49. Give Me Your Forever

1K 107 5
                                    


(peringatan: m-preg, non ABO)

.

.

.


Membuka pintu kamar dengan hati-hati, Namjoon menutupnya kembali tak kalah perlahan. Sebisa mungkin tak menimbulkan suara berlebih yang akan mengganggu sosok lelaki di atas sofa dakron tunggal. Meringkuk tanpa suara, lutut ditekuk menempel dada, kepala dibenamkan di lipatan lengan. Bahu masih bergetar pilu, mencoba menenangkan batin dari sisa emosi yang meluap sejenak lalu.

Namjoon bukan sengaja meninggalkan suaminya melawan risau seorang diri. Dua putra mereka perlu ditidurkan lebih dulu agar tak bertanya-tanya maupun mencari ke mana ayah mereka.

Sebagai seorang carrier yang mempunyai keistimewaan di luar nalar, ada kalanya Seokjin gamang mengenai keputusan takdir pemilik alam. Bukannya tidak mensyukuri karunia semesta yang telah memberinya kebahagiaan luar biasa, tapi apa yang harus dilakukan jika titipan tersebut tiba silih berganti tanpa prediksi?

Junghwa baru berusia satu tahun kala adiknya, Hyeonggi, hadir ke dunia. Dan belum genap delapan bulan bungsunya menghirup udara fana, Seokjin harus menerima kenyataan bila perubahan suasana hati selama tiga minggu terakhir ini bukanlah persoalan sepele. Lima alat tes yang dibawakan kakak iparnya telah dicoba dan semua menunjukkan hasil serupa. Sentimen yang dipendam berhari-hari, seketika meledak tanpa bisa dicegah. Memaksanya meraung frustasi hampir satu jam di dalam bilik mandi sebelum Namjoon tiba dan mendekapnya beriring tanda tanya.

Kini isaknya tak lagi terdengar kendati tubuh menolak bergerak, terpekur mencengkeram siku dan lutut dalam balutan piyama yang dipakaikan sang suami. Namjoon melangkah menghampiri, lantas bersila di lantai sambil memandang pasangannya penuh kasih.

"Seokjin—"

"Maaf."

Entah bertujuan sebagai tanda segan akibat posisi duduk yang lebih tinggi atau karena hal lain, Namjoon beranjak mengibaskan kepala seraya beralih menyentuh telapak kaki suaminya.

"Hei," gumam lelaki itu, "Lihat aku."

Tak ada respon.

"Seokjin."

"Maaf, Namjoon," didengarnya pria itu bergumam, tercekat dan tertahan. Samar isaknya gagal disembunyikan.

"Maafkan aku."

"Kenapa harus ada permintaan maaf untuk sebuah kabar baik, lelakiku tercinta?" Namjoon berujar amat hangat, diejanya agak lambat supaya Seokjin benar-benar mencermati tiap perkataan seperti azimat, "Atau kamu keberatan menerima seorang anak lagi?"

"AKU TIDAK! DEMI TUHAN, AKU TIDAK!" kepala Seokjin terangkat menampakkan mimik sembab beserta pipi yang membengkak, "Justru aku memikirkan bagaimana harus bersikap di depanmu yang harus bekerja lebih keras. Semenjak Junghwa lahir hingga datangnya Hyeonggi tahun ini, kamulah yang mengambil peran sebagai ayah sekaligus ibu. Begitu totalitas sampai rela melepas jabatan sebagai manajer agar lebih fokus merawat anak-anak selagi kutinggal bekerja di luar rumah."

Kemudian Namjoon tersenyum, dijulurkannya satu lengan untuk mengusap bekas basah di bagian bawah mata Seokjin memakai ibu jari. Bahkan dalam naung murung sekalipun, suaminya tetap terlihat elok tanpa ampun.

"Kalau kamu bilang itu bukan hal besar karena sudah mendapat pekerjaan lain secara daring, aku akan menggigitmu..." Seokjin berucap kuatir, lutut diremas gemas sebab lelaki itu sama sekali tak terpengaruh oleh amarah, "Di dalam perutku sedang tumbuh satu janin baru, dan itu berarti aku akan menyerahkan tugas lain di saat kamu sibuk mengurus dua bocah berikut Kim Seokjin."

"Lantas?"

"Namjoon—" tampik suaminya, napas berhembus kasar, terlihat benar-benar gusar, "Ini terlalu cepat. Kita sudah rutin memakai pengaman, patuh pada anjuran dokter, memantau masa subur, bahkan..."

Ibu jari Namjoon bergeser menyeka bibirnya, memberi geleng sekilas sambil mengelus permukaan wajah tak bercela tersebut. Memberinya gestur menenangkan, pun berisyarat agar Seokjin berhenti menyalahkan kuasa Tuhan.

