“Kau pikir Nami akan mencintaimu? Sadar diri lah, sialan.
Setiap gadis yang melihatmu bahkan ingin sekali melemparkan kotoran ke wajahmu saking jijiknya.
Dan kau berpikir bisa mendapatkan hati Nami dengan wajah jelekmu itu?"
Bukan hanya anak laki-laki yang merundungku di sekolah, bahkan anak perempuan pun ikut-ikutan turun tangan karena sudah tidak tahan dengan diriku yang masih saja berkeliaran di sekolah selama dua tahun lamanya.
Aku hanya terdiam di tempat, menatap datar ke arah segerombolan perempuan yang berdiri di hadapanku sambil menatapku dengan tatapan jijik khas mereka.
"Jangan berani mendekati salah satu dari kami! Kau sadar tidak sih kalau wajahmu itu jelek, sialan?!"
Aku menghela nafas panjang, aku sadar diri kok kalau wajahku buruk rupa!
Wajahku penuh bekas luka dan juga jerawat bertebaran ke mana-mana. Wajahku juga sangat kusam jika dibandingkan dengan kalian semua.
Lantas kenapa kalian merundungku hanya karena wajahku yang jelek?!
Kalau Nami memang tidak menyukaiku, ya tinggal tolak saja ajakan kencanku sebelumnya. Tak perlu sampai memanggil teman-temannya, bukan?
Lagipun, aku mengajak Nami melalui aplikasi chat! Jadi ini tidak ada hubungannya dengan dunia sekolah! Kecuali kalau ia menerima ajakanku, tentunya.
"Kau terdiam dengan kata-kataku? Dengar ya, mata empat! Orang yang mendekati Nami itu banyak sekali, tahu?
Bahkan tuan Roronoa Zoro, si ketua klub basket sedang berusaha mendekati Nami..!
Dan kau,,,! Hanya seorang sampah masyarakat berani mendekatinya?" Gadis itu menatap remeh ke arahku. Memasang wajah sombong, padahal bukan dia yang didekati orang orang bernama Roronoa Zoro itu."Sudahlah Carrot. Lebih baik kita pergi saja, aku benci situasi ini." Nami, gadis dengan rambut panjang berwarna orange, bermata bulat besar, wajah imut khas anak SMA namun memiliki sifat layaknya setan itu buru-buru pergi melangkahkan kaki jenjangnya yang dilapisi oleh stocking.
Temannya yang bernama Carrot, masih memasang wajah jengkel saat melihat Nami sudah pergi meninggalkannya duluan.
"Ingat kata-kataku, sial! Cuih!" Carrot meludah ke arahku tanpa dosa. Air liurnya tepat mengenai kacamataku.
Beberapa gadis yang menyaksikan hal itu spontan terkekeh geli. Menertawaiku yang terus-terusan terlihat seperti orang idiot di mata mereka.
Aku menggigit bibir bawahku, kesal.
Sialan! Aku terus dipermainkan oleh sampah-sampah masyarakat yang mengaku sebagai seorang raja di dunia ini!
Dan lagi,—oh Carrot! Seenaknya saja ia meludah ke arahku.
Padahal ia sama sekali tidak cantik, tapi sombongnya minta ampun.
Ia merasa menjadi seorang primadona sekolah hanya karena berteman baik dengan Nami.
Cih, asal dia tahu saja. Kalau wajahnya itu juga sama buruk rupanya denganku.
Jika dibandingkan dengan Nami, ia hanya memiliki 3% kecantikan seorang Nami-san!
Setelah membersihkan air liur yang menempel di kacamataku, aku buru-buru pergi dari gedung belakang sekolah sebelum orang lain menemuiku dan menjadikanku bulan-bulanan mereka untuk kesekian kalinya.
.
Waktu telah menunjukkan pukul lima petang, setelah hampir seharian menjalani kehidupan monoton, membosankan, dan penuh hinaan. Akhirnya aku berhasil menyelesaikannya dengan sempurna.