happy reading!
***
Chiko merasa serba salah sekarang. Keberadaan Viola di sampingnya membuatnya tak nyaman. Viola yang terus berusaha mengajaknya berbicara itu sangat mengganggunya. Berkali-kali Chiko melihat keadaan sekitar berharap Shani cepat datang menyusul.
Tak lama Chiko melihat kedatangan Anin dan Sisca, tapi ia tidak melihat keberadaan Shani. Chiko jadi semakin gelisah. "Shani mana? Masih belom selesai cuci muka?" Raut wajah Chiko terlihat tak sabar.
"Shani pulang duluan Kak, emm, katanya dia ada acara keluarga." Sisca menjawabnya dengan ragu-ragu.
Chiko melebarkan kelopak matanya. Bagaimana bisa Shani pulang begitu saja tanpa memberitahunya. Chiko langsung bangkit dari tempat duduknya, mengambil tas seraya menyampirkan ke pundaknya.
"Loh Kak Chiko mau kemana?" Viola terkejut dengan pergerakan Chiko yang tiba-tiba, ia melihat pemuda itu tergesa-gesa. Chiko sudah melenggang pergi tanpa sempat menjawab Viola. Meninggalkan raut kecewa dan kebingungan di wajah Viola.
Chiko setengah berlari terburu-buru menyusul Shani. Nafasnya naik turun tak beraturan. Dia menoleh ke segala arah, berharap segera menemukan sosok Shani. la memicingkan matanya di satu arah, ia melihat Shani di tempat parkir bersama Gasta. Shani terlihat menunduk, sedangkan pria itu menepuk-nepuk punggung Shani.
Chiko merasa tidak asing dengan kejadian ini, di masa yang dulu ia juga pernah melihat Shani bersama Gasta di tempat parkir supermarket. Api unggun seketik menyala di dadanya, membakar kecemburuannya dan kepalanya. la kesal dan terbawa emosi. Shani pergi seenaknya, mengabaikan dirinya yang jelas menunggu kehadirannya. Sekarang gadis itu malah bersama dengan seorang pria yang ia waspadai.
Chiko menghampiri keduanya, ia mendorong Gasta agar menjauh dari Shani. la mencengkram kerah pria tersebut. Gasta yang tidak terima diperlakukan seperti itu membalas mencengkram kerah Chiko.
Rahang Chiko mengeras. Gasta mendengus kasar. "Apa-apaan nih! Lepasin!" Gasta berkata dengan suara ketus. Chiko melirik ke arah Shani yang terlihat panik.
Chiko melepas baju kerah milik Gasta. la tidak bisa mengontrol kemarahannya. Ingatan buruk yang pernah ia alami terus membayangi kepala hingga menembus sumsum tulangnya.
Chiko menyentak lengan Shani. "Kenapa pergi gitu aja? Aku nungguin kamu kayak orang bego." Gasta yang merasa diabaikan setelah diperlakukan kasar berdecak mengejek.
"Cih. Kenapa lo jadi sok peduli banget sama Shani?! Harusnya lo tetep bersikap ga peduli kayak apa yang udah biasa lo lakuin dari dulu."
Chiko merasa tersinggung dan begitu kesal dengan mulut pedas Gasta, ingin sekali ia melayangkan tinjunya dengan keras di wajah menyebalkan itu. Chiko mengatur nafasnya, berusaha menenangkan diri. Berusaha mendinginkan kepalanya yang mendidih.
Shani diam tak berkutik. la merasa diambang kebingungan dengan tingkah Chiko. Kenapa Chiko terlihat begitu marah? Bukankah bagus jika ia tidak mengganggu kebersamaannya dengan Viola? Shani juga merasa sangat jengkel karena Chiko terang-terangan salah tingkah saat melihat Viola.
Ya, Viola memang sangat cantik, tubuhnya ideal. Pasti banyak yang terpikat ketika melihatnya. Penampilan gadis itu juga terlihat berkelas.
Shani hanya diam tidak menyahut. Kecemburuannya masih bercokol dengan kuat. Chiko dibuat tidak sabar dengan kebisuan Shani.
"Ayo aku anter pulang." Chiko berujar selembut mungkin.
"Shani pulang bareng gue. Dia yang nelpon gue buat minta dianter pulang." Gasta menyela dengan tegas.
Chiko menahan kekesalan hatinya. Ia mengatupkan rahangnya menimbulkan gemeretak pada giginya. Sedangkan Shani tidak tahu apa yang membuat Chiko semarah ini.
"A-Achi." Shani memanggil Chiko dengan takut. "Kamu marah aku nggak ngabarin kamu kalo aku mau pulang duluan?"
Chiko menghirup udara di sekitarnya, mengatur emosinya agar tidak meletup. la tak boleh membuat Shani takut kepadanya.
"Shan, Papa kamu bakal marah kalo aku ngebiarin kamu pulang sama orang lain. Om Keanu udah nitipin kamu ke aku, dan beliau berpesan supaya aku jaga kamu. Gimana mungkin aku bisa ngabaiin tanggung jawab aku gitu aja?"
Shani manggut-manggut, Chiko hanya merasa bertanggung jawab karena ayahnya mempercayakan pemuda itu untuk menjaganya. Padahal Shani berharap jika Chiko mulai menyukainya, dan melakukan itu karena benar-benar menginginkan dirinya.
Shani memalingkan wajah, berusaha mengalihkan perhatiannya. "Maaf, tapi aku udah terlanjur nelpon Gasta untuk anterin aku pulang. Papa juga nggak bakal marah kalo Gasta yang nganter."
Chiko lagi-lagi harus menelan kekecewaan, sebenarnya sedekat apa Gasta dengan keluarga Ankara? Chiko tidak rela membiarkan Shani berduaan dengan Gasta. Chiko ingin memaksakan kehendaknya pada Shani, tapi Chiko sadar jika itu akan membuat Shani malah akan semakin memandang buruk dirinya. Jadi haruskah ia mengalah dulu untuk sementara?
Chiko mengusap wajahnya dengan kasar. "Oke. Kabarin aku kalo kamu udah sampe, oke!" Chiko mengusap poni di dahi Shani.
"Jangan pernah lakuin ini lagi, karena ini yang terakhir kalinya aku ngebiarin dia nganter kamu." Chiko melirik sebentar ke arah Gasta yang memasang wajah santai.
Hati Shani sedikit menghangat dengan perlakuan lembut Chiko. Ia menganggukkan kepalanya mengiyakan perkataan Chiko. Sejujurnya ia ingin pulang dengan pria itu, tapi Shani sudah terlanjur meminta tolong Gasta untuk mengantarnya, dan ia merasa tidak enak hati jika harus menarik ucapannya.
.
Sesampainya di mansion Ankara, Shani segera mengirimkan pesan pada Chiko.
'Aku udah sampe'
Tidak sampai semenit pesannya itu sudah dibalas, sepertinya pemuda di seberang sana menunggu pesan Shani sejak tadi.
'Jangan lakuin kayak tadi lagi. Kamu bikin aku frustrasi Shan.'
'Frustrasi apanya, aku tadi pulang duluan karena ga mau ganggu waktu kamu sama Viola, kayaknya kamu tertarik sama dia.'
Chiko yang menerima pesan itu jadi bertambah frustrasi. la mengacak rambutnya menjadi berantakan. Kenapa Shani malah membawa nama Viola, sepertinya gadis itu salah paham. la langsung menekan tombol memanggil. Tak lama operator menyambung sambungan telepon yang langsung diterima Shani.
"Jangan sebut nama orang lain pas lagi bahas tentang kita. Aku nggak suka." Tegas Chiko.
"Kenapa? Padahal kamu keliatan salting pas liat dia." Shani mencebikkan bibirnya, jika Chiko melihat bibir yang mengerucut itu pasti dia sudah tidak bisa menahan diri.
"Ya ampun. Kamu cemburu Shan?" Suara tawa Chiko terdengar renyah di seberang telepon.
"Iya aku cemburu. Dasar nyebelin!!" Shani langsung menutup teleponnya secara sepihak. Ia yakin Chiko akan menggerutu karena panggilan telepon diputus mendadak. Terbukti layar ponselnya menampilkan panggilan suara dari Chiko. Shani mengabaikannya, biarkan saja pemuda itu tambah frustrasi pikir Shani.
***
Saat pagi tiba, Chiko menjemput Shani. Tidak biasanya, karena Shani biasanya diantar sopir ke kampus. Setelah pulang baru Chiko yang mengantarnya pulang. Karena perbedaan jadwal kelas mereka di pagi hari tidak sama.
Sudah bisa ditebak Chiko dibuat pusing tujuh keliling karena sejak sore hingga malam hari, Shani mengabaikan pesan dan panggilan telepon darinya.
"Kamu bener-bener ya, Shan. Tega banget diemin ribuan chat yang aku kirim." Chiko mencubit pipi Shani dengan gemas.
"Lebay. Lagian siapa suruh ngeselin." Pipi Shani merona.
"Baik tuan putri, hamba tidak akan membuat yang mulia merasa kesel lagi." Chiko membungkukkan badannya seperti penghormatan. Lalu ia mempersilahkan Shani masuk dengan tangannya seperti hamba yang sedang melayani tuan putrinya.
Shani tertawa dengan lepas. Rasanya sesak yang kemarin menyerang dadanya raib entah kemana.
***
tbc.
190423met mudik all!
KAMU SEDANG MEMBACA
THE EGO: A Miracle
Fanfictionmy third shanchik story. no desc, just read it. ⚠️B x G⚠️ ⚠️SHANCHIK AREA⚠️ yg gasuka 🚷Dilarang Masuk!🚷