"Selama suamiku tak keberatan, aku tidak akan memberikan penolakan," selorohnya, menjamin kepastian. Lengan menjalar turun untuk meraih tangan Seokjin dalam sebuah genggaman. Kepala menengadah lurus, berusaha agar tatapan mereka tetap beradu.

"Dua, tiga, atau lima anak sekalipun, aku siap bertanggung jawab dengan merawat mereka sepanjang usia. Jangan mencemaskan rasa lelah atau meragukan kemampuanku mengontrol keadaan, dan jangan pernah berpikir untuk melepaskan karir idamanmu hanya karena kuatir aku tak sanggup mengasuh anak-anak kita di waktu yang sama."

"Tapi kamu bisa sakit, sayang," Seokjin meremas kaitan jarinya, tak rela, "Aku tak bisa melihatmu tumbang. Kamu sumber energi dan matahari hidupku. Bahkan dengan dua bayi di gendongan, kamu tak pernah mau membangunkanku yang terlanjur nyenyak sepulang kerja. Seorang diri meracik susu, bubur, sarapan, juga memandikan mereka begitu aku terbangun."

Namjoon balas memandangnya dan Seokjin seolah tak sanggup menepis haru. Air matanya jatuh tanpa disadari, membuatnya tergagap seraya meremas jemari Namjoon lebih kuat lagi.

"Maafkan aku," bisiknya, menyusut pucuk hidung dengan serak, "Sungguh, maafkan aku."

Kali ini Namjoon tak ingin menyela maupun meralat kalimat itu, kendati senyumnya makin meninggi ketika menerima gerut erat di ruas-ruas jari. Paham seperti apa Seokjin saat dikuasai emosi, juga hapal seperti apa tabiat prianya yang tak lihai mengontrol suasana hati. Si cantik, sosok pujaan sejak pandangan pertama, juga satu-satunya pria yang mampu membuat Namjoon berlutut dan menyerahkan dunia hanya untuknya.

"Ingat apa yang kuucapkan padamu ketika kita berikrar di depan pendeta?" tandasnya, lugas. Menjulurkan jari demi mengangkat dagu Seokjin agar tak terus menunduk. Ditariknya genggaman tangan dalam dekapan dada, meminta Seokjin merasakan debar hasratnya yang selalu sama.

"Aku bersumpah untuk setia, menerima kelebihan dan mengisi kekuranganmu tanpa mengeluh. Kendati menurutmu aku pihak yang paling bekerja keras, tapi segalanya tak bisa dibandingkan dengan perjuanganmu menjaga titipan semesta hingga mampu melihat dunia. Berbulan-bulan, menyita waktu serta menguras tenagamu yang harus menopang jiwa lain di dalam tubuh. Andai peran kita bertukar, percayalah, aku tak akan bisa," Namjoon mengaku, kepala digelengkan penuh takjub, "Tak akan bisa."

Mengulum bibirnya yang tertoreh air mata, Seokjin menunduk dengan tubuh bergetar hebat. Dahi beradu lembut saat Namjoon menarik tengkuk mendekat, saling memejamkan mata dengan napas hangat meniup permukaan wajah.

"Dengan segala penderitaan, perjuangan, berikut kesabarannya melindungi buah cinta kami, tak pantas jika suamiku meminta maaf pada lelaki yang tak sesempurna dirinya," tukas Namjoon lagi, terselip gelak rendah di antara kalimatnya, "Dan seandainya ada yang harus diucapkan untuk menyambut kabar luar biasa darinya, itu adalah aku yang berterima kasih tak terhingga."

"Namjoon—"

"Terima kasih, Seokjin-ah," ulang Namjoon, lebih tegas dan jelas di telinga, "Terima kasih telah menjadi ayah dari anak-anak kita, terima kasih atas kesediaan mendampingiku hingga menua, dan menyerahkan masa depanmu untuk kujaga."

Tubuh yang bergegas memeluknya dengan kepala terbenam di lekuk leher, merupakan jawaban telak yang membuat Namjoon tersenyum lega. Kedua lengan merengkuh hati-hati saat Seokjin beringsut turun dari sofa, lantas balas mendekap pria itu dalam posisi bersila. Erat, diikuti kecup lembut di pelipis dan pipinya.

"Thank you, for giving me your forever" Namjoon mengakhiri, "Dan jangan pernah lelah mencintai lelaki ini."

"I won't. Silly."

Kemudian Seokjin tertawa, dan Namjoon beranjak mengeratkan pelukannya dengan senyum tersungging bahagia.

.

.


SHENMEI | AESTHETIC (NamJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang