Prolog

60 21 39
                                    


"Selamat ulang tahun..."

"Selamat ulang tahun..."

"Selamat ulang tahun Tiga dan Empat... Semoga panjang umur..."

"Yeay! Make a wish dulu dong!" Wanita paruh baya yang memegang kue itu tersenyum sangat lebar sembari menatap kedua anak kembarnya yang sedang berulang tahun.

Setelah make a wish, Tiga dan Empat —sepasang saudara kembar tak identik, Tiga adalah laki laki dan Empat adalah perempuan— mereka meniup lilin berbentuk angka 5 itu bersamaan.

"Yeay!!" Tiga, Empat, juga Satu —kakak perempuan tertua mereka— bertepuk tangan dengan riah.

Wanita paruh baya itu kemudian meletakkan kue yang tadi dipegangnya diatas sebuah meja. "Ah, Ibu lupa bawa pisaunya! Ibu ambil pisau dulu yah?"

Tiga dan Empat mengangguk ria dengan ekspresi yang sangat lucu.

Ketika Ibu mereka —wanita paruh baya itu— telah pergi, Empat kemudian menanyakan Dua, kakaknya yang dari tadi hanya diam dan terlihat pucat, matanya juga sangatlah bengkak.

"Kak Dua kenapa? Kak Dua ga seneng kita ulang tahun?" Tanya Empat sambil melipat kedua tangannya didepan dadanya.

Dua menelan ludahnya sendiri. "Bu-bukan begitu.."

"Terus? Kenapa kamu pucat sekali?" Satu sebagai saudara kembar identiknya juga menempelkan punggung tangannya pada dahi Dua.

Ya, mereka kembar berpasangan.

Satu dan dua adalah kembar identik.

Sedangkan Tiga dan Empat kembar tak identik.

"Itu... Hiks." Tiba tiba saja Dua menangis, tubuhnya bergetar hebat.

"Bapak..."

"Bapak masih kerja di luar kota buat kita, Dua! Nanti juga bapak pasti kembali, kok! Jangan sedih ya!" Satu mencoba untuk membujuk Dua yang sedang menangis hebat sambil mengelus elus pundak kembarannya.

Namun Dua menggeleng sambil menolak pelan. "Enggak... Bapak —bapak ga kerja."

"Bapak lagi kerja! Kan ibu yang bilang gitu!"

"Loh, Dua kenapa nangis?" Ternyata wanita paruh baya itu telah kembali sembari membawa sebuah pisau.

Satu sebagai anak tertua mencoba untuk memperbaiki keadaan, walau umurnya masih 7 tahun tapi dia sudah sangat andal dalam mengontrol emosinya.

"Gapapa kok, Bu. Dua lagi kangen bapak aja!"

Mendengar itu, Adena —Ibu mereka—  tersenyum sangat lebar lagi kemudian mendekati Dua dan mengelus kepalanya lembut. "Nanti bapak pulang."

Lagi dan lagi, Dua hanya menggeleng sambil menangis.

"Yasudah, yuk potong kuenya!" Adena akhirnya memotong kue berkrim merah tersebut dan membagikannya kepada setiap orang disana.

"Apa kita sisahkan untuk Lima juga?" Tanya Tiga dengan mata yang berbinar binar melihat Adena memotong kue tart mereka.

"Boleh."

"Kereta datang... tolong bukakan goanya!" Seru Adena dengan lelucon anak untuk menyuapi Tiga dan Empat.

"Enak?"

"Em.. agak aneh.." Komentar Empat yang kemudian diangguki oleh Tiga.

"Tapi enak, 'kan?" Tanya Adena masih dengan senyum mengembang dan diangguki oleh Tiga dan Empat.

"Kalian makan juga, dong!" Pintah Adena pada Satu dan Dua.

Dua masih menangis terisak.

Di detik berikutnya, suara tangisan seorang bayi terdengar, membuat ibu dari 5 anak ini harus meninggalkan mereka dan menghampiri anaknya yang berusia 2 tahun terbangun dari tidurnya.

"Lima nangis tuh, bentar yah, ibu urus Lima dulu."

"Jangan makan kuenya!" Seru Dua pelan namun dapat didengar jelas oleh mereka semua.

"Jangan!!" Pintahnya lirih.

"Tapi kenapa, kak?" Tanya Tiga mewakili mereka.

"Itu.."

"Itu karena... Ibu udah bunuh bapak!"

"Hiks, Bapak! Kue itu dicampur darah bapak!"

To be continued  

A new story with the new roles!
Agak bingungin, tapi mohon pahamin.
Kalo kalian ga paham, bisa tinggalin pertanyaan dan bakal di jawab nantinya! ^^

Jangan lupa vote dan komennya yah!

Up lagi dengan 15 vote dan komentar 🖤




The Siblings (Satu to Sepuluh)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang