HAPPY READING 😍🥰
•••JIKA hari-hari biasanya Noureen menunggu Supriyadi untuk bersiap, lain cerita dengan hari ini. Sebenarnya gadis itu sudah bangun sejak pukul tiga dini hari. Begitu melihat Supriyadi tertidur pulas di sebelahnya, ia berhati-hati menuruni ranjang, mengeluarkan pakaian dan keperluan mandi, lantas bergegas ke kamar mandi. Di jam-jam seperti ini memang tidak memungkinkan untuk ada tentara PETA yang sudah bangun. Biasanya mereka baru bangun ketika adzan subuh berkumandang, artinya pukul empat lebih dua puluh menit.
Hanya butuh waktu lima belas menit untuk Noureen selesai bersiap. Lengkap dengan seragam tentara PETA dan topi di kepalanya, gadis itu kembali memasuki kamar. Ia sungguh bersyukur Supriyadi mendapatkan kamar yang terletak di bagian ujung, dekat dengan dapur dan kamar mandi. Alhasil jika ia ingin buang air atau lainnya, gadis itu hanya perlu mengecek kondisi sekitar sebelum keluar kamar.
Bicara mengenai pakaian sehari-hari, sebenarnya sejak ia menyamar sebagai Shodancho Suryatmaja, Supriyadi sudah menyiapkan segalanya. Pemuda itu memberikan beberapa potong pakaian miliknya lengkap dengan peci hitam. Meski sedikit aneh saat pertama kali Noureen mengenakan peci, benda yang identik dengan laki-laki itu selalu digunakan Noureen setiap keluar kamar sesuai instruksi Supriyadi.
"Priyambodo."
Noureen terkejut melihat Supriyadi sudah berganti posisi menjadi duduk. Pemuda di depannya itu menoleh ketika ia menutup pintu.
"Kamu mandi gih, udah aku bikinin air hangat di dapur."
Supriyadi tidak menjawab. Ia hanya menatap Noureen selama beberapa detik. Bangkit dari posisinya, Supriyadi mengambil peralatan mandi dan seragamnya lantas meninggalkan kamar tanpa sepatah kata.
"Ada yang aneh. Aku bikin kesalahan?" monolog Noureen.
Menggeleng kecil, Noureen beranjak merapikan ranjang yang berantakan. Melipat payung dan meletakkan di tempat biasanya, dilanjutkan melipat dua selimut yang digunakan olehnya dan Supriyadi.
Tidak berselang lama, sang pemilik kamar kembali dengan tubuh dan wajah yang lebih segar. Pemuda itu menatap Noureen, seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun keraguan yang hinggap di benaknya membuat Supriyadi hanya berdiri, memandangi Noureen yang sedang bercermin di hadapannya.
"Kalau kamu mau ngomongin sesuatu, ngomong aja. Nggak usah ragu," ujar Noureen setelah membenarkan kerah seragamnya. Ia berbalik, menatap Supriyadi.
"Tentang kemarin malam ... " Supriyadi akhirnya buka mulut.
"Aku minta maaf. Tidak seharusnya aku merepotkanmu seperti itu," sambungnya.
Noureen tersenyum. "Kamu nggak perlu minta maaf gitu. Aku juga nggak ngerasa direpotin kok."
"Malah aku senang punya kesempatan nyanyi buat kamu," sambung gadis itu.
"Tapi dari mana kau mempelajari lagu seindah itu, Nona? Bung Suparyono mengajarimu?"
Noureen menggeleng. "Adalah, dua orang. Kamu nggak usah mikirin itu, bukan hal yang penting soalnya," alibi Noureen. Tidak mungkin sekali ia mengatakan lagu yang dipelajarinya milik band ternama Banda Neira.
Supriyadi menghela napas. "Baiklah." Ia kembali menatap Noureen. "Terima kasih, Nona. Kau sudah membuatku dapat tidur nyenyak kemarin malam. Saat kau menyanyi untukku, aku merasa ibuku berada bersamaku. Aku sungguh berterima kasih," ujarnya tulus.
Noureen tersenyum. "Sama-sama."
"Oh, ya. Hari ini setelah bertugas, kau bisa langsung tidur. Nanti malam, aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Jadi, kuharap kau tidak mengantuk saat kita pergi nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
KLANDESTIN ( SELESAI )
Fiksi Sejarah[Reboot cerita Clandestine, bisa dibaca terpisah. Alur cerita tidak saling berhubungan.] • klan·des·tin /adv/ secara rahasia; secara diam-diam. • Terkunci di perpustakaan sekolah saat membaca buku tentang seorang pejuang kemerdekaan membuat Noureen...