Aku langsung menyentuh pipiku karena merasakan kecupan Ryan di sana. Dengan pandangan tajam dan penuh protes, aku menoleh ke Ryan yang kini terlihat tersenyum ceria. Orang itu menatapku lembut dengan pandangan tanpa dosa seperti seorang anak-anak.
"Yan, apa maksudnya ini?" Tanyaku.
"Itu tanda cinta." Katanya.
Aku memutar bola mata kemudian membalas ciuman itu dengan tamparan keras di pipi Ryan. Setelah Ryan meringis dan dua temannya memelototi yang aku lakukan, aku mengangkat dagu orang kurang ajar itu.
"Aku punya satu permintaan, tolong enyah dari hadapanku!"
"Honey, gue ngga akan pergi meskipun lo menghajar gue."
Panggilan honey yang meluncur licin dari mulut Ryan membuatku mengeraskan rahang karena tidak tahu apa yang harus dilakukan pada orang ini. Dia tidak lagi membuatku takut namun emosiku yang lain seperti meledak-ledak dibuatnya. Godaan untuk melakukan kekerasan sudah memancing pikiranku namun aku tidak mau menjadi berandalan seperti tiga orang di sekitarku.
Benar-benar mengesalkan!
Apa yang perlu dilakukan? Apa aku perlu belajar ilmu bela diri?
"Lan. Satu kesempatan aja. Gue cuma pengen satu kesempatan untuk benerin hubungan kita." Pinta Ryan. Dia masih keras kepala.
Satu kesempatan huh? Orang ini sepertinya tidak akan berhenti sebelum diberikan kesempatan. Kepalaku mencoba memikirkan solusi. Setelah beberapa menit akhirnya hanya ada satu hal yang bisa dicoba.
"Oke, aku akan kasi kesempatan tapi ada syaratnya."
Di kondisi seperti ini, aku cuma bisa meniru Roro Jongrang. Kalau Ryan minta kesempatan, akan aku beri kesempatan tapi ini tidak akan gratis.
"Apa?" Wajah Ryan terlihat berbinar.
"Pertama, berhenti memaksakan kehendak. Kalau kamu memaksa, meskipun cuma sekali, kita ngga akan pernah berteman."
"Oke." Dia menjawab yakin.
"Kedua, berhenti menjadikan orang lain pesuruh. Kalau minta tolong, minta tolong dengan cara yang baik." Lanjutku.
"Kenapa?"
"Kalau kamu ngga setuju, kita ngga perlu temenan."
"Oke." Ryan menjawab cepat tanpa mempertanyakan lagi.
"Ketiga, berhenti kasar pada orang lain. Kalau aku lihat satu semester ini kamu berubah. Aku ngga keberatan kalau kita berteman."
"Kita bisa jalan kalau gitu kan?"
"Ngga. Aku akan jalan sama kamu kalau ketiganya kamu penuhi dan kamu jadi juara satu umum. "
"Oke." Sahut Ryan ringan. Aku tidak paham bagaimana caranya dia menyahuti seringan itu. Tapi itu tidak masalah. Toh aku hanya berjanji untuk jalan dengannya dan bukannya menjadikannya pacar.
***
Seseorang yang tidak punya harapan dan kesempatan akan menghalalkan segala cara. Terutama untuk orang seperti Ryan yang terbiasa memaksakan segala kehendaknya pada orang lain. Karena itu aku perlu memikirkan kenekatan Ryan kalau benar-benar ditolak. Aku tidak boleh memancing kegilaannya.
Untuk saat ini, aku masih aman karena dia berusaha bersikap baik. Dengan mengulur waktu menggunakan semua syarat itu, aku tidak perlu khawatir kalau Ryan akan memaksaku selama beberapa lama. Kalau begitu aku bisa mencari strategi baru selama hidupku tidak terancam.
Ryan masih keras kepala duduk di sebelahku namun semuanya lebih damai. Dia tidak lagi menyentuhku tiba-tiba atau berusaha menempel dengan tidak tahu diri. Dia serius mau melakukan yang aku minta.
Kondisi ini seharusnya membuatku senang tapi aku tidak bisa senang sama sekali. Bagaimanapun Ryan kuat dan jago bela diri. Orang lemah sepertiku tidak akan bisa berbuat apa-apa kalau dia berubah pikiran dan menjadi kasar lagi. Karenanya Aku perlu mencari cara untuk melindungi diri.
Setelah berselancar di internet, aku menemukan berbagai perlengkapan yang bisa dibeli seperti paper stray dan pen strum. Aku perlu mengeluarkan uang untuk semua itu namun tidak apa. Setidaknya sekarang ada yang bisa aku lakukan, tidak seperti dulu. Jika uang itu bisa membeli keamanan untukku, kenapa tidak? Aku harus berterima kasih pada orang tuaku yang mengembalikan uang hasil kerjaku sehingga sekarang bisa dimanfaatkan.
"Lan, kenapa sih lo pendiem banget. Ngomonglah sesekali." Kata Ryan begitu bel istirahat kedua berbunyi.
Aku sebenarnya tidak berniat jadi pendiam. Namun, apapun yang aku katakan biasanya selalu salah. Kalau begitu apa gunanya bicara? Ditambah lagi, selama ini Ryan selalu membully lebih kejam setiap aku menjelaskan sesuatu. Gara-gara itu mulutku sulit bicara di sekolah.
"Ya udah kalau lo diem. Kalau lo ngga mau ngomong, gue yang cerita." Ryan tidak sabar menungguku membuka mulut. Aku tidak mengacuhkannya dan melanjutkan PR-ku yang belum selesai.
"Mama gue orang Switzerland tapi dulu kerja di bursa efek Jakarta. Karena itu mama dan papa bisa pacaran dan akhirnya nikah. Tapi sayangnya mereka ga cocok. Waktu gue umur tiga tahun, mereka cerai. Mama balik ke Eropa dan cuma dateng sesekali."
Aku memutar mata mendengar cerita itu. Apa Ryan mengganti strateginya sekarang? Menceritakan sesuatu yang menyedihkan agar aku tersentuh? Apa dia belajar strategi ini dari Dimas?
"Sesekali gue juga ke Swiss. Di sana bagus banget apalagi pas musim dingin. Kalau naik kereta gantung, semuanya kelihatan putih. Cuma langit aja yang kelihatan biru. Suatu hari gue pengen ajak lo ke sana." Cerita Ryan beralih ringan.
Ryan ternyata suka mengkhayalkan sesuatu yang tidak masuk akal. Pertama, aku tidak punya uang untuk kesana dan juga tidak berniat menggunakan uang orang lain. Kedua, aku tidak akan pergi jauh dengannya. Apa kabar keselamatanku?
"Aku ngga bisa pergi sejauh itu."
"You don't know."
Aku tidak menyahuti. Tanganku kembali menuliskan jawaban soal latihan.
"Lan, gue banyak lihat cewek cantik. Cowok ganteng juga banyak. Tapi ngga ada yang mukanya kayak lo. Boleh ngga gue lihat lo yang tanpa kacamata? Gue kangen."
Sebenarnya permintaan itu tidak masalah. Namun aku tidak mau menarik perhatian yang lain yang sepertinya semakin yakin kalau aku Allan. Karenanya aku tidak menanggapi Ryan. Karena tidak kutanggapi, Ryan cuma bisa menghela nafas berat. Dia kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Mau gue jemput besok? Gue akan bawa motor biar bisa masuk ke gang rumah lo."
"Ngga perlu." Jawabku singkat.
"Jangan nolak lah. Gue pengen bantuin lo sesekali. Apalagi lo perlu bawa banyak barang buat study tour besok."
"Aku cuma bawa keperluan seperlunya aja. Jadi ngga perlu repot-repot."
"Lo nih sombong banget. Udah mau dibantuin bukannya terima kasih." Gerutu Ergi memotong pembicaraanku dan Ryan. Sepertinya aku sudah menantang kesabarannya yang pendek itu.
"Hush!" Ryan segera memerintahkan agar Ergi diam. Ergipun menurut dengan wajah kesal. Setelah itu Ryan kembali mengalihkan perhatiannya ke arahku.
"Ya udah kalau ngga mau. Tapi kalau lo butuh sesuatu, bilang aja. Kita bisa saling bantu karena kita nanti sekamar." Kata Ryan.
Sekamar? Kata itu terdengar menakutkan. Aku menoleh ke arah Ryan dengan wajah bertanya-tanya. "Apa maksudmu?"
"Nanti di hotel kita kamarnya satu berdua. Ergi sama Dimas, gue sama elo. Lo belum lihat daftarnya di WA group ya?"
Ponselku sedang hang, butuh beberapa agar normal lagi jadi aku belum membuka apapun. Jika yang dikatakan Ryan benar, itu artinya aku akan melewati malam dengannya di kamar yang sama.
"Apa aku boleh tukar kamar?" Tanyaku polos.
"Boleh kalau ada yang mau diajak tukar."
Tidak mungkin ada yang mau. Aku akan sekamar dengan Ryan. Itu sudah pasti. Memikirkan ini, aku merasa study tour ini akan melelahkan.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
RYVAN 1 - Ugly Duckling
RomantikSeme pembully vs Uke culun vs seme gentleman Cerita tentang orang culun yang menjadi ganteng setelah bertemu tambatan hati yang baik. Sayangnya gara-gara glowing up, orang yang dulu suka membullynya malah mengejar-ngejarnya. Catatan: author nulis u...