I Bara dalam hati, yang tak kunjung mati

16 2 0
                                    

What I wish I'd know about love?
.
.
.

Kisah ini dibuka pada pertengahan akhir bulan Desember, beberapa hari sebelum Hari Raya Natal tiba. Hari paling dinanti-nanti hadirnya sebab libur panjang akan segera datang. Beberapa hari sebelum pergantian tahun, tentu membawa harapan baru diantara gugurnya daun-daun sehabis musim dingin.

Musim paling dingin akibat matahari yang terbekap awan, hujan pun bersorak merayakan kebebasannya jatuh ke bumi. Bulir-bulir air itu datang menyerbu kaca di gedung sekolah. Tepat dibalik jendela kelas yang basah oleh hujan, Seruni menatap lurus ke lapangan sekolah karena ada hal menarik diantara kacaunya kondisi di bawah sana.

Semua mata sedang menuju ke depan, sebab ulah seseorang yang dengan sengaja diam ditengah-tengah lapangan dalam kondisi hujan lebat. Duduk diam, di atas kursi roda. Wajahnya tertutup hujan, badannya basah kuyup dan kondisi hatinya pasti sedang kacau balau.

"Seruni," sapa Ibu Mirna, salah satu guru yang berhubungan dekat dengannya. Seruni sadar akan hadirnya Bu Mirna yang tubuhnya terkena bias cahaya dan memantul di jendela, tetapi ia terlalu fokus dengan apa yang terjadi di depan sana sehingga enggan untuk membalas sapaan. "Seruni? Kamu lihat Ibu?"

Hingga tangan Ibu Mirna menghalangi dengan sengaja menulis sesuatu di atas kaca jendela yang berembun itu. Tentu kini padangan mata Seruni teralih sepenuhnya kepada Ibu Mirna.

'Kamu penasaran dengan anak itu?'

Ibu Mirna mulai berucap panjang, "Namanya Ambara Merapi, baru diterima tadi. Pindah ke sekolah ini karena sempat dibully di sekolah lamanya. Padahal dia cuma kehilangan sebelah kakinya, tapi dampaknya hampir sebagian harapan hidupnya ikut hilang."

Seruni berhenti melihat wajah Ibu Mirna, terlalu menyedihkan baginya. Namun, Bu Mirna kembali menulis di atas jendela basah itu.

'Kamu mau jadi temannya? Bukannya Seruni pernah cerita, ingin tahu kehidupan anak-anak di sekolah lain seperti apa?'

Ibu Mirna selalu punya cara untuk memancing atensinya, dengan secail pertanyaan lewat sebuah tulisan di balik jendela tersebut. Muncul ke permukaan, rasa penasaran yang terpendam cukup lama di dalam hatinya. Akan sebuah pertanyaan, bagaimana rasanya menjadi manusia dengan kondisi normal?

♧♧♧

Sekolah bagi Seruni dan bagi orang lain, mungkin padangannya akan berbeda. Sekolah ini bukan sekolah biasa-biasa saja, karena dipenuhi keunikan luar biasa. Anak-anak unik dengan senyuman sehangat matahari dan tingkah laku yang manis, golongan anak-anak yang bahkan bingung bagaimana caranya bergabung dengan kehidupan anak-anak lain sebab terlalu banyak batasan diantara mereka.

Awal bulan Januari, benar, hari setelah libur panjang yang dihabiskan bersama keluarga serta sanak saudara kini telah berakhir. Tahun ajaran baru disambut hangat oleh mereka, hari pertama pergi ke sekolah, siapa yang sedih?

Tentu Seruni punya jawabannya, anak baru itu. Cuma dia yang wajahnya murung. Anak laki-laki duduk diatas kursi roda tengah menatap keluar kelas dengan tatapan kosong, mengartikan pikirannya berkelana jauh meninggalkan raga.

Wajar saja, dia murung. Kami berbeda, mungkin bagi dia senyuman manis yang ingin anak-anak lain tunjukkan adalah senyum terpahit sebab takdir membuatnya terperangkap dengan anak-anak tak sempurna seperti kami.

Seruni ingin sekali berdialog dengannya, memulai sebuah pembicaraan ringan diantara mereka. Akan tetapi dia lupa, komunikasi adalah kekurangannya. Tak habis ilmu, Seruni mengeluarkan sebuah note kecil di balik kolong mejanya.

'Hai, namaku Seruni! Namamu siapa?'

Anak itu tidak melihatnya, pandangannya masih lurus keluar jendela. Seruni lalu menoleh dan melihat apa yang selalu ia pandang. Ternyata dia terus menerus memandang lapangan, lebih tepatnya ring basket.

Teman BicaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang