Langkah Widi tergesa-gesa keluar rumah. Di seberang jalan terlihat seorang pria sedang merokok dan duduk di atas kap mobilnya. Ia menoleh saat mendengar langkah kaki Widi yang begitu cepat seperti hendak menagih utang. Cahaya lampu jalan menunjukkan bahwa pria yang sedang merokok itu adalah Ezra. Widi geram sekali melihat senyum tak berdosa dari Ezra.
Setelah sekian lama menyiksaku dengan silent treatment, kamu masih bisa senyum begitu, Zra? Keterlaluan! – Widi
“Aku pikir kamu sudah tidur,” ucap Ezra sebagai pengganti kata hai.
“Aku pikir kamu sudah mati,” sahut Widi dengan ketusnya.
Ezra tersenyum menanggapi ucapan Widi. “Kamu pasti bakal sedih kalau aku mati.”
“Kamu ....” Widi kehabisan kata-kata. “Kenapa kamu enggak datang ke rumah saja?”
“Aku takut dengan William.” Ezra menunjuk ke arah jendela rumah Widi. Keduanya melihat William berdiri di sana. “Selain itu aku juga tahu kalau kamu pasti marah padaku gara-gara M.I.A.”
“Jelaslah, Zra! Tiga minggu kamu menghilang!”
“Kita jalan-jalan, yuk,” ajak Ezra tanpa memedulikan Widi yang amarahnya sudah naik ke ubun-ubun. Ia turun dari kap mobil dan menekan ujung rokok yang menyala ke atas aspal. Masih sisa setengah batang, ia simpan lagi ke dalam kotak rokok. “Kamu ikut, kan?”
Apakah ini kesempatan yang bagus untuk mengakhiri semuanya? – Widi
Widi merogoh sakunya. Dompet dan ponselnya ada di sana. Kemudian ia mengangguk.
“Asyik! Ayo! Berangkat!”
Ezra terlihat begitu riang. Ia berlari masuk ke dalam mobil. Widi menoleh ke arah jendela rumah, William masih berdiri di sana.
Sorry, Will. – Widi
Kedua pria itu berkeliling kota menggunakan mobil. Sepanjang jalan Ezra bercerita tentang kesibukannya di Indonesia. Banyak alasan yang menyebabkan ia tak bisa mengabari Widi.
“Please, jangan marah.” Lengan Ezra terulur untuk menyentuh rambut Widi. Kemudian turun untuk membelai rahangnya. Widi sudah mulai panas dingin dibuatnya.
“Stop!” Widi langsung melengos.
Mobil mereka berhenti di lampu merah. Widi memalingkan tatapannya ke luar jendela mobil. Lampu-lampu kota berwarna-warni, kelap-kelip menarik hati. Terlihat begitu meriah. Ia merasakan tangan Ezra menyentuh rambutnya lagi.
“Zra, sudah.”
“Hei, lihat aku,” pinta Ezra. Ketika Widi menatapnya, pria itu langsung tersenyum. “Aku salah. Aku janji enggak akan begitu lagi.”
“Tapi kamu memang suka menghilang tiba-tiba. Enggak pamit, enggak ada pesan.”
Sudah berkali-kali Ezra meninggalkan Widi tanpa kabar. Seringnya setelah marah pada Widi, dia akan kabur. Tapi yang paling Widi ingat adalah saat Ezra memilih kabur dari rumahnya karena hendak menikahi Rubiyah. Ketika Widi mengejarnya, Ezra dengan tega menutup pintu mobil dengan cepat. Kalau bukan karena Jon yang menarik tangan Widi, tangan Widi pasti terluka karena terjepit pintu mobil.
Wajah Widi berubah sangat sedih. Ia berkata, “Aku ingin kita berakhir di sini.”
Sesuatu dalam diri Ezra meledak. Ia menatap Widi dengan tak percaya. Meskipun sudah berulang kali percaya kalau hal ini akan terjadi, Ezra masih saja sangat terkejut saat Widi mengatakannya. Ia pikir hubungannya akan langgeng bersama lelaki mungil itu.
Ezra hendak bertanya kenapa Widi mengatakan hal itu. Namun, ia gagal saking marahnya. Setiap pertanyaan gagal keluar dari bibirnya. “Begini lagi!”
“Kita enggak bisa menyatu, Zra. Terlalu banyak hal yang bakal bikin jalan kita lebih berat! Semua itu dari masa lalu kamu!”
“Oh. Masa laluku lagi, ya?” Ezra menyetir lagi ketika lampu sudah hijau. “Setiap kamu bawa nama Jon ke dalam pembicaraan kita, aku enggak pernah komplain. Apa kamu enggak bisa melakukan hal yang sama? Jangan ingat lagi masa laluku.”
“You raped him, Zra! You were drunk! You did it!” Berat rasanya harus mengungkapkan semua pada Ezra. “Aku enggak bisa untuk pura-pura enggak tahu. Aku enggak mau kehilangan William demi bisa bersama kamu. Aku lihat bagaimana Kenny kumat. Dan aku merasa bersalah pada anakmu karena hubungan kita.”
“Kamu hanya takut. Kita bisa hadapi dunia bersama.”
“Aku bisa hadapi semua orang di dunia. Tapi aku enggak bisa hadapi William yang marah padaku.”
“William hanya alasan agar kamu bisa pergi.”
“Jadi kamu mau tahu yang sebenarnya?”
Ezra menambah kecepatan mobilnya. Mereka sudah masuk ke jalan bebas hambatan.
“Aku mencintaimu. Tapi aku enggak merasa kamu orang yang tepat untukku. Rasa yakin di hatiku datang dan pergi, aku capek, Zra. Sekuat apa pun aku mencoba yakin, selalu ada hal yang bikin aku kecewa.” Widi duduk lemas di kursi. Ia melihat ke jalan di depannya. Dalam kecepatan tinggi, mobil ini masih bisa menyalip kendaraan lain dengan lancar. Raut wajah Ezra semakin tegang, ia terus menambah kecepatan mobilnya. “Jangan gila, Zra! Kalau enggak ditahan polisi gara-gara ngebut, kita bisa kecelakaan!”
“Terserah.”
Ponsel Ezra yang ada di kursi belakang berdering. Widi kira itu akan mengalihkan perhatian Ezra sehingga pria itu menurunkan kecepatan mobilnya. Ponsel itu cukup lama berdering. Widi mencoba membaca nama penelepon.
“Widuri telepon kamu, tuh!”
“Diam, Widi! Diam!” bentak Ezra pada pria di sampingnya.
“Sialan!” balas Widi. Lelaki mungil itu tak mau mati sia-sia di dalam mobil. Sebuah ide terlintas dalam benaknya.
“Kamu mau ngapain?” tanya Ezra saat melihat Widi melepas sabuk pengaman dan mulai merangkak ke kursi belakang. “Widi bahaya!”
“Terserah,” sahut Widi. Dengan susah payah ia mencoba meraih ponsel Ezra.
“Jangan diangkat!” Ezra segera menepikan mobil dengan cepat.
Perpindahan jalur yang berlangsung cepat membuat Widi oleng dan jatuh. Ponsel itu masuk ke bawah kursi. Tangan Widi meraba-raba demi mendapatkan ponsel yang masih berdering.
Mobil sudah berhenti total. Ezra melepas sabuk pengaman, ketika menoleh ke belakang, Widi sudah menjawab panggilan dari Widuri.
“Tolong aku!” pekik Widi.
Dengan cepat Ezra pindah ke kursi belakang, menyambar ponsel itu dan mematikan panggilan dari sang putri. Ia melempar ponselnya ke dashboard.
“Sudah aku bilang jangan angkat teleponnya!” Pria itu mulai marah. “Kenapa kau sangat keras kepala?”
Suara Ezra memekakkan telinga. Widi dalam posisi sulit. Ia terbaring di antara kursi depan dan belakang mobil, Ezra duduk di atas tubuhnya. Ia mulai menunduk seperti hendak mengecup bibir pipi Widi.
“Kalau begini, aku jadi ingin membunuhmu,” ucap Ezra dengan nada suram. Ia duduk tegak kembali. Wajah Widi yang terlihat ketakutan sama sekali tidak membuatnya iba. “Maafkan aku.”
Ezra mengambil seutas tali dari sebuah tas yang tergeletak di kursi belakang.
