"Yang keenam, bapak harus mau dihukum, dan nggak boleh ngeluh. Tapi bapak harus bilang terima kasih setiap kali dihukum," gue melanjutkan peraturan, ketika gue merasa orgasme gue semakin menanjak.Brengos menatap gue dengan ekspresi patuh, "Baik, Mas Sayang. Bapak akan menerima hukuman tanpa ngeluh dan mengucapkan terima kasih."
Ucapannya terpotong ketika gue menarik pentilnya dengan keras, membuatnya merintih kesakitan.
"Yang ketujuh, Pak Brengos, bapak nggak boleh keluar kamar, berbicara atau ketemu orang lain, tanpa izin gue," kata gue sambil menahan desakan orgasme yang hampir meledak.
"Oke, Mas Sayang. Bapak akan selalu minta izin dulu," jawab Brengos, lalu lanjut menyepong gue dengan lidah dan bibirnya.
Gue terhanyut dalam arus kenikmatan yang menggelora, membiarkan segala rasa mengalir begitu dalam di dalam diri gue. Ketika sesaat hampir mencapai puncaknya, rasa nikmat tak terkendali melanda seluruh tubuh gue. Gue mencubit dan menarik pentil Brengos dengan gairah yang semakin membara, membawa gue menuju ledakan kenikmatan yang tak terbayangkan sebelumnya. Dalam momen itu, gue merasakan detak jantung gue semakin cepat, getaran yang melintas di sepanjang batang kontol gue semakin intens. Dan saat akhirnya, gue mencapai puncak orgasme, kepuasan rasa air mani yang mengalir deras di batang kontol menjadi simbol dari pembebasan dan kepuasan jiwa yang luar biasa.
Semua yang naik, akhirnya harus turun, gue pun lunglai, menyerahkan diri pada gravitasi.
Gue merasa tubuh gue lemas dan nyaris tak berdaya. "Terima kasih, Pak Brengos," gue ucapkan dengan nafas terengah-engah.
"Sama-sama, Mas Sayang," jawab Brengos dengan senyum lelah, wajahnya memerah karena usahanya untuk memuaskan gue. Gue merasa agak kasihan melihatnya, tapi sekaligus bangga bahwa dia mau tunduk pada semua peraturan gue.
Setelah Pak Brengos menyelesaikan 'tugasnya', gue merasa cukup santai dan puas. Gue tarik dia untuk berbaring di samping gue, merapatkan tubuh kita. Kulitnya yang kasar kontras dengan kulit gue yang halus, tapi gue suka rasanya. Bersandar di dada kekarnya, merasakan denyut jantungnya yang perlahan mulai stabil, dan mulai menyusu di putingnya lagi.
Sambil kita berpelukan, gue ambil ponselnya dan gue berikan ke dia. "Telepon keluarga Bapak, Pak," kata gue sambil tersenyum. Pak Brengos tampak ragu, tapi akhirnya dia mengangguk dan mulai menekan nomor.
Sambil mneghisap pentilnya lembut, gue nguping percakapan dalam bahasa Jawa berlangsung, dan gue hanya bisa mengerti hanya sebagian kecil dari apa yang mereka bicarakan. Tapi dari nada suara mereka, gue bisa tahu bahwa istrinya sudah baik-baik saja. Gue bisa melihat rasa lega di wajah Pak Brengos, matanya berkaca-kaca dan gue bisa melihat senyum kebahagiaan di bibirnya.
Enak sekali dicintai sampai sebegitunya ya.
Ada rasa cemburu yang mulai menggerogoti gue. Kenapa gue merasa cemburu? Dia kan istrinya, pikir gue.
Gue merasa konyol. Kenapa gue bisa cemburu pada istri orang? Tapi perasaan itu mengganjal di hati gue, dan gue tak bisa mengabaikannya.
Gue sudah memutuskan, akan menghukum Pak Brengos. Gue akan membuat dia merasa seperti apa yang gue rasakan sekarang.
"Pak Brengos, berlutut sini," perintah gue dengan tegas, menarik rantai kalung anjing, sambil menunjuk ke lantai.
Pria paruh baya berotot itu tampak bingung tapi menurut juga. Dia melihat gue dengan rasa penasaran, seolah-olah ingin tahu apa yang akan gue lakukan padanya.
Gue ambil ikat pinggang dari celana gue dan bilang ke Pak Brengos, "Aku mau hukum bapak nih."
Wajah Pak Brengos makin bingung, "Apa salah saya, Mas Sayang?" tanyanya heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lonte Kekarku, Pak Brengos
RomanceKamu homophobic? Cerita ini bukan buat kamu. Disclaimer ⚠️ BDSM: Hargai dan hormati batasan serta keinginanmu sendiri. Jika ada elemen dalam BDSM yang terasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan nilai-nilaimu, jangan ragu untuk menghindarinya. "Ci...