Seme pembully vs Uke culun vs seme gentleman
Cerita tentang orang culun yang menjadi ganteng setelah bertemu tambatan hati yang baik. Sayangnya gara-gara glowing up, orang yang dulu suka membullynya malah mengejar-ngejarnya.
Catatan: author nulis u...
"Lan!" Panggil Ryan sambil memegang lenganku. Meskipun aku sudah mundur, dia menangkapku dengan cepat. Apa yang harus kulakukan sekarang?
"Tolong lepaskan." Kataku menunduk. Mata cokelat Ryan terlalu menyilaukan, aku tidak sanggup melihatnya.
"Apa lo masih marah? Gue mesti gimana biar lo ngga marah lagi?"
Siapa yang marah? Apa dia tidak sadar kalau dia yang perlu berhenti marah tanpa alasan?
Sayangnya aku cuma bisa menelan keluhanku karena tidak mau membuat perkara. Bagaimanapun aku tidak boleh memancing kekejaman dari orang ini. Aku masih mau menikmati ketenangan meskipun sedikit.
"Aku ngga marah. Tapi tolong berhenti menggangguku." Jawabku. Setelah jawaban itu, Ryan ternyata tidak protes dan melepaskan pegangan tangannya. Karena orang yang biasa semena-mena ini tumben mendengarkan, aku merasa sebagian ketakutanku berkurang. Akupun mengangkat wajah lagi untuk melihat ekspresi apa yang diperlihatkan Ryan.
Ekspresi Ryan sebenarnya mengejutkan untukku. Dia terlihat bingung dan agak cemas. Di samping dua emosi itu, aku juga melihatnya menatapku dengan cara yang berbeda. Aku tidak paham apa yang ada di balik cara pandang itu namun aku merasa dia tidak lagi punya keinginan kejam.
Karena Ryan terlihat berbeda, aku memberanikan diri untuk bicara lebih banyak. "Tolong beri jalan, aku mau duduk." Kataku.
Jika ini adalah Ryan yang sebelumnya, dia akan menunjuk-nunjuk keningku dan mengatakan kalau aku tidak sopan. Namun, Ryan sepertinya memang sudah berbeda. Hari ini dia minggir sesuai permintaan dan tidak banyak bicara ketus. Apa dia serius minta maaf seperti yang dikatakan sebelumnya? Keajaiban ini sulit kupercaya.
Akan tetapi, aku tidak punya waktu untuk memikirkan perbedaan yang muncul itu. Aku perlu berjalan ke mejaku dan membaca materi yang sebelumnya aku tinggalkan. Ketika guru datang, aku juga perlu mencari tahu jika ada PR yang belum aku kerjakan karena absen selama tiga hari.
Ketika aku melangkah melewati Ryan, seluruh pasang mata di kelas itu menoleh ke arahku. Pandangan mereka begitu tajam sehingga aku merasa seperti makhluk langka yang sedang dipamerkan. Takut akan pandangan itu, aku berjalan lebih cepat ke tempat dudukku tanpa melihat ke arah semua mata yang sedang memperhatikan.
Setelah berhasil duduk, perhatian dari sekitarku belum selesai juga. Sinta dan beberapa temannya tiba-tiba mengerumuniku dengan senyum yang terlihat aneh. Senyum itu mungkin terlihat aneh karena mereka tidak pernah tersenyum padaku.
"Kamu anak baru ya? Namanya siapa? Kamu mirip deh sama Allan." Tanya Sinta yang duduk di depanku. Dia menunjukkan fotoku yang sedang mengenalkan menu.
Well, aku memang Allan. Tapi aku bukan anak baru.
Sayangnya aku belum sempat menyahuti pertanyaan cewek ini ketika Dimas tertawa duluan. "Ternyata bukan gue doang yang linglung. Dia temen sekelas kita geblek!"
"Siapa? Gue ngga pernah lihat dia." Kata Sinta tidak percaya.
Bersamaan dengan Sinta yang bingung, teman-teman sekelasku yang lain juga terlihat bertanya-tanya. Mereka mulai berbisik satu sama lain dan bisikan itu membuat kelas agak ramai.
Aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapi keingintahuan mereka. Kelihatannya kontras penampilanku memang membuatku tidak bisa dikenali. Apa yang harus aku katakan untuk memberitahu kalau aku adalah Si Cupu yang selama ini mereka jadikan pesuruh kelas ini? Di satu sisi aku tidak mau mereka menjadikanku pesuruh lagi dan membiarkan mereka tidak mengenaliku selamanya. Namun, itu tidak mungkin terjadi. Mereka akan tahu. Dan benar saja. Tak perlu menunggu lama, seseorang memberikan mereka pencerahan.
"Dia Fadlan." Kata Ryan menjawab pertanyaan yang muncul.
Dalam sekejap kelas menjadi hening setelah mendengar dua kata itu. Sebagian orang termasuk Sinta terlihat terkejut. Mereka kembali menatapku dengan pandangan tajam. Wajah mereka menunjukkan rasa tidak percaya dan syok.
Aku bisa memahami syok itu. Aku yang hanya bisa melihat jelas wajahku ketika mengenakan kacamata juga syok ketika melihat wajah tanpa kacamataku untuk pertama kali. Kacamata baru ini tidak banyak menutupi wajahku sehingga wajar kalau mereka menatapku tidak percaya.
"Apa lo bener Si Cupu?" Tanya Sinta yang terlihat seperti melihat kehancuran dunia di depan matanya. Ekspresinya membuatku merasa kasihan tapi aku harus menjawab jujur.
"Iya." Kataku singkat. Setelah diberi penegasan, Sinta langsung berdiri kemudian melangkah cepat keluar kelas. Dia terlihat tidak bisa menerima kenyataan. Setelah itu beberapa temannya mengikuti.
Yang lain menatapku horor tapi tidak banyak bicara setelah itu. Beberapa menyerukan rasa tidak percaya mereka namun cepat berhenti. Meskipun berhenti, mereka masih mengintip ke arahku kemudian berbisik dengan teman di dekat mereka. Aku tidak mau tahu apa yang mereka bicarakan dan kembali pada bukuku.
Di tengah keterkejutan teman-teman sekelasku, Ethan masuk kelas membawa beberapa kantung plastik. Begitu sampai, dia menyerahkan belanjaannya pada Ryan dan yang lainnya. Pemandangan itu begitu familiar dan menusuk perasaanku. Ketika aku tidak ada ternyata Ethan yang menjadi sasaran pengganti. Mungkin aku seharusnya tidak melarikan diri.
Karena merasa bersalah, aku membantu Ethan membagikan belanjaannya. "Ini punya siapa aja?" Tanyaku setelah mengambil dua kantung.
"Itu punya Sinta sama Lina." Jawab Ethan. Akupun meletakkan dua kantung itu di meja dua cewek itu.
"Than, jus melon gue mana?" Tanya Ryan dengan gaya angkuhnya. Melihat gaya itu, aku merasa melihat Ryan yang asli. Ryan yang tadi mendengarkan jadi terasa seperti orang lain.
Pertanyaan Ryan itu membuat Ethan panik. "Tadi lo ngga minta." Katanya.
"Jadi lo nuduh gue pikun?" Tanya Ryan emosi.
Urgh, sikap temperamental ini! Aku salah besar ketika berpikir kalau Ryan sudah berubah. Orang ini tidak berubah sama sekali. Dia cuma melampiaskan kedongkolannya pada orang lain.
Ethan yang harus menghadapi Ryan yang marah tanpa alasan, akhirnya minta maaf. "Sorry. Tunggu bentar! Gue beliin sekarang." Kata Ethan sambil berjalan cepat untuk keluar.
Sayangnya Ryan malah menarik kerah baju Ethan dari belakang sehingga Ethan terjatuh. "Ngga usah! Gue udah kesal dan ngga mood lagi." Gerutu Ryan sambil menendang kaki Ethan yang berusaha bangun.
Melihat sikap Ryan itu, aku terbakar amarah. Selama ini hal itulah yang aku terima dan Ethan satu-satunya yang mau meringankan bebanku. Bukan hal yang menyenangkan melihat orang yang selama ini membantuku malah diperlakukan seperti ini. Mengingat Ryan yang sebelumnya sempat meminta maaf namun tidak berubah sama sekali, ketakutanku menguap dan amarahku makin besar.
Aku melangkah ke arah Ethan dan membantunya berdiri. Ketika aku berada di dekat Ethan, Ryan berhenti menggunakan kakinya sehingga Ethan bisa berdiri tanpa terganggu.
"Thanks." Kata Ethan.
"Ngga apa-apa." Jawabku.
Setelah menjawab, aku menoleh ke arah Ryan. Saat itu amarahku sepertinya membuatku tidak berpikir waras. Entah darimana aku mendapat keberanian untuk berhadapan dengan orang keji ini, yang jelas aku menumpahkan kekesalanku pada Ryan tanpa peduli bagaimana reaksinya nanti.
"Inilah alasan kenapa aku ngga akan bisa memaafkanmu. Kamu ngga pernah berubah dan kelakuanmu tetap aja jahat. Sampai kapan kamu mau memperlakukan orang lain dengan tidak manusiawi seperti ini? Apa kamu ngga punya hati nurani? Kamu tahu ngga gimana sakitnya diperlakukan seperti budak? Orang brengsek sepertimu seharusnya ngga ada di dunia ini." Kataku jengkel.
Selesai mengatakan itu, amarahku lenyap dan logika mulai masuk ke kepalaku lagi. Ketika logikaku kembali muncul, barulah aku merasa takut. Pipiku terasa dingin dan aku yakin wajahku sudah pucat ketika Ryan memfokuskan pandangannya ke arahku.
***
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.