“Gila kamu! Heh! Ngapain?!” Widi mulai panik.
“Sorry!” Ezra mengukur berapa panjang tali untuk menjerat leher Widi. “Aku janji, ini enggak akan membuatmu terlihat jelek saat mati.”
“Jangan gila!” Lelaki kecil itu memberontak. “Ezra!”
Widi kalau kuat dari Ezra. Dengan mudahnya Ezra memasangkan tali di sekitar leher Widi. Dengan susah payah Widi mencegah tali itu tak menempel langsung ke lehernya. Karena jika ia tak menahannya, ketika Ezra menarik kedua sisi tali itu, Widi akan mati tercekik.
“Sadar, woy!”
“Ini yang terbaik, Widi. Kau bisa bersama Jon lagi, dan aku tidak akan sakit hati melihatmu dengan orang lain.” Ezra langsung menarik simpul tali. Ketika tangan Widi menghalangi tali ke lehernya, dengan sangat kasar Ezra menarik tangan itu.
Jeratan itu terasa sangat menyakitkan bagi Widi. Ia tak tahu lagi berapa lama akan bertahan jika seperti ini.
Suara ketukan di kaca mobil menggagalkan aksi Ezra.
“Buka pintunya! Jika tidak, aku akan memecahkan kacanya dan menembak kepalamu!”
Ezra mengintip sosok di luar. Seorang pria berdiri sambil menempelkan ujung safety hammer dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanan memegang pistol. Moncong kedua benda itu menempel pada kaca mobil. Ezra memperhatikan sekeliling mobil, tak ada orang lain di sana. Hanya mobil berwarna-warni yang melaju cepat saja.
“Buka!”
“Oke!”
Ezra menekan tombol untuk membuka seluruh pintu mobil. Pintu terbuka dari luar. Ternyata pria di luar itu adalah Ronan. Dengan wajah sangat serius dan postur yang tegap, ia menodongkan pistol ke arah Ezra.
“Lepaskan BBFF-ku!”
Wis keren mirip John Wick, lha ngapa BBFF disebut juga? – Widi
BBFF itu apaan? – Ezra
“Lepaskan!” pekik Ronan lagi. “Itu. BBFF. Orang yang kau duduki itu!”
Ezra menyingkir dari tubuh Widi walaupun terlihat masih tidak mengerti arti singkatan yang Ronan ucapkan. Widi segera mengumpulkan barang-barang miliknya dan kabur bersama Ronan.
“Aku kira hanya Kenny yang gila, ternyata dia juga,” kata Ronan yang berjalan di samping Widi. Keduanya menuju mobil Ronan yang berhenti tak jauh dari sana. “Oh, ya. Begitu menerima pesan darimu, aku buru-buru mengejar mobil Ezra sampai lupa tidak pamit pada Nando.”
“Hm, ya. Maaf telah merepotkan. Terima kasih sudah datang untuk menyelamatkan aku.”
*
Kelas Widuri begitu hening gara-gara ujian yang akan dilaksanakan hari ini. Gadis itu mulai mengalihkan pandangan ke sekitar kelas, mencari sesuatu untuk menghibur matanya yang bosan melihat catatan pelajaran. Tentu saja pemandangan favoritnya adalah Kolya. Pemuda itu duduk di bangku belakang karena posturnya yang cukup tinggi.
“Hai, Wid,” sapa Caleb sambil melewati Widuri.
“Hai,” balas Widuri. Ia tak yakin jika Caleb mendengar balasannya karena lelaki itu melangkah cepat menuju Kolya.
“Apa ini?” seru Caleb sambil merebut sebuah kertas dari atas meja Kolya. “Astaga! Bukannya belajar, malah menggambar!”
“Kembalikan,” pinta Kolya.
“Tapi gambarmu bagus juga, lho.” Caleb menyingkir dan terus menatap hasil karya Kolya. Beberapa mahasiswa mengintip gambar Kolya.
“Kembalikan. Itu belum selesai.” Kolya beranjak dari duduknya.
“Bagus, kan?” Caleb mengangkat gambar Kolya agar mahasiswa yang lain bisa melihat.
