Part 25

9.4K 694 15
                                    

"Itu bukan gayaku kak." Jawabku atas penawaran Adam. Aku memang bukan orang yang menyukai hubungan terbuka seperti itu. Untukku, menjadi setia satu sama lain adalah hubungan yang aku mimpikan. Ini mungkin terdengar konvensional tapi aku masih ingin mencapainya.

"Kalau gitu aku ngga punya pilihan lain." Sahut Adam.

Apa maksud kalimat itu? Orang ini sulit sekali aku pahami.

"Aku periksa pesanan kakak dulu ya. Nanti aku kembali lagi dengan pesanannya." Kataku tanpa menyahuti kalimat Adam yang tadi. Aku tidak bisa menyahuti ucapan yang tidak aku pahami.

"Yah, kalau gitu aku sendiri dong." Adam menunjukkan wajah kecewa.

"Makanya lain kali ajak teman kakak ke sini." Kataku tidak lagi peduli. Aku memang perlu ke dapur.

"Aku tunggu kalau gitu." Ujar Adam yang kemudian mengeluarkan ponselnya.

Karena Adam tidak lagi protes, aku bisa pergi dengan tenang.

Tidak perlu menunggu lama untuk mendapat pesanan karena Om Revan punya tiga asisten sekarang. Setelah meletakkan semua pesanan Adam ke nampan, aku kembali ke ruangan. Ketika aku kembali, Adam masih sibuk dengan ponselnya.

"Ini pesanannya kak." Aku meletakkan pesanan Adam di atas meja satu per satu. Selama melakukan itu, Adam memandangiku dengan tatapan tajam dan menyelidik. Tatapan itu membuatku merasa canggung.

"Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?" Tanyaku karena merasa tidak enak dipandangi.

"Lan, kamu udah liat komen-komen tentang kamu belum?"

Tentu saja belum. Aku belum berani membuka sosial media. Pertanyaan Adam itu hanya bisa aku jawab dengan gelengan.

"Banyak banget yang ngefans sama kamu. Ryan juga ikut komen. Dia bahkan udah hapus video jelek tentang kamu di akunnya. Apa kamu ngga penasaran dia bilang apa?" Tanya Adam dengan senyum jahil.

Aku kembali menggeleng, tidak tertarik.

Sebenarnya aku cukup senang video memalukan itu dihapus. Akan tetapi itu belum cukup untuk membuatku berani membuka sosial media. Aku juga tidak terlalu penasaran atas apa yang Ryan lakukan. Sejauh orang itu menjauh dari hidupku, itu akan lebih dari cukup.

***

Selain Adam yang datang seorang diri, aku juga meladeni beberapa rombongan hari itu. Kebanyakan dari mereka tidak begitu rumit dan mudah dilayani. Tidak seperti Adam yang cerewet karena sudah mengenalku, yang lain cukup puas dengan foto bareng dan obrolan sederhana.

Melayani rombongan kecil ternyata tidak begitu sulit untukku. Aku bahkan menikmatinya. Ketika yang datang adalah orang-orang yang membawa aura positif, aku tidak merasakan ketegangan sama sekali.

"Jadi, gimana hari ini?" Tanya Bian ketika kami berjalan menuju rooftop.

"Baik." Jawabku singkat.

"Baguslah." Sahut Bian ceria. Tangannya menggenggam tanganku lebih erat.

Sesampainya di rooftop, kami duduk sambil menikmati pemandangan langit malam. Semua pekerjaan sudah usai sehingga kami punya kesempatan untuk menghabiskan waktu berdua. Aku sendiri menikmati kedekatan ini karena hangatnya kehadiran Bian membuatku merasa tenang.

"Lan, aku punya sesuatu buatmu." Kata Bian sambil merogoh kantungnya. Dia mengeluarkan kotak kacamata bening sehingga isi di dalamnya terlihat jelas. Aku bisa melihat sebuah kacamata elegan tanpa frame yang tersimpan di dalam sana.

"Kak, aku udah bilang kalau aku ngga perlu ini." Tolakku.

"Awalnya aku juga mikir gitu. Tapi begitu ngeliat tiga orang yang datang ke rumahmu tadi siang, aku rasa kamu perlu mencoba ini."

"Apa hubungannya dengan mereka? Aku ngga suka menarik perhatian orang ke arahku kalau nanti pakai ini."

"Kamu pake kacamatamu yang sekarang maupun yang ini, kamu akan tetap menarik perhatian. Kalau gitu bukannya lebih baik menarik perhatian yang baik ketimbang menarik perhatian yang menyebalkan?"

"Tapi aku ngga akan melihat pandangan orang ke arahku dengan jelas kalau pakai kacamataku yang sekarang." Kataku membela diri. Kacamata tuaku itu lensanya agak menguning sehingga bisa mengaburkan pandangan orang di sekitarku namun tidak begitu mengganggu ketika membaca.

"Itu namanya melarikan diri. Selain itu, kebiasaan itu akan membuat matamu tambah rusak. Sebelumnya kamu mungkin takut menghabiskan uang untuk membeli kacamata baru. Tapi kali ini pacarmu tercinta memberikannya karena sayang. Jadi jangan ditolak." Sahut Bian kemudian mencium pipiku.

"Kenapa kakak memaksa?"

"Karena sebagian orang hanya melihat penampilan luar seseorang. Jadi, kita bisa memanfaatkan itu untuk hidup lebih nyaman."

"Tapi aku ngga perlu orang-orang seperti itu. Aku ingin orang-orang yang menerimaku apa adanya."

"Lan, kita ngga bisa memaksakan idealisme kita pada orang lain. Kita juga ngga boleh melakukan itu. Seseorang harus melihat sebuah kondisi apa adanya kondisi itu. Jika suatu hal malah membuatmu menderita untuk apa mempertahankannya?"

"Aku masih menyukai kacamataku." Kataku belum mau menyerah. Aku sudah menerima banyak dari Bian dan tidak mau terlalu banyak menyusahkannya.

"Kamu bisa selalu membawanya. Tapi ngga harus dipakai kan?" Jawab Bian yang selalu saja punya jawaban. "Dicoba ya. Kalau ngga berefek lebih baik, kamu selalu bisa memakai kacamata yang lama. Kalau takut pada pandangan seseorang, kamu selalu bisa pakai trik yang aku kasi tahu. Masih ingat?"

Aku mengangguk, "Jangan memandang langsung ke mata mereka tapi di antara alis."

"Good!" Seru Bian. "Kamu setuju mencobanya kan?"

Setiap Bian mengakhiri kalimatnya dengan 'kan', aku merasa sulit untuk menolaknya. Pada akhirnya aku mengangguk dan diapun tersenyum atas persetujuanku.

***

Setelah tiga hari tidak masuk sekolah, aku menyeret kakiku untuk memaksa datang. Ayah sudah memperingatiku sejak kemarin malam agar tidak membolos. Sayangnya, aku sebenarnya masih takut berhadapan dengan sekolah itu. Hari ini aku juga merasa deg-degan karena untuk pertama kalinya aku mengenakan kacamata yang membuat pemandangan di sekitarku terlihat sangat jelas. Kakiku rasanya makin berat.

Meskipun tidak termotivasi, aku tetap sampai di sekolah tepat waktu dan memarkir sepeda di tempat biasa. Di tempat itu aku sudah mendapat pandangan dari beberapa siswa yang kebetulan baru sampai juga. Merasakan perasaan tidak enak karena pandangan itu, aku berjalan cepat ke kelasku untuk menghindar.

Perasaan tidak enak itu masih belum berhenti ketika aku masuk area kelas dan berjalan di lorong. Lorong menuju kelasku sedang ramai pada jam-jam ini. Banyak siswa mengobrol di luar kelas sambil menunggu bel masuk berbunyi. Ada juga yang baru datang dari kantin dan membawa gelas plastik berisi minuman. Ketika aku melewati mereka, beberapa pasang mata menoleh ke arahku. Namun, syukurnya, tidak ada yang berusaha menjegal kakiku atau mendorongku ke lantai. Mereka hanya melirik tanpa berniat melakukan hal buruk.

Yang paling menakutkan adalah ketika masuk kelas. Aku baru melewati pintu ketika berhadapan dengan Ryan dan dua temannya. Pada saat itu juga tanganku langsung dingin dan pelipisku berkeringat. Aku ternyata belum bisa menanggulangi ketakutanku atas mereka bertiga. Siswa yang lain tidak memberi trauma yang terlalu buruk namun tiga orang ini memberiku rasa ngeri.

Sekarang ketika pandangan mataku lebih jelas, aku bisa melihat penampilan Ryan jauh lebih mencolok. Dia terlihat seperti berlian di tengah tumpukan pasir. Sayangnya, hal itu tidak mengurangi ketakutanku. Aku berhenti di depan pintu, tidak mampu melangkah lebih jauh.

Sialnya, Ryan terlihat senang melihatku dan mendekat. Akupun mundur dan mulai berpikir untuk pulang saja.

***

RYVAN 1 - Ugly Duckling Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang