°03 Bubble Gum

1.6K 224 21
                                    

Hari kedua dimana Gracia berkeliling di unit anak. Sorak anak-anak yang mengisi keramaian masih sama terdengar, suara mainan yang dimainkan juga turut mengisi kekosongan. Bedanya tak ada suara nyanyian yang begitu lembut, tak ada suara gelak tawa yang berbeda, tak ada percakapan random yang terdengar. Gracia berdiri di depan kaca jendela yang langsung menampakkan pemandangan gedung-gedung tinggi diseberang gedung rumah sakit. Langit menampakkan kegelapan, awan petang menutupi langit biru.

Wajah Gracia juga turut muram, badannya berbalik dan langkah kakinya dituntun untuk pergi dari sana. Sambil menatap ubin mengkilap dan slipper yang sudah buluk. Turun satu lantai, ia berjalan menuju lorong yang sedikit lebih tenang. Langkahnya berhenti di depan sebuah ruangan yang selama ini jadi langganannya tiap hari didatangi.

"Ngapain sih gua." Monolog nya, mata itu kini menatap papan nama Dr. Feni, SpKJ. Dokter kesehatan mental nya selama hampir sebulan ini, Gracia masih merasa segan untuk berbincang banyak dengan dokter yang dipanggil Feni ini. Bahkan dirinya masih ingat bagaimana pertemuan pertama mereka, Gracia hanya menunduk, menjawab seadanya, entah itu anggukan atau gelengan kepala.

Tapi, akhir-akhir ini Gracia ingin sekali bercerita. Bukan tentang mimpi buruk tiap malamnya, bukan tentang kesepian yang selalu menghantui dirinya tiap saat, tapi tentang keinginan, harapan yang Gracia mau.

Jam menunjukkan pukul lima sore, dengan mandiri ia datang ke ruang dokter Feni. Dia datang sejam lebih cepat dari seharusnya, entah alasan apa tapi Gracia ingin. Diketuknya tiga kali pintu kayu geser itu dengan pelan, perasaannya ragu namun bersemangat.

"Silahkan masuk."

Feni mendengar suara ketukan dari pintu, dilihatnya gadis bersurai hitam dengan pakaian pasien dilengkapi cardigan coklat masuk dengan perlahan sambil sedikit menundukkan kepala.

Gracia sedikit gugup karena ini adalah pertama kalinya mendatangi dokter Feni lebih dulu, biasanya beliau lah yang akan mendatangi kamarnya dan mengajaknya sekedar berkeliling santai sambil mengobrol.

"Gracia?"

"Sore dokter Feni," Gracia mencoba menyapa dan menatap Feni.

Senyum yang muncul dari bibir Feni menyambut hangat kehadiran Gracia sore itu, ia berdiri dan membawa Gracia untuk duduk bersama di sofa ruangannya. Ini pertama kali Gracia mendatangi nya seperti ini, jadi Feni ingin membuat gadis itu senyaman mungkin.

"Konsultasi masih satu jam lagi, ada yang mau dibicarakan?"

Gracia sekarang duduk disebelah Feni. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu mencoba menatap Feni. Begitu juga Feni, mencoba menatap dan membaca pikiran Gracia saat ini. Entah mengapa sekarang rasa gugupnya menjadi dua kali lipat lebih besar.

"Tidak ada. Aku hanya bosan."

Sejujurnya bukan kalimat itu yang ingin ia ucapkan. Ini hanyalah kalimat pengalihan dari rasa gugup yang ia rasa.

"Mau berkeliling denganku?"

Sontak Gracia menggeleng. Dia sudah seharian ini berkeliling, iya, seorang diri. Bahkan dia sudah beberapa kali juga melewati lorong yang sama.

Tidak bohong jika pemandangan taman rumah sakit begitu cantik untuk diamati lama, atau tempat-tempat ruang tunggu yang menarik untuk disinggahi karena tidak membosankan bagi pasien lainnya apalagi seperti dirinya. Namun, jika dirinya berkeliling lagi rasa-rasanya kakinya akan patah.

"Aku sudah berkeliling, tapi masih bosan."

"Lalu, kegiatan apa yang mau kamu lakuin?"

Selain melukis, memang kegiatan apa lagi yang bisa Gracia lakukan. Jika, aktivitas diluar saja sudah dilarang oleh dokter Sisca, lalu apalagi? Berkeliling rumah sakit saja dokter Sisca kadang masih mengomeli dirinya, apalagi jika keluar rumah sakit?

AMERTA & KAHARSA || greshanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang