Part 23

10.1K 755 32
                                    

Maaf?

Apa ini tipuan baru?

Aku curiga. Akan tetapi, Ryan bukan Dimas. Meskipun dia kasar, dia tidak pintar berbohong atau mengelabui. Sudah menjadi kebiasaannya mengatakan apapun sesuka hati tanpa peduli perasaan orang lain. Karenanya aku bingung. Apa Ryan benar minta maaf? Atau telingaku yang salah?

Di tengah kebingungan itu, Ryan bicara lagi. "Lan, bisa tolong buka pintunya? Kita bisa bicara langsung, ngga kayak gini. Gue janji gue ngga akan ngelakuin sesuatu yang ngga lo suka."

Setelah kata maaf, kali ini ada kata 'tolong'. Dua kata luar biasa itu ternyata bisa keluar dari bibir seseorang yang arogan seperti Ryan. Walaupun begitu, aku belum siap. Aku masih tidak mau bertemu dengannya.

"Kalau gitu, tolong pulang. Aku belum mau ketemu kalian." Sahutku.

"Lan sorry. Jangan kayak gini. Lo mesti datang lagi ke sekolah." Kata Ryan pelan namun serius. Dia terdengar tulus.

Aku membuka bibir untuk menyahuti ucapan Ryan itu namun batal. Di tengah kekalutanku, suara orang yang aku tunggu akhirnya terdengar.

"Kalian mau apa ke sini?" Tanya Bian yang baru datang.

***

Sesampainya di rumah Fadlan, Bian melihat tiga orang berpakaian putih abu-abu yang berkumpul di depan pintu rumah pacarnya itu. Rumah sederhana yang berusia lebih dari tiga puluh tahun itu terlihat kontras dengan cemerlangnya tiga remaja yang berdiri di sana. Meskipun mereka terlihat cemerlang, Bian tidak bisa memberikan pandangan positif. Itu karena dia mengenal ketiganya lewat sosial media sebagai orang-orang yang terlibat dalam pengunggahan video skandal Fadlan. Satu yang meng-upload, dua lainnya paling banyak berkomentar.

Setelah memutar bola mata dua kali, Bian memarkir sepeda motornya kemudian mendekat. Dia perlu menyelamatkan pacarnya dari tiga berandalan ini. Pada mulanya dia ingin menggunakan kepalan tangannya untuk mengusir namun salah satu dari mereka mengucapkan kata 'sorry'. Kata sakral itu membuatnya menurunkan tangan dan menggunakan cara yang lebih halus.

"Kalian mau apa ke sini?" Tanyanya sambil berjalan mendekat. Saat itu juga tiga kepala menoleh. Mereka terlihat bertanya-tanya namun tidak menanggapinya. Suara yang menjawab malah suara orang lain.

"Kak Bian!" Panggil Fadlan dari dalam rumah dengan nada putus asa. Mendengar panggilan panik itu, Bian mengeraskan rahang kemudian bicara lagi.

"Kalian pulang aja. Jangan mengancam pacarku atau aku panggilkan polisi." Kata Bian berusaha mengendalikan emosinya. Dia tidak mau terlihat kekanak-kanakan di depan anak-anak SMA.

"Pacar?" Tanya Ryan kaget. Dia menatap Bian nanar. Sudah ada dua orang yang mengaku-ngaku menjadi pacar Fadlan. Orang-orang seperti ini tidak ada habisnya sehingga Ryan kesal.

Mendapatkan tatapan permusuhan dari Ryan, Bian tidak begitu heran. Bagaimanapun wajah pacarnya bisa menggaet laki-laki maupun perempuan. Sangat mungkin kalau remaja blasteran di depannya akan tersesat. Oleh karena itu, tanpa menanggapi Ryan, dia langsung mendorong Dimas menjauh dari pintu lalu memanggil Fadlan untuk keluar.

"Sayang, ayo pergi! Jangan takut, mereka ngga akan ngapa-ngapain." Kata Bian lembut.

"Benar?" Tanya Fadlan dengan suara kecil.

"Iya. Percaya padaku."

Setelah pertukaran kata itu, sorot mata Ryan makin tajam mengarah ke laki-laki dengan rambut bergelombang di sampingnya. Kata 'sayang' yang diucapkan membuatnya semakin jengkel. Dia ingin menarik kerah baju orang di depannya untuk menghajar tapi tertahan. Itu karena suara langkah Fadlan mendekati pintu membuyarkan keinginannya.

Suara putaran kunci terdengar jelas kemudian Fadlan membuka pintu perlahan. Wajah manis Fadlan muncul dari celah pintu untuk mengintip. Begitu melihat Bian, barulah dia membuka pintu dengan bersemangat. Ekspresi lega Fadlan begitu melihat pacarnya membuat kepala Ryan langsung panas. Ketika Bian menarik tangan Fadlan dan memegang pundak pacarnya itu, pandangan Ryan seperti terbakar api.

Hal yang berbeda terjadi pada Dimas dan Ergi. Dua orang itu baru kali ini mendapat kesempatan untuk melihat dengan jelas wajah Fadlan tanpa kacamata dekil yang biasa digunakan. Karena syok, dua pasang mata mereka membulat dan keduanya kehilangan kemampuan bicara selama beberapa saat. Logika mereka masih belum bisa menerima kalau orang yang ada di depan mereka adalah teman sekelas yang selama ini mereka hina karena terlihat jelek.

Masih tidak peduli pada tiga anak SMA yang melotot, Bian mengambil kunci rumah dari tangan Fadlan kemudian menutup pintu dengan baik. "Ada yang ketinggalan?" Tanyanya pada Fadlan yang kini melekat ke arahnya.

Fadlan menjawab dengan gelengan.

"Lan!" Panggil Ryan dengan penekanan suara. Mendengar panggilan itu, Fadlan makin rapat ke arah Bian untuk mencari perlindungan. Reaksi itu membuat dada Ryan tiba-tiba terasa berat.

"Jangan ganggu aku lagi! Kalian pulang aja." Katanya.

Di sebelahnya, Bian menepuk-nepuk kepala Fadlan dengan lembut kemudian menambahkan. "Ngga ada gunanya kalian ke sini. Jangan mengganggu orang yang ngga mau diganggu. Itu ngga sopan."

Tidak pintar menggunakan kata-kata, Ryan yang jengkel mengulurkan tangan untuk menjangkau Fadlan. Sayangnya tangan Bian dengan cepat menepis tangannya.

"Jangan berani mengganggu pacarku lagi! Apa kamu ngga lihat kalau dia ngga mau berurusan dengan berandalan sepertimu? Pergi dari sini! Berhenti bertingkah seperti penjahat!" Ucap Bian emosi. Setelah itu dia langsung membawa Fadlan keluar pagar untuk menjauh.

"Lan, gue serius minta maaf." Bujuk Ryan setengah berteriak.

"Kalau emang mau minta maaf, perbaiki apa yang sudah bikin sakit hati. Jangan kasar!" Balas Bian ketus. Fadlan sendiri tidak menyahuti dan hanya mengikuti pacarnya.

Melihat ekspresi takut, marah, dan sedih yang bercampur di wajah Fadlan, Bian membisiki kalimat penghiburan. "Semuanya udah lewat. Mereka ngga akan ganggu kamu lagi."

"Tapi di sekolah aku harus ketemu mereka lagi." Jawab Fadlan cemas. Suaranya rendah namun kekhawatiran jelas terdengar.

"Mereka ngga akan bisa ganggu kamu lagi. Terutama yang tadi teriak."

"Gimana kakak bisa tahu?"

"Rahasia."

***

Bian terdengar begitu yakin namun aku tidak bisa seyakin itu. Tidak mungkin orang yang sudah membiasakan diri membully orang lain tiba-tiba berhenti. Begitu pula dengan orang yang sudah dicap sebagai makhluk hina. Cap itu tidak akan terhapus dengan mudah.

"Berhenti merengut, senyum dikit buatku." Kata Bian ketika memakaikan helm.

Karena Bian tersenyum duluan, akupun membalas senyum itu tanpa sadar. Sayangnya senyumku tidak lama bertahan karena Ryan ikut keluar area rumah. Orang itu menatapku lekat-lekat seakan ingin memenjara. Walaupun begitu, syukurnya dia hanya memandangi tanpa menghalangiku pergi.

Setelah aku naik ke motor dan melaju dengan Bian, pandangan Ryan masih mengikutiku hingga orang itu tidak terlihat lagi. Aku yang akhirnya bisa bebas darinya, menghela nafas lega sambil memeluk pinggang Bian lebih erat.

"Duh, sainganku bakal banyak." Keluh Bian tiba-tiba.

"Saingan?" Aku bertanya-tanya.

"Iya saingan. Apa kamu ngga liat kalau cowok blasteran tadi naksir kamu?" Kata Bian cemburu.

Ini pertama kalinya aku melihat kecemburuan Bian. Akupun tersenyum atas pikiran tidak masuk akal itu dan memukul punggung pacarku ini. "Kakak ada-ada aja."

***

RYVAN 1 - Ugly Duckling Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang