Dalam dada gue rasanya berkobar-kobar, gue mulai meremas-remas tubuh kekar Pak Brengos dengan posesif, merasakan otot-ototnya yang keras dan kuat di bawah kulitnya, memainkan dada dan putingnya, mencubitnya dengan lembut. Gue bisa merasakan detak jantungnya yang kuat.
Teringat akan petuah Pak Brengos tentang rasa sakit yang pernah dia sampaikan. gue memberanikan diri mencubit puting Pak Brengos.
"Mmmmhh!?" Pak Brengos terkejut dan menghentikan sejenak aktivitasnya.
"Tadi bapak bilang rasa sakit itu bisa membuat kita lebih kuat, kan?" tanya gue sambil terus menilin putingnya. "Dengan rasa sakit bisa bikin kita tumbuh jadi pria kuat, tangguh dan gagah?"
"Iyo, Mas Ari, bener iku. Tapi..." jawab Pak Brengos.
"Pas nguli bapak luka sampe berdarah gitu, tapi bapak nggak ngeluh, ini kan saya cuma cubit dikit, masa pria kekar dan gagah kayak bapak nggak tahan sih?" tanya gue sambil menjepit putingnya di antara jempol dan telunjuk gue.
Mata Pak Brengos bergerak bolak-balik, seperti sedang berpikir.
"Mas Ari, opo yo seneng nyubit-nyubit?" Tanya Pak Brengos dengan alis sedikit terangkat.
Gue merasa malu, tapi akhirnya memberanikan diri menjelaskan kondisi gue yang gak pernah gue ceritain ke orang lain.
"Sebenernya, Pak. Aku suka melihat pria berotot menderita. Entah kenapa, itu bikin aku merasa... puas. Aku sadar, ini bukan hal yang lumrah, tapi gue nggak bisa nolak perasaan ini. Aku jadi sering merasa bersalah dan bingung," ungkap gue dengan perasaan yang bercampur aduk.
"Ngono yo?" kata Pak Brengos dengan wajah takjub.
Gue mengangguk. "Iya, Pak. Gue belum pernah cerita ini ke orang lain selain Pak Brengos. Gue malu, sih..." kata gue, seiring waktu permainan jemari gue di puting Pak Brengos semakin kasar.
Pak Brengos tersenyum lembut. "Mas Ari, nggak usah malu. Setiap orang punya keunikan sendiri. Wong urip iku ndadari sakit lan sumeleh. Kita belajar dari rasa sakit untuk menjadi lebih kuat,"
Gue merasa lega mendengar petuah Pak Brengos. "Jadi, Pak Brengos nggak marah atau gimana, ya?"
Pak Brengos menggeleng. "Nggih, Mas Ari. Kita harus saling menerima, apa adane. Pokoke, niat kita mesti apik, terus kita harus belajar buat ngendalikan nafsu kanggo ndak melu kelewat batas."
Setelah mendengar itu, gue nggak bisa berhenti tersenyum
"Makasih ya, Pak Brengos. Gue seneng bisa cerita ini ke Pak Brengos."
"Ya wes bagus Mas Ari Mas Ari jangan nyakitin atau neken wong yang lebih lemah, lah." katanya.
"Iya sih, Pak. Makasih udah ngertiin gue. Tapi, boleh nggak ya gue nyerbu pentil Bapak lagi? Hehehe."
Pak Brengos menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa, "Wislah, kalau emang iku sing bikin Mas Ari seneng, monggo saja."
Pak Brengos kembali melanjutkan aksinya, ia menelan kontol gue sampai ke pangkalnya.
Gue merasa bersalah sih, tapi gimana dong, nafsu gue terlalu bergelora untuk gue tahan. apalagi pas gue ngelirik ke puting coklat tuanya yang begitu mancung menantang, seakan mengundang gue untuk menyiksa.
"Ari cubit aku dong!" kata puting melenting itu.
Apa boleh buat, gue terima undangannya, gue meraihnya dengan jari telunjuk dan ibu jari. Gue meremasnya perlahan, menikmati perasaan kenyal dan hangat dari puting itu di ujung jari-jari gue.
Gue mulai memutar dan memelintir putingnya, merasakan bagaimana kulitnya tertarik dan merasa tegang. Gue bisa lihat Pak Brengos mengernyit kesakitan, tapi dia tetap fokus menyepong gue dengan semangat. Gue jadi semakin bergairah melihat dia bersikap begitu kuat dan tabah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lonte Kekarku, Pak Brengos
RomanceKamu homophobic? Cerita ini bukan buat kamu. Disclaimer ⚠️ BDSM: Hargai dan hormati batasan serta keinginanmu sendiri. Jika ada elemen dalam BDSM yang terasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan nilai-nilaimu, jangan ragu untuk menghindarinya. "Ci...