Sebuah gambar gadis blonde bermata biru yang memakai mahkota bunga warna-warni dan beberapa kupu-kupu bersayap biru hinggap di sana. Gadis blonde itu adalah Sarah. Banyak pujian yang dilontarkan oleh mahasiswa lain membuat Kolya tersipu malu.
“Aku yakin kalau kau suka padanya. Kenapa kau tidak ungkapkan?”
“She’s a minor. Mungkin dua tahun lagi aku baru mengungkapkan perasaanku.” Kolya merebut gambar dari tangan Caleb.
Ucapan Kolya membuat Widuri cemburu. Ia mulai memikirkan cara untuk lebih dekat dengan pemuda itu.
Setelah kegiatan kampus selesai, Widuri minta ditemani Kolya untuk duduk di sebuah taman. Keduanya bicara banyak hal. Dari pembicaraan ini, Widuri sadar kalau Kolya adalah orang yang sulit jatuh cinta. Sejak remaja pemuda itu merasa bisa jatuh cinta pada siapa saja, yang penting orang itu punya faktor X.
Kolya sendiri tak tahu apa faktor X dari Sarah. “Banyak gadis yang lebih dari dia. Tapi dia memiliki sesuatu yang tidak ada pada orang lain.”
“Apa itu?”
“Entahlah. Aku sendiri masih mencari sampai sekarang.” Kolya menatap gelas kopinya.
“Menurutmu, jika kita jatuh cinta pada seseorang yang mencintai orang lain, lebih baik diteruskan atau tidak?”
“Jika yang kita cintai masih lajang, teruskan saja. Jika dia sudah berpasangan, lebih baik tinggalkan. Jika kita berani mengungkapkan perasaan padanya terlepas dari status asmara, risiko ditolak pasti ada.”
“Begitu, ya.”
“Hm. Aku rasa, aku mengerti kenapa kau membahas ini.”
Jantung Widuri berdetak kencang. “Apa?”
“Kau begitu perhatian padaku. Kau sering mengirimkan makanan ke kamarku melalui layanan pesan antar, walaupun tak ada namamu tercantum di sana. Awalnya, itu adalah misteri yang menyenangkan. Aku bersyukur sudah diperhatikan. Hanya saja ....” Pemuda itu menghela napas panjang. “Aku tak bisa menerimanya lagi. Seminggu bisa tiga kali makanan datang ke kamarku. Berlebihan. Pesan-pesan cinta di dalamnya, ya Tuhan, aku merasa tak pantas menerimanya.”
“Kenapa kau bicara seolah akulah pengirim makanan itu?”
“Ada dua paket makanan yang aku terima, dan nama pengirimnya belum dilepas. Namamu ada di sana.”
Wajah Widuri langsung merah. Rasanya ingin sekali menghilang dari bumi. Kolya tersenyum manis padanya.
“Tidak apa-apa. Jangan diulangi lagi, ya. Aku tak ingin merepotkanmu. Sudah. Hentikan.”
Gadis itu menunduk dalam.
“Tentang perasaanmu, hm, mungkin lain kali akan berbalas.”
Setelah kalimat Kolya berakhir, Widuri langsung beranjak dari tempat duduk dan pergi tanpa pamit. Ia sama sekali tidak mendengar langkah kaki yang menuju ke arahnya. Dalam hatinya menyebut Kolya sebagai pria yang tidak peka, kenapa dia tak bisa mengejarnya, sih? Seperti di film-film itu, lho.
Tapi ini bukan film. Widuri terus melangkah pergi. Sedangkan Kolya membeku menatapnya menjauh. Sampai akhirnya ia mendesah pasrah, menyesap minuman dalam genggaman, dan duduk bersandar dengan rasa menyesal.
Kejadian itu membuat Widuri nekat pergi ke apartemen Ezra meski sudah menjelang malam. Perjalanan terasa begitu dingin. Meskipun Kolya menolak dengan halus, rasanya tetap sakit.
Sesampainya di apartemen Ezra, Widuri cukup terkejut dengan kondisi di dalam sana. Koper Ezra masih terbuka. Lampu belum dinyalakan. Tampaknya Ezra sangat tergesa-gesa meninggalkan kediamannya hingga tak bisa merapikan dulu barang-barang yang berserakan.
Dengan sangat terpaksa, Widuri membereskan apartemen itu. Beberapa barang pribadi milik sang ayah membuatnya bertanya-tanya. Seperti pakaian dalam yang berwarna hijau neon, pelumas seks, dan kondom.
Apakah Yaya sedang punya kekasih? Atau iseng jajan aja? – Widuri
Untuk pakaian dalam warna hijau neon, Widuri tak yakin jika warna itu adalah selera Ezra. Tapi, ia tak mau berpikiran macam-macam. Ia menganggap bisa saja Ezra membeli benda itu hanya untuk menghibur pasangan di atas ranjang.
Waktu berlalu tanpa terasa. Apartemen Ezra sudah rapi dan Widuri duduk bosan di depan televisi sambil menikmati ayam goreng dari salah satu gerai makanan cepat saji. Berkali-kali ia mencoba menelepon Ezra, tapi tidak diangkat.
Ketika mendekati tengah malam, barulah teleponnya diangkat. Sayangnya, yang menjawab bukan Ezra, dan orang itu malah meminta tolong. Kemudian nomor telepon sang ayah tidak bisa dihubungi. Gadis itu mulai gelisah. Ia mencoba menelepon nomor ayahnya lagi.
Berjam-jam tak dapat kabar dari sang ayah membuat Widuri tak bisa tidur. Sambil meringkuk di atas sofa, ia harap sang ayah akan kembali secepatnya.
Pukul tiga pagi Ezra kembali ke apartemen. Perasaan negatif yang campur aduk terlihat dari ekspresi wajah yang tidak menyenangkan. Meskipun ia mencoba tersenyum pada sang putri, ia tak mampu menyembunyikan rasa tak nyaman di hatinya.
“Alhamdulillah, Yaya akhirnya pulang juga. Aku tunggu Yaya dari sore, lho.” Widuri memeluk Ezra. Tak ada aroma aneh di tubuhnya. Setidaknya ia tahu kalau Ezra tidak mabuk.
“Untuk apa kamu ke sini, Nak?” Ezra melepaskan pelukan putrinya dan segera menuju kulkas. Sebuah botol berisi air dingin diambilnya.
“Aku ingin bercerita. Perasaanku lagi enggak enak banget.”
“Oh.” Pria itu mengelap mulut dengan lengan bajunya. “Silakan cerita.”
Keduanya duduk di sofa. Widuri mulai menceritakan perasaannya tentang si cowok A, yang Ezra tebak itu adalah Kolya. Lalu perempuan pirang yang Widuri ceritakan pastilah Sarah. Tiba-tiba ia teringat lagi pada Widi, karena Sarah adalah anaknya Widi. Rasa kesal di hatinya menyala lagi. Wajahnya sangat tidak santai. Widuri merasa ada yang salah dengan ayahnya.
“Menurut Yaya aku harus bagaimana?”
“Hah?” Ezra yang tak mendengarkan putrinya bicara jadi bingung sendiri. Ia gelagapan. “Nanti kita sambung lagi, ya. Yaya capek banget.”
Lelaki itu langsung menuju kamarnya. Widuri yang sudah cerita panjang lebar merasa sakit hati dengan ulah Ezra. Rasanya tidak dihargai. Sial sekali hari ini. Ditolak oleh Kolya. Kemudian tidak dipedulikan oleh ayah sendiri.
“Hari ini Yaya aneh banget,” ujar Widuri. Ezra langsung berhenti melangkah. “Siapa lelaki yang angkat panggilanku? Kenapa dia meminta tolong?”
“Bukan siapa-siapa.”
*
17 April 2023Halo,
Apa kabar?
Apa puasamu lancar tahun ini?
Mau lebaran di mana, nih? Mudik enggak?
InsyaAllah Thor mau mudik ke Tegal. Doakan semoga tetap aman dan selamat sampai tujuan, ya. Buat kamu yang mudik atau hanya diam di kota sendiri, semoga lebaran ini kalian bahagia dan aman.
Terima kasih sudah membaca bab ini. Silakan vote dan tulis komentar di kolom yang ada.
Terima kasih.
See ya. 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
His Love 3 🌈
RomanceApakah kau akan terus mencintai seseorang yang punya masa lalu sangat buruk?