Separah apa sampai gue harus pergi dari dia? Tahu kan, manusia kalau sudah dilarang biasanya akan timbul rasa penasaran dan niatan untuk melanggar disebabkan keingintahuan yang tinggi. Bagi Maya, kalimat Jefran barusan belum cukup kuat untuk meluruhkan tekadnya. Semua itu harus berlandaskan oleh suatu fakta, hingga gadis itu melihat sendiri dengan kedua matanya, baru bisa ia simpulkan secara matang.
Kuasa Maya memegang pergelangan tangan Jefran yang menyentuh lehernya. "Terserah kamu mau bilang apa, karena aku udah nggak bisa ke mana-mana." Faktanya, tarik ulur Jefran lebih menjanjikan ketimbang sampai mati ia tidak mengetahui apa-apa sama sekali. "Rumahku tinggal dua, Ibu dan kamu. Pilihan paling waras dari pada percaya sama Wahyu apa lagi orang asing."
Tidak ada perubahan mimik wajah Jefran yang berarti. Kamu terlalu naif, Sasmaya. "Kenapa begitu?"
"Karena aku merasa kamu bukan orang asing." Maya sejenak mengambil napas. "Walaupun tetap ada rasa ragu, tapi aku nggak sebego itu." Gue tetap bisa bedain mana yang berniat buruk ke gue dan mereka yang selalu berusaha ngelindungin.
Sentuhan tangan Jefran melemah, ia tarik kuasanya dalam diam. Kepala mulai penuh dengan suara bising atas pemikirannya sendiri, entah ia harus merasa lega atau malah ujung pistol siap tembak sedang di arahkan kepadanya?
Ketukan pada pintu menginterupsi keduanya. "Aniki, sudah waktunya," ujar Yono dari balik sana.
"Saya nggak sebaik yang kamu kira." Jefran beranjak melewati Maya begitu saja seraya membuka pintu lalu berujar pada Yono, "Kita ke butik dulu."
***
Dress lengan panjang berwarna hijau terang dengan motif bunga, menjadi pilihan figur bersurai pirang dikepang satu itu untuk menghadiri acara pertemuan. Agar masih terlihat formal, coat hitam membalut tubuh rampingnya disertai high heels terang senada. Ketika keluar dari mobil dan meraih uluran tangan Jefran, beberapa pasang mata tampak menyoroti Maya yang terlihat sukar mengulum senyum.
Bangunan besar di depan tampak sederhana dan jauh dari kata menyeramkan, yang jadi masalah adalah aura orang-orang berpakaian rapi di sekitarnya. Dominan pria dewasa, mereka yang datang langsung melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung tanpa bertegur sapa, lebih tepatnya menyisakan bisikan pelan lalu bertindak acuh tak acuh tanpa alasan yang jelas.
"Mereka semua keluargamu?" tanya Maya yang berdiri di samping Jefran.
"Dulu," jawab Jefran pelan seraya menyisipkan kuasa pada pinggul Maya.
Maya tidak merespon, tetapi pertanyaan pada benak mendadak bermunculan. Ini pertemuan keluarga atau pertemuan antar pesaing bisnis sih?
Baru beberapa langkah tungkai mereka bergerak, jalan tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki yang sekiranya seumuran Jefran.
"Hisashiburi (Lama tidak jumpa)." Pria itu lebih pendek dari Jefran, mungkin setinggi Maya. Jas hitam bertengger pada pundak kanannya, kemeja putih dengan lengan digelung hingga ke siku menampilkan otot yang dibentuk dengan baik juga tatto mengerikan tercetak pada kulit.
Tatto ... Jefran juga punya tatto kayak gitu.
Rambut pria itu rapi disisir ke belakang tampak modis, tetapi senyuman bibir tersungging remeh sangat menjatuhkan kesan pertama yang tercipta. Di belakangnya banyak sekali pria berjas yang berkerumun sambil menatap tajam seakan berjumpa musuh lama; tidak ada ramah-tamahnya sama sekali.
Jefran hanya bergeming sambil memperhatikan penampilan pria itu, sebab ia sendiri merasa tidak mengenalinya. Kalimat yang tepat; pria di hadapannya ini siapa, itu bukan urusan dia. Fokusnya kini hanya mencari presensi Arata, sang Kakek. Bersamaan dengan itu, Maya merapat pada Jefran dengan was-was.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mitambuh
Romance[TAMAT] Hening Merona setuju pacaran pura-pura dengan Raga Tatkala Juang karena lelaki itu konon mampu menghilangkan kutukan yang menempel pada dirinya. Tidak hanya Hening yang punya kepentingan pribadi, Raga pun sama. Hubungan baru yang semula Heni...