" Tanya Bian. Duh, aku malu mengakui padanya kalau aku tidak ke sekolah hari ini.

"Oke." Balasku setelah berpikir panjang namun tidak bisa memunculkan kalimat yang lebih manis daripada itu. Aku juga tidak menjawab pertanyaannya.

"I miss u already." Bian membalas dengan cepat.

Kalimat terakhir ini mengaduk-aduk hatiku yang tidak pernah membayangkan kalau aku bisa punya pacar. Pada akhirnya aku tidak sanggup membalas itu dan meletakkan ponsel ke dalam tas. Sebagai gantinya, aku pergi ke kamar untuk memilih pakaian apa yang akan aku pakai hari ini. Aku ingin terlihat rapi dan stylish seperti yang sering diajarkan Bian. Karena suatu hal, aku mau dia tersenyum begitu melihatku.

Setengah jam berlalu namun aku berakhir mengenakan jeans dan kaus putih polos. Aku ternyata tidak punya banyak pakaian yang layak dibawa berkencan. Mungkin ini alasannya kenapa aku selalu terlihat lusuh. Sayangnya aku tidak berani banyak berbelanja. Nanti saja kalau masalah ekonomi keluargaku sudah beres.

Ketika aku masih berpikir apakah penampilanku sudah cukup rapi, suara ketukan pintu terdengar nyaring. Bian ternyata tidak sabaran seperti biasa dan datang lebih awal. Untung saja aku sudah bersiap lebih awal juga.

Dengan langkah santai, aku berjalan ke arah pintu utama dan membuka pintu dengan senyuman. Sayangnya perkiraanku salah. Yang muncul dari balik pintu bukan Bian. Yang ada di hadapanku adalah Ryan, Ergi, dan Dimas. Karena syok, aku langsung membanting pintu dan menguncinya.

"Woy! Lo ngga punya sopan santun ya?" Bentak Ergi. Itu jelas suara Ergi. Mataku tidak salah sama sekali. Yang datang adalah Ryan. Mau apa lagi orang itu? Apa tidak cukup menerorku di sekolah saja? Apa sekarang aku harus merasa tidak aman di rumahku sendiri?

"Itu siapa sih? Adiknya Si Cupu ya?" Tanya Dimas. Dia dan Ergi sepertinya belum mengenaliku. Namun, Ryan tidak mungkin tidak tahu.

"Itu Fadlan." Jawab Ryan.

"Jangan becanda deh!" Kata Dimas tidak percaya. Dia tertawa kecil.

"Gue ngga becanda!" Bentak Ryan. Setelah itu dia mengetuk pintu lagi. "Lan, buka!" Perintahnya.

Tentu saja aku tidak membukakan pintu untuknya! Aku tidak mau disiksa di rumahku sendiri.

Karena aku tidak menyahuti panggilan meskipun Ryan memanggil berkali-kali, orang itu mulai gusar, dia mengetuk dengan lebih keras. "Kalau lo ngga mau buka, gue bakal dobrak pintu ini." Ancam Ryan dengan nada emosi.

"Jangan!" Teriakku. "Kalian pulang aja! Ngapain ke sini?"

"Oi lo..." Ergi terdengar mau memaki namun tiba-tiba berhenti. Entah apa yang membuatnya berhenti.

"Lan, gue ke sini mau jengukin karena katanya lo sakit." Jawab Ryan, terdengar lebih halus.

Aku tidak percaya. Dengan rasa takut yang begitu besar, aku berdiri beku dengan tangan gemetar.

"Pergi!" Kataku dengan suara serak. Entah kenapa, bicara satu kata itu saja sudah menguras tenaga. Suaraku bahkan tidak bisa keras.

"Gue ngga bakal pergi sebelum lo buka pintu." Ryan masih keras kepala.

"Kamu mau apa lagi? Apa ngga cukup yang kemarin? Apa ngga cukup menyiksaku selama ini? Biarkan aku tenang di rumahku sendiri!" Seperti binatang yang disudutkan, akhirnya aku melawan balik juga. Aku tidak lagi memikirkan apakah nanti Ryan akan tersinggung atau marah. Yang jelas aku sudah lelah tapi dia masih saja berusaha memburuku. Apalagi yang bisa aku lakukan selain melawan?

Hening langsung menyeruak di rumahku ketika aku selesai bicara. Ryan tidak lagi mengetuk pintu maupun berteriak. Meskipun begitu, ketegangan tidak bisa meninggalkanku. Bagaimanapun yang datang adalah monster. Pintu rumahku yang reyot ini tidak akan bisa menahan tendangannya. Dia bisa mendobraknya kapan saja.

"Lan..." panggil Ryan setelah sunyi beberapa menit. Aku langsung mundur beberapa langkah.

"Jangan takut. Gue ngga akan melakukan hal-hal yang lo ngga mau." Lanjutnya.

'Tapi selama ini kamu selalu melakukan hal-hal yang menyusahkanku.' Jawabku dalam hati. Aku yang semakin takut karena disuruh untuk tidak takut, mengambil tongkat pramuka adikku untuk digunakan sebagai alat perlindungan diri. Aku memegang benda itu dengan sangat erat. Karena aku pikir Ryan akan segera mendobrak pintu, aku melirik ke arah jendela ruang tamu kemudian mendekat ke sana.

Namun, yang terjadi selanjutnya tidak dapat kubayangkan. Ryan mengucapkan sesuatu yang aku kira tidak akan sudi dia ucapkan seumur hidup.

"Lan, maaf. Maaf karena selama ini udah banyak nyakitin. Gue ngga akan lakuin itu lagi. Jadi, sekolah lagi ya."

***

RYVAN 1 - Ugly Duckling Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang