Bab 46

98 4 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Pak Firman. Dari hasil pemeriksaan, kemungkinkan besar ada rahasia yang belum Anda ketahui tentang istri Anda," ucap Pak Danny, psikiaternya. Firman mendengarkan dengan perasaan campur aduk.

"Itu yang membuat Pak Firman mengalami mimpi buruk yang ada kaitannya dengan Bu Mira," lanjut Pak Danny yang makin membuat Firman merasa gugup.

Setelah mendengarkan dengan cermat penjelasan Pak Danny, Firman membuka mulut untuk bertanya, cuma ingin memastikan. "Jadi ... istri saya ... punya rahasia yang saya tidak ketahui?"

Pak Danny menjawab tenang. "Anda bisa tanyakan langsung pada Bu Mira nanti. Sekarang, kapan pertama kali Anda bermimpi tentang Bu Mira?"

Firman memikirkan jawabannya terlebih dulu, mencoba mengingat dengan baik. "Saya mulai bermimpi tentangnya sejak sehari yang lalu. Biasanya, saya selalu terganggu oleh ingatan tentang Yudi, tapi tiba-tiba Mira muncul dalam pikiran saya, dan saya teringat akan kejadian lain yang melibatkan Mira."

"Apa satu kejadian yang Anda ingat?" tanya Pak Danny memfokuskan tatapannya pada Firman. "Apa semacam kejadian buruk?"

Firman memutar bola matanya sebentar, berusaha mengingat. "Ya, satu kejadian yang saya ingat adalah ketika Mira mengambil dan merusak alat tulis saya dari dalam tempat pensil, lalu menginjak-injaknya."

"Baik." Pak Danny mencatat lagi. "Sebelumnya Pak Firman mengeluhkan tentang Bu Mira dan saya rasa memang Pak Firman harus menanyakan rahasia yang belum Bu Mira ungkapkan kepada Anda."

Firman sudah menceritakan mimpi buruk yang melibatkan Mira sejak awal kedatangannya di ruangan Pak Danny. Ini adalah mimpi yang mengganggunya dalam beberapa waktu belakangan. Meski sudah menceritakannya panjang lebar, Pak Danny tetap saja menyarankan Firman untuk bicara langsung dengan Mira dan mencoba mencari tahu apa rahasia yang disembunyikan.

Firman dengan tegas menolak pemikiran bahwa Mira adalah pelaku sebenarnya. Dia pun menjelaskan, "Saya tidak percaya Mira itu otak mulainya perundungan yang saya alami. Menurut pengetahuan saya, Mira hanya ikut-ikutan temannya dalam perundungan terhadap saya. Sebelumnya, saya telah menjadi korban perundungan verbal dari teman sekelas saya, lalu Mira ikut merundung saya, dan saya bahkan dijadikan pesuruh olehnya."

Pak Danny menghela napas sambil menempatkan kedua lengan di atas meja, fokus pada pasien yang duduk di depannya. "Jika Anda masih yakin Bu Mira bukan pelakunya, mungkin sebaiknya Anda bicarakan langsung dengan Bu Mira."

Sebelumnya Firman pernah mencoba bertanya hal itu kepada Mira, dan Mira menegaskan bahwa dia hanya ikut-ikutan teman-temannya. Namun, dalam pikiran Firman, masih ada kilas balik pertemuannya dengan Yudi dan suatu rekaman yang pernah didengarnya.

Padahal banyak yang nggak berani untuk merisak dia, cuma aku yang berani. Aku juga kan yang merundung dia lebih dulu dibanding teman-teman lain.

Firman tiba-tiba merasa seperti tersengat ketika mendengar kata-kata samar tersebut berputar di dalam pikirannya. Tidak ada keraguan lagi, itu adalah potongan percakapan yang dia dengar dari rekaman yang ditunjukkan Yudi.

Pak Danny memperhatikan Firman yang terlihat terkejut. "Anda tidak apa-apa, Pak Firman?" Dia khawatir melihat reaksi yang tidak terduga dari pasiennya.

Firman tadinya ingin memberitahukan apa yang baru saja ditemukannya. Namun kemungkinan Pak Danny tetap akan memberikan saran yang sama, yaitu menanyakannya kepada Mira. Sebaiknya dia simpan dan melanjutkan sesi konsultasi.

Setelah hampir sejam terlibat dalam terapi dan mendapatkan resep obat baru, Firman keluar dari ruangan Pak Danny dengan selembar resep yang perlu dia tukar di apotik sekitar rumah sakit. Firman benar-benar terkejut dengan hasil sesi konsultasinya. Meskipun dia hampir lupa akan Yudi dan tindakan buruk yang pernah dilakukan oleh temannya itu, namun sebaliknya, dia justru makin mengingat Mira dan kejadian yang pernah terjadi.

Saat Firman berjalan di sepanjang lorong rumah sakit, dia terus bergumam, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Mira tidak bersalah. Firman memiliki keyakinan penuh pada istrinya dan yakin bahwa Mira bukanlah pelaku sejati dalam perundungan yang pernah dialaminya. Firman percaya bahwa ada orang lain yang mungkin menjadi otak di balik perundungan tersebut, dan dia yakin Mira dan Lexi tidak terlibat dalam hal tersebut.

Resep sesuai anjuran Pak Danny sudah dia tebus di apotik dan kini dia mendapatkan obat baru lagi. Obat yang sekarang masih belum habis, namun kebetulan dia mengalami gejala baru. Sungguh waktu yang tepat.

Setelah Firman menukar resep obat di apotik dan menerima obat baru, dia memasuki mobilnya untuk berangkat ke kantor. Sekali lagi dia mendapatkan izin untuk tidak perlu masuk kerja pada jam pagi dan hanya perlu datang setelah makan siang.

Firman mulai mengemudikan mobilnya, sembari menelepon Mira melalui headset bluetooth yang dipasang di telinganya. "Mira? Kamu nggak usah masak makan malam. Kamu tinggal di unitmu saja dan istirahat." Firman memberikan pesan singkat tersebut, lalu mematikan sambungan telepon dengan cepat. Kemudian, dia mengalihkan fokus pada perjalanan, langsung menambah kecepatan kendaraannya saat meninggalkan area rumah sakit.

***

Pada malam hari, Mira berdiri di balkon sambil menikmati tegukan minuman cokelatnya, matanya terarah pada langit bintang yang bersinar. Ada keanehan dalam perilaku Firman, dia tiba-tiba enggan makan malam yang biasanya selalu disiapkan oleh Mira setiap kali suaminya pulang kerja. Bahan-bahan masih ada di kulkas, jadi alasan kekurangan bahan bukanlah masalah.

Pikiran Mira melayang, mencari jawaban atas perubahan sikap Firman. Apakah karena Firman mulai mengingat beberapa kenangan buruk yang melibatkan dirinya? Mira merasa belum siap untuk menghadapi kenyataan jika Firman harus meminta penjelasan. Dia ingin mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua rahasia yang selama ini dia sembunyikan, terutama saat Firman memutuskan untuk berpisah darinya. Mira merasa bahwa jika perceraian itu memang tak terhindarkan, maka Firman butuh waktu untuk meredakan perasaannya sendiri. Mira tidak ingin membebani Firman dengan rasa bersalah atas apa yang telah terjadi di antara mereka.

Mira melanjutkan menikmati minumannya, sesekali menghela napas panjang.

"Sisa waktu pernikahan kontrak kami tinggal dua setengah bulan. Tantangan nyaris berhasil, tapi mendadak Firman mendapatkan gejala lain yang disebabkan oleh diriku sendiri. Apakah kami sungguh tidak bisa bersatu?"

Mira berbicara pada dirinya sendiri, merenungkan berlian yang sempurna yang telah dia pertahankan begitu lama, dan dia merasa bahwa mustahil melepaskan berlian tersebut begitu saja. Mira ingin menjaga berlian itu, bahkan jika berarti harus mempertahankan pernikahan kontrak mereka. Pandangannya tetap terpaku pada bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit malam yang indah.

Mira merenung, tengah terhanyut dalam pikirannya. Bel unitnya berbunyi, memecah lamunannya. Bahkan dari balkon saja, dia bisa dengar ada yang ingin masuk dalam unitnya. Tentu dia tahu orang tersebut adalah Firman.

Ketika Mira melangkah ke foyer setelah menutup pintu balkon, dia membuka pintu dan menariknya. Firman yang mengenakan kemeja terbuka dengan ekspresi datar. Tatapannya intens begitu mereka saling berhadapan.

Tanpa aba-aba, tubuhnya ditarik oleh Firman dan membuatnya memeluk sang suami. Mira terkejut, dalam dekapan hangat Firman, dia bisa merasakan kegelisahan yang terpatri di wajah Firman.

"Bukannya kamu bilang akui nggak perlu masak ya?" tanya Mira memastikan. "Kenapa kamu ... tiba-tiba memelukku begini?"

"Cuman mau nenangin diri," jawab Firman spontan. "Kebetulan besok aku harus istirahat dan nggak ke kantor, jadi aku mau ke unitmu besok malam. Bisa?"

Firman mengarahkan pandangannya ke Mira. Justru membuat Mira kebingungan, entah bagaimana harus menjawab pertanyaan barusan.

"Boleh. Kamu mau melakukan apa pun, bisa. Asal aku ada di samping kamu." Mira membalas mulai mengulum senyum pelan.

"Ya sudah. Kamu istirahat, sudah malam soalnya," pinta Firman kemudian mencium kening Mira secara singkat. "Aku juga harus istirahat."

Mira mengangguk sebagai balasan.

***

My Temporary TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang