Ketika aku tiba di rumah Jafar, Jafar dan ibunya sudah tidak ada. Mereka sudah pergi ke rumah sakit. Aku menekan bel rumah Jafar. Pintu dibuka oleh Kira, adik Jafar yang paling tua. Senyumnya menyambut kehadiranku.
"Kak Pram!" serunya, terliihat bersemangat. "Ayo, kak, masuk," ajaknya.
Kira adalah adik tertua Jafar, kelas delapan SMP. Karena tidak ada Jafar, kini ia yang bertugas menjaga adik-adiknya yang lebih kecil: Kilua dan Kirei. Kilua kelas empat SD, sementara Kirei baru berumur lima tahun. Aku sudah akrab dengan mereka. Mereka menganggapku kakak keduanya setelah Jafar. Jafar cemburu mengetahui hal itu.
"Kilua, Kirei! Ada Kak Pram!" panggil Kira ketika kami sampai di ruang keluarga.
Kilua segera meletakkan gadget yang digenggamnya. Ia berlari menghampiriku, memeluk kakiku. "Ini apa, Kak?" Ia melihat kantung plastik yang aku bawa dengan penasaran.
"Kak Pram bawa lego. Ayo, kita bangun markas tentara!" Aku menyerahkan kantung plastik itu padanya. Ia menerima dengan antusias.
Kilua duduk di karpet, langsung membuka container yang berisi lego. Dengan antusias ia mulai merakit satu persatu potongan-potongan lego itu.
"Kak Pram mau minum apa?" tawar Kira, inisiatifnya sebagai anak tertua saat ini.
"Air putih aja," jawabku, tidak mau merepotkannya.
Kira mengangguk paham, lalu pergi menuju dapur.
Kalau dengan anak kecil lain, aku tidak pernah bisa berinteraksi. Sama seperti perempuan yang merasa terintimidasi oleh wajah dan penampilanku, anak kecil pun begitu. Kebanyakan dari mereka akan menangis jika aku kontak mata dengan mereka. Namun adik-adik Jafar tidak begitu. Mereka selalu antusias tiap kali melihatku. Bahkan sejak pertemuan pertama kami, tidak ada dari mereka yang menangis atau memasang wajah takut. Maka dari itu aku merasa nyaman bersama mereka.
"Kirei kenapa?" tanyaku, baru menyadari bila sejak kedatanganku Kirei tidak bersuara sedikitpun. Ia duduk di sofa. Kepalanya menoleh pada vas bunga yang ada di meja kecil dekat sofa. Matanya mengarah pada bunga yang sudah layu itu, tetapi tatapannya kosong. Ia sedang melamun.
"Dari tadi kayak gitu terus sejak ibu pergi. Gak jelas," sahut Kilua yang masih sibuk merakit lego.
"Padahal udah dibilangin kalo ibu cuma periksa dan gak bakal kenapa-kenapa, tapi dia keliatan sedih banget," timpal Kira yang menghidangkan segelas air putih untukku.
Kira mengambil novel yang tergeletak di karpet. Ia mulai membacanya lagi yang mungkin terjeda karena kedatanganku.
Sama seperti aku dan kakakku yang mempunyai sifat berbeda, keempat saudara ini juga memiliki karakteristik yang beda. Pertama Jafar ... ya, Jafar. Sebagaimana aku mendekskripsikan dia di kisahku. Lalu Kira, ia anak perempuan yang suka membaca. Ia akan membaca apapun itu; komik, novel, majalah, buku pelajaran-semua dilahapnya. Tidak seperti Jafar yang memiliki outgoing personality, ia cenderung introver. Tenggelam dalam dunia bacaannya. Meskipun begitu ia anak yang perhatian. Kemudian Kilua, anak laki-laki yang suka merakit, membangun, atau menciptakan sesuatu. Dengan keahliannya itu, banyak yang mau berteman dengannya. Ia sedikit suka pamer akan kemampuannya itu.
Dan yang terakhir ada Kirei, anak perempuan bungsu yang menjadi kesayangan kakak-kakaknya. Karena masih kecil, belum terlalu terlihat bagaimana kepribadian aslinya. Tapi begitu terlihat adalah kesukaannya pada bunga.Aku ikut merakit lego bersama Kilua. Sesekali menoleh kepada Kirei. Ia masih belum bergerak dari posisinya. Apa ia baik-baik saja?
"Bunganya udah layu." Kirei akhirnya bersuara selepas sekian lama membisu.
Kami semua serempak kaget. Kira meletakkan novelnya, Kilua berhenti merakit lego sesaaat. Kami bertiga saling tukar pandang. Tentu saja bunganya sudah layu, kami semua dapat melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Silver ✔️
Teen Fiction[ semesta pertama ] Hidup telah menakdirkanku berada di posisi kedua sejak aku dilahirkan di dunia ini. Aku berpikir bahwa sekeras apapun aku berjuang, tempatku adalah di posisi kedua. Setinggi apapun langit, masih ada langit di atasnya yang jauh l...