Part 18. Fakta

5.7K 331 24
                                    

“Berkumpul diantara keluarga yang begitu saling menyayangi, membuat hatinya menginginkan hal itu. Meski tahu, itu sangat mustahil”

-Alifah Kaina Syahira-

°°°

"Permisi, umi, ada tamu katanya mau bertemu sama mbak Alifah," ucap santri putri itu mendatangi umi Fatimah yang berada di dapur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Permisi, umi, ada tamu katanya mau bertemu sama mbak Alifah," ucap santri putri itu mendatangi umi Fatimah yang berada di dapur.

Kening umi Fatimah berkerut, bingung. "Siapa, mbak? Keluarganya Alifah?" tanyanya pada santri putri tersebut.

"Iya umi, katanya temannya mbak Alifah dan keluarganya datang ke sini."

Umi Fatimah mengangguk paham. "Oh ya sudah, di suruh masuk ya, mbak. Dan Alifah minta tolong panggilkan juga."

Santri putri itu mengangguk kecil, lalu meninggalkan tempat dapur yang saat ini umi Fatimah sedang memasak. Seperginya santri putri tadi, umi Fatimah lantas mematikan kompor dan menyudahkan masaknya untuk menyambut tamu yang datang.

Sementara di asrama putri, jam sembilan pagi, Alifah mengikuti kegiatan bersama-sama para santri. Hingga salah satu santri putri mengatakan jika ada tamu yang datang ingin bertemu dengannya. Alifah sedikit kebingungan, namun seperkian detik senyum kecil terukir di bibirnya saat mengingat kemarin ia menghubungi Zahra.

Di rumah ndalem utama, umi Fatimah menyambut hangat tamu tersebut, dan mempersilahkan mereka untuk masuk. Bunda Nisa serta Zahra menyunggingkan senyum kecil saat sudah berada di pesantren Raudlatul Jannah. Bunda Nisa sedikit mengingat pernah melihat wajah umi Fatimah, seperti ia pernah bertemu dengan umi Fatimah di masa lalu. Begitu pula, yang dirasakan umi Fatimah saat ini.

"Maaf, sebelumnya, apa anda mbak Fatim?" bunda Nisa memberanikan diri untuk bertanya langsung, meski sedikit tidak sopan.

Umi Fatimah mengangguk kecil, ada sedikit keraguan. Bunda Nisa tersenyum simpul melihat anggukan dari umi Fatimah.

"Saya Anisa, apa mbak Fatim, ingat?"

Diam. Umi Fatimah mencoba mengingat nama tersebut.

"Anisa, temannya Lia?" Umi Fatimah bertanya memastikan.

"Iya, Dahlia teman masa kecil saya."

Bola mata umi Fatimah melebar, terkejut, dengan fakta yang ada di hadapannya. Umi Fatimah masih sangat ingat nama Dahlia sampai saat ini. Entah ini sebuah kebetulan yang nyata atau takdir yang memang telah Allah tentukan?.

Sementara Zahra hanya menyimak pembicaraan orang-orang dewasa. Keningnya berkerut, saat sang bunda seperti mengenal umi Fatimah. Sesaat itu, bersamaan umi Fatimah ingin bicara, sosok gadis berdiri di ambang pintu yang terbuka dengan berucap salam.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Alifah.."

Zahra sontak berdiri dan berhamburan memeluk sahabatnya sangat erat. Senyum Alifah mengembang dengan mata berkaca-kaca, membalas pelukan dari sosok sahabatnya. Sedangkan bunda Nisa sedikit menyeka bulir bening yang tiba-tiba jatuh melihat Alifah yang sudah baik-baik saja.

Takdir Sang Ilahi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang