Part 34

6.6K 524 8
                                    

Perilaku Ryan yang dulu mengerikan dan jahat. Namun, setelah kejadian terakhir, aku merasa dia berubah jadi lintah yang tidak mau melepaskan korbannya. Beberapa hari terakhir dia mengikuti kemanapun aku pergi. Hanya pergi ke toilet yang membuatnya mau meninggalkanku. Itupun dia menyuruh Dimas atau Ergi untuk mengawasi. Penjara terselubung ini lama kelamaan membuatku jengah.

"Yan, aku rasa aku semakin membencimu." Kataku akhirnya setelah beberapa hari ditempeli. Kian hari kursinya makin rapat dengan kursiku. Ergi dan Dimas juga menukar kursi dan duduk di depanku. Tiga berandalan ini menjepitku di pojokan. Mereka memang tidak menyiksa lagi tapi entah kenapa perilaku ini membuatku merasakan siksaan baru.

Sialnya Ryan merasa tidak ada masalah dengan apa yang dilakukan dan tidak paham kenapa aku membencinya. "Kok gitu? Apa gue kurang peduli?"

'Kamu terlalu peduli, b*ngs*t!' Makiku dalam hati. Tapi aku tahu makian itu tidak akan berguna.

"Bisa ngga kamu menjauh? Aku cuma manusia gay miskin jelek yang bikin orang lain jijik. Kamu yang bilang gitu."

"Ngga. Gue yang salah waktu itu. Sekarang mata gue terbuka lebar dan gue akan memperbaikinya."

"Aku ngga bisa memaafkan orang yang memukuliku berkali-kali."

"Kalau gitu lo boleh mukul gue sampe puas."

"Aku bukan makhluk barbar kayak kamu."

Pembicaraan kami akhirnya berhenti dengan Ryan yang bersedih seperti anak anjing yang kehujanan. Kalau orang asing yang melihat kami, orang itu pasti mengira kalau aku yang mengasari berandalan ini.

Dengan Ryan yang tidak mau berhenti menempel, aku hanya bisa memalingkan wajah dan mendengus dongkol. Entah Ryan yang mana yang rasanya lebih buruk, yang ini atau yang sebelumnya. Orang ini begitu terobsesi pada wajah seseorang. Wajah jelek membuatnya keji, wajah ganteng membuatnya tergila-gila. Dua versi ekstrem itu sama-sama mengesalkan.

Selama satu sesi pembelajaran pada hari itu, aku menolak berbicara pada Ryan. Aku sibuk membaca dan mencatat tanpa mau menyahuti Ryan yang mencoba mengajak bicara dengan bersungut-sungut. Setelah satu sesi itu, dia akhirnya pergi keluar kelas dengan Ergi. Yang ada di dekatku hanya Dimas.

Aku membereskan barang-barangku kemudian bangkit dari tempat duduk menuju ruang komputer. Ada beberapa pdf yang perlu aku print. Begitu aku berjalan, Dimas mengikuti sambil mengetik sesuatu di ponselnya.

"Lan, gimana kalau lo nanggepin Ryan dikit? Dia udah bucin abis sama elo. Jadi Lo ngga perlu khawatir. Dia ngga bakal bisa ngerjain lo lagi dan malah bakal berusaha nyenengin lo." Kata Dimas membela bossnya.

Aku tidak menanggapi ocehan orang ini. Tentu saja sebagai antek yang baik, dia akan berusaha membantu Ryan.

"Kenapa lo ngga belajar memanfaatkan kesempatan bagus kayak gini? Ini pertama kalinya Ryan suka sama orang. Lo bisa minta apa aja yang lo mau. Lagian lo juga ngerasa dia ganteng kan? Gue bisa lihat dari cara lo ngeliatin dia." Lanjut Dimas.

Ocehannya masih tidak kutanggapi. Dia sebenarnya tidak salah. Tidak satu orangpun sanggup mengatakan kalau Ryan jelek. Orang itu terlalu mencolok dan akupun mengakui kalau penampilan Ryan jauh di atas rata-rata. Akan tetapi itu bukan berarti aku perlu berurusan dengan berandalan itu.

"Kenapa sih lo sok jual mahal banget? Lo ngga tahu gimana Ryan akhir-akhir ini. Dia depresi banget dan ngga bisa mikirin hal lain selain elo."

Bukan urusanku dan aku tidak peduli.

Kami tidak perlu berjalan lama untuk sampai di ruang yang ingin aku tuju. Di sana aku bisa lihat Pak Gus sedang sibuk memperhatikan layar dan tidak menyadari siapa yang datang. Akupun duduk di depan salah satu komputer untuk membuka email.

"Kenapa sih lo suka banget ngeprint buku? Baca aja langsung di komputer. Ngga perlu susah kalau gitu." Komentar Dimas.

"Aku ngga punya komputer di rumah." Jawabku singkat.

"Oh." Sahut Dimas. "Pake hape?"

"Hapeku lambat." Kataku. Ponsel yang aku gunakan sekarang adalah hibah dari majikan ayah. Modelnya sudah lama dan hanya bisa digunakan untuk bertukar pesan. Kalau digunakan untuk hal lain, benda itu langsung hang.

"Nanti gue bilang Ryan biar dia beliin lo laptop."

"Aku ngga akan menerimanya."

"Cih. Sok banget lo."

Ini bukannya sok. Masalahnya tidak ada yang benar-benar gratis di dunia ini. Apalagi motif Ryan sudah sangat jelas. Dia pasti menginginkan sesuatu dariku ketika memberikan hal tertentu. Untuk bisa terlepas dari orang itu aku tidak boleh menerima apapun darinya.

"Semua orang bisa berubah, Lan. Maafkanlah Ryan. Lo ngga sependendam itu kan? Dendam itu ngga baik. Bikin kamu sendiri menderita." Kata Dimas berpetuah.

Seandainya aku tidak tahu perangai orang ini, aku mungkin merasa dia orang baik dan mendengarkan apa yang diucapkan dengan serius. Sayangnya, kemunafikan Dimas sudah menjadi pemandangan sehari-hari untukku. Aku tidak mungkin percaya pada kebaikan apapun yang keluar dari mulutnya.

Akupun diam, tidak menanggapi.

Melihat sikapku yang apatis, Dimas mendengus kesal kemudian lanjut semakin cerewet. "Lo ngga berubah sama sekali. Inilah yang bikin lo ngga punya teman. Orang udah ramah malah lo diemin. Kalau bukan karena Ryan suka sama elo, pengen rasanya lo gue bejek-bejek."

'Aku tahu. Kamu udah sering melakukan itu sebelumnya.' Kataku membatin.

"Asal lo tahu aja ya, cowok yang lo banggain itu ngga jauh beda sama Ryan. Mungkin lebih buruk." Lanjut Dimas dengan omong kosongnya.

Namun, aku tidak bisa mengabaikan omong kosong yang ini. Dia akhirnya berhasil membuatku menoleh.

"Apa lo liat-liat? Tersinggung karena ada yang ngomong jelek tentang cowok kesayangan lo itu?" Dimas makin ketus.

"Jangan memfitnah orang sembarangan." Kataku.

"Gue ngga memfitnah. Lo tahu ngga kalau cowok lo sekolah di sini juga dulu? Dia lulus pas kita masuk. Angkatannya Adam kenal dia."

Ini berita baru. Bian tidak pernah cerita soal ini.

Melihat ekspresiku, Dimas tersenyum licik. "Lo pasti ngga buka sosmed." Katanya lagi.

Itu benar. Gara-gara mereka bertiga aku tidak pernah masuk ke sana lagi. Aku hanya tahu perkembangan hasil promosi The Firdaus dari Sofia atau Daffa.

"Gue denger dari kakak kelas kalau ada satu orang yang sering dibully sama cowok lo itu. Dia dibully parah dan jadi stress. Saking stressnya, orang itu depresi dan ngga masuk sekolah berhari-hari. Sekalinya masuk sekolah, dia ninggalin surat di mejanya Bian. Setelah itu..." jelas Dimas kemudian memberi jeda. Kedua matanya menatapku dengan kilat puas.

Dia mungkin senang karena berhasil membuatku terguncang. Aku tidak tahu serpihan cerita ini dan sebenarnya tidak mau percaya. Ketika aku mulai ragu, Dimas melanjutkan.

"Setelah itu, orang itu mencoba bunuh diri. Dia ditemukan menyayat pergelangan tangan di kamar mandi rumahnya."

***

RYVAN 1 - Ugly Duckling Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang