Awal

1.5K 115 11
                                    

Kafero tidak tahu harus pergi ke mana saat pertama kali membuka matanya. Ia disambut dengan pemandangan air terjun yang sangat deras berada di sampingnya. Padahal, Kafero yakin bahwa ia sedang berada di dalam kamarnya sambil membaca novel.

Ia juga sempat bertengkar dengan orang tuanya karena selalu mengurung dirinya di kamar dan hanya membaca novel. Hingga akhirnya ibunya kesal dengan tingkah lakunya.

"Anjil lah," umpat Kafero sambil mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Ia sangat bingung sekarang. Dirinya ingin segera keluar dari hutan ini, tapi sebentar lagi matahari akan segera tenggelam. Akan sulit baginya untuk keluar, dan pasti akan ada hewan buas yang akan mengincar tubuhnya.

Namun, jika Kafero terus berdiam di sini, ia akan mati kelaparan dan kedinginan. Kafelo mulai berjalan. Ia berpikir bahwa ia tidak bisa berdiam dan menunggu bantuan. Jika ada, tentu saja.

Setelah berjalan lama, Kafero tidak menemukan jalan keluar atau tempat untuk berteduh. Ia menatap langit yang mulai gelap, disertai dengan awan mendung.

"Hah..." Kafero menghela nafas berat. Kafelo mulai frustrasi. Sekarang, sepertinya lebih baik baginya untuk pasrah jika tubuhnya akan dimakan oleh hewan buas, mungkin.

Hari semakin gelap, Kafero tidak tahu berapa lama dirinya telah berjalan.

"Kafelo ingin pulang, Kafelo takut!"

Setelah mengatakan itu, Kafero tidak sengaja melihat rumah yang sangat besar berada tepat di depannya. Kafero juga melihat para penjaga berada di gerbang.

Kafero mulai bersembunyi di pepohonan, ia menolehkan kepalanya ke kiri.

"Kalau Kafelo minta bantuan om-om yang di gerbang, mereka mau membantu Kafelo, ya?" ucapnya sambil terus menatap mereka. Sesekali, ia juga menyembunyikan dirinya lagi saat para penjaga mulai menatap ke arahnya.

"Kayanya nggak deh," lanjutnya setelah melihat mata mereka yang tajam dan tubuh mereka yang tinggi.

Kafero mulai merucutkan bibirnya saat mendengar suara dari perutnya. Ia baru ingat bahwa sejak berada di tempat ini, Kafero belum makan atau minum. Kaki Kafero juga sakit karena terlalu lama berjalan.

Hanya ada satu jalan yang harus Kafero lalui. Kalau begini, satu-satunya jalan adalah Kafero harus masuk ke dalam rumah. Kafero mulai mencari cara agar dirinya bisa masuk ke dalam rumah itu tanpa diketahui oleh para penjaga.

"Ayolah, otak Kafelo, mohon berkerja dengan baik. Ini demi perut Kafelo," batinnya.

Setelah berpikir lama, akhirnya ia menemukan cara agar dirinya bisa masuk ke dalam. Kafero menatap ke arah tembok sebelah kiri. Di Sana, tidak ada satupun yang menjaganya.

Melihat dua penjaga lengah, Kafero dengan perlahan mulai berlari pelan ke arah yang ingin Kafero tuju.

Kafero mengerucutkan bibirnya lagi saat ia menatap ke arah tembok yang lumayan tinggi. Kafero pikir tembok yang ia lihat sebelumnya tidak terlalu tinggi, tapi ternyata ia salah. Apa Kafero menyerah? Tentu saja tidak. Hanya tembok, Kafero bisa melewatinya.

Kafero melirik ke kiri dan ke kanan, berharap ada sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memanjat tembok. Kafero melihat tangga tepat berada di sampingnya. Langsung saja, Kafero mengambilnya, setelahnya ia mulai menaiki tangga tersebut.

Kafero berhasil sampai dan ia mulai turun dengan cara melompat ke arah pohon yang dekat dengannya.

"Kafelo pasti bisa!" semangatnya. Dengan hati-hati, Kafero langsung saja melompat dan lagi-lagi berhasil. Tinggal ia turun dari pohon.

Setelah berhasil turun, ia membalikan badannya. Kafero sedikit terpana dengan pemandangan yang ada di hadapannya. Kafero tidak sadar bahwa hujan mulai turun, membasahi pakaiannya.

KAFEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang