Part 30

8.4K 580 8
                                    

Satu hari yang damai berlalu di sekolah. Aku bisa menilai kalau hari ini adalah hari yang damai karena tidak ada kekasaran apapun yang kuterima selain pemaksaan Ryan tadi pagi. Berbagai ejekan yang sering datang juga tidak ada lagi. Kekuatan sebuah wajah yang menarik ternyata sebesar ini.

Ataukah malah sebaliknya? Wajah culunku mungkin lebih mencolok dan mampu mengundang banyak niat jahat.

Apapun itu, Bian sudah menang. Aku akan terus mengenakan kacamata hadiahnya.

Ketika sampai di rumah, aku melihat adikku sedang makan siang. Furqon sudah pulang terlebih dahulu karena tidak ada les wajib dari sekolah. Pipinya masih naik turun mengunyah makanannya.

"Kak, ayo makan! Hari ini lauknya enak." Kata Furqon bersemangat sambil melahap udang asam manis kesukaannya. Akupun ikut senang melihat semangat itu.

Setelah menerima bonus dari Bian, aku langsung menyerahkan semuanya pada ibuku. Sayangnya, esoknya uang itu malah dikembalikan lagi padaku setengahnya. "Kata ayah, ini punyamu. Pakai buat les atau beli buku. Setengahnya nanti ibu pakai buat lauk kamu sama adikmu." Kata ibuku.

Keputusan itu terasa agak menyedihkan buatku karena aku ingin mereka menggunakan semuanya agar beban mereka lebih ringan. Aku sendiri tidak perlu berbelanja di sekolah karena sudah sarapan di rumah. Kalaupun pulang agak siang, aku masih bisa menahan lapar. Namun, aku juga paham perangai ayahku. Yang ayahku inginkan adalah aku bersekolah setinggi mungkin, bukan mencari uang terlalu dini. Mungkin aku simpan saja dulu uangnya. Siapa tahu nanti ada kondisi darurat yang memerlukannya.

Pada kenyataannya, aku sebenarnya belum perlu uang buku dan belum ada les yang mau aku ikuti. Untuk buku, aku tinggal download dan print gratis di ruang komputer. Aku bahkan bisa menggunakan mesin fotocopy juga. Mungkin akan makan waktu tapi segala sesuatu yang bisa digunakan gratis harus dimanfaatkan. Untuk urusan les, ada banyak les online yang belum aku coba. Nanti aku akan mendownload videonya di sekolah dan menontonnya di rumah. Karena Ryan dan yang lain sepertinya berhenti menggangguku, aku juga sempat untuk meluangkan waktu memperdalam bahasa Inggris. Jadi, kekhawatiran ayah sebenarnya tidak perlu. Aku akan tetap berusaha.

Selesai mengganti pakaian, aku menyusul adikku untuk makan siang. Masakan ibuku terasa sangat enak, tidak kalah dengan masakan Om Revan. Aku menikmati makan siangku sepenuh hati sambil mendengarkan adikku yang mengeluh tentang salah seorang temannya yang mungkin akan pindah kota begitu lulus SMP.

Setelah sore, Bian menjemput seperti biasa. Begitu suara motor terdengar, aku langsung mengambil tas selempang kemudian membuka pintu. Di depan pintu reyot itu aku melihat Bian yang tersenyum ramah kemudian cerewet mempertanyakan bagaimana di sekolah hari ini.

"Kak, please jangan kayak ayahku!" Aku mulai menggerutu karena Bian bersikap seperti orang tua.

"Aku cuma penasaran." Jawabnya membela diri.

"Semuanya baik. Lebih baik daripada sebelumnya." Jawabku sambil tersenyum. Semuanya baik kecuali ekspresi Ryan yang seperti kehilangan harapan.

"Good!" Seru Bian kemudian melingkarkan tangan di pundakku. "Jumat ini mau nonton? Bentar lagi UTS jadi aku mau nge-date dulu biar semangat." Tambahnya.

UTS? Aku hampir lupa kalau pacarku ini masih mahasiswa. Sekarang karena Bian mengingatkanku, aku baru menyadari satu hal penting.

"Boleh." Jawabku atas ajakannya. Setelah mengiyakan, aku menanyakan yang lain. "Kak, gimana cara kakak belajar? Bukannya kakak sibuk sama restoran?" Tanyaku. Aku tidak pernah melihat bossku ini belajar.

"Aku belajar manajemen jadi aku bikin usaha sekalian belajar." Jawab Bian ringan.

"Bisa gitu?"

"Dibisa-bisain aja. Hahaha"

Tawa itu membuatku khawatir dan tidak percaya. Membaca ketidakpercayaan di wajahku, Bian berhenti tertawa dan memberi penjelasan.

"Lan, belajar dari buku itu rasanya pasti tapi ngga realistis. Belajar yang ngga ada di buku itu kayaknya terperca-perca tapi semuanya akan terkait satu sama lain. Aku bukan orang yang bisa belajar hal-hal yang cuma diceritakan tulisan. Aku perlu lihat dan mengerjakan langsung."

"Kakak pinter banget nyari pembenaran." Sahutku.

"Duh, kamu ngga percaya banget sama aku."

Kami melanjutkan obrolan kecil selama mengendarai motor. Bian yang terlihat selalu santai dan gembira ini membuatku ikut senang. Aku bisa melihat kalau dia selalu bekerja keras namun entah kenapa dia terlihat melewati semuanya dengan ringan. Paradoks itu sering membuatku penasaran.

"Kakak selalu aja santai." Kataku.

"Apa kelihatannya gitu? Aku bangun pagi-pagi dan baru selesai bekerja kalau udah malam lho! Jangan sembarangan!"

"Tapi kakak masih sempat menjemputku."

"Ini penting buat refreshing. Menjemputmu bikin aku senang makanya aku meluangkan waktu. Setelah ini aku akan semangat kerja lagi. Apalagi kalau nanti dikasi ciuman. Aku akan semakin semangat." Ujarnya.

Kode keras!

Ini jelas-jelas kode keras!

Pacarku ini tidak merayu dengan kalimat berbunga-bunga tapi sering menyelipkan hal-hal seperti ini di tengah obrolan santai, di saat yang tidak terduga. Kelihaian ini hanya bisa kubalas dengan helaan nafas kemudian memeluk lebih erat.

"Kakak banyak maunya." Keluhku. Bian tertawa kecil mendengarnya.

Sesampainya di restoran, kami berjalan beriringan menuju loker. Bian mengatakan kalau dia berencana mengadakan pemotongan jumlah menu. Itu dilakukan untuk meringankan pekerjaan Om Revan. Selama sebulan dia akan memonitor makanan dan minuman yang tidak banyak dipesan kemudian mempertimbangkan mana yang perlu dicabut.

"Kalau gitu aku akan merekomendasikan semua makanan kesukaanku." Kataku setelah mendengar rencana itu. Makanan yang aku suka tidak boleh menghilang dari menu! Aku akan memperjuangkannya.

"Itu curang buat menu yang lain!" Protes Bian.

"Aku ngga peduli." Balasku.

Kami baru menghentikan pembicaraan tidak penting kami begitu sampai di loker. Bian meletakkan jaketnya dan aku bersiap untuk mengganti pakaian. Namun, sebelum mengganti pakaian, ada satu hal yang perlu aku lakukan.

Ketika Bian menutup pintu lokernya, aku melingkarkan tangan di leher pacarku itu dan menariknya mendekat. Bian yang terkejut hanya menurut ketika aku membawanya menunduk kemudian mencium bibirnya. Ciuman yang aku lakukan terasa canggung. Meskipun begitu, aku harap Bian tidak menghinaku karena itu.

Bibir kami melekat hanya beberapa saat. Aku melepaskan bibir Bian setelah pipiku terasa panas dan mulai malu. Melihat senyum penuh makna Bian setelah ciuman kami, aku semakin malu.

"Biar kakak semangat." Kataku dengan suara rendah dan terbata-bata.

"Iya. Aku udah semangat banget." Jawab Bian dengan senyum makin lebar. "Kalau kamu kayak gini tiap hari, aku pasti cepat sukses." Tambahnya berlebihan.

"Apa hubungannya coba?"

"Sangat berhubungan."

Ekspresi lembut Bian seperti menyentuh hatiku. Kebahagiaan di wajah itulah yang selalu berhasil membuatku lupa akan kesulitan apapun. Aku takut kalau aku terlalu sombong, tapi aku melihat kalau di mata Bian aku seperti dunianya. Mudah-mudahan itu bukan hanya di pikiranku semata.

"Untung pacarku tercinta menghiburku hari ini. Sekarang aku bisa lebih kuat menghadapi masalah." Kata Bian seraya memelukku kemudian menenggelamkan wajahnya di pundakku.

"Ada masalah apa kak?"

"Masalah yang datang kalau tiba-tiba terkenal. Rumor-rumor buruk."

***

RYVAN 1 - Ugly Duckling